Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 05 Juni 2012

Etika Kristen


MEMBUDAYAKAN KEBENARAN, KEADILAN, KEKUDUSAN, PENGAMPUNAN DAN PENDAMAIAN DALAM KEHIDUPAN BERGEREJA, BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA DI INDONESIA PASCA PEMILU 2004
(Pdt. Tjandra Tan, M.Th.)

A.        Latar Belakang Masalah

            Pemilihan umum telah usai, Jenderal (purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah terpilih sebagai presiden Republik Indonesia dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Setiap pemerintahan baru umumnya menjanjikan perubahan. Presiden dan wakil presiden terpilih tampaknya masuk kategori ini, program 100 hari dipublikasikan demikian rupa, bidang ekonomi dan hokum menjadi titik krusial. Dalam bursa calon-calon menteri, persoalan ini menarik perhatian dimana selain orang dalam, kalangan professional berpeluang menjadi menteri.[1] Persoalannya sekarang adalah apa yang akan berubah dan apakah pelaksanaannya akan lancar seperti direncanakan.
            Perubahan di tatanan kebijakan kelihatannya tak terlalu kasatmata. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla adalah bekas menteri koordinator di kabinet Presiden Megawati yang tak pernah terdengar berseteru dengan pemimpin mereka di tingkat policy. Medan laga kampanye dalam putaran pemilihan presiden tahap kedua juga bukan di arena ideologi, melainkan pada perebutan persepsi siapa di antara mereka yang terlihat lebih mampu menjalankan kebijakan-kebijakan yang serupa itu.
            Kinerja pemerintahan baru yang mulai bekerja pada tanggal 20 Oktober 2004 akan ditentukan dari kemampuan menyusun tim pengelola pemerintahan yang kompeten serta kompak dan kepiawaian dalam mengatasi berbagai tantangan yang menghadang. Salah satu tantangan yang telah terlihat jelas di haluan adalah kebutuhan menyesuaikan anggaran secara drastis untuk mengantisipasi harga minyak dunia yang membubung sangat tinggi. Artinya, pemerintah baru tak punya pilihan selain mengurangi subsidi bahan bakar minyak alias menaikkan harga. Sebuah tindakan tak populer yang harus diambil saat mayoritas kursi DPR berada dalam genggaman Koalisi Kebangsaan, kumpulan partai politik yang menyatakan diri akan menjadi kekuatan “penyeimbang” terhadap lembaga eksekutif. Kita yang telah melewati 100 hari pemerintahan SBY-Jusuf Kalla, tahu DPR baru sebagai “penyeimbang atau pengganjal” [2], paling tidak menurut Majalah Gatra edisi 13 November 2004 bahwa anggota DPR seharusnya berupaya menaikkan peringkatnya dari akreditasi “playgroup” yang di sindir mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
            Pemerintahan baru harus berupaya meyakinkan rakyat untuk melakukan pengorbanan demi masa depan yang lebih baik, sambil dengar-dengaran keluhan rakyat. Persoalan apakah tantangan ini akan dapat diatasi dengan mulus atau tidak sangat bergantung pada kepemimpinan SBY dan Jusuf Kalla sebagai nakhoda kapal bangsa ini. Paling tidak, menilik pengalaman para pemimpin masa lampau yang terbukti berhasil, ada rumus sederhana yang patut dipertimbangkan untuk digunakan. Bila para pemimpin rela berada di garis depan dalam menunjukkan keteladanan berkorban dan mampu secara jujur mengkomunikasikan tantangan yang dihadapi kepada khalayak luas, rakyat pun akan rela bersakit-sakit dahulu untuk bersenang-senang kemudian. Jika para penghuni istana mampu hidup sederhana sambil tetap menyumbangkan kelebihan yang mereka miliki kepada yang membutuhkan, badai penderitaan sedahsyat apa pun tak akan mampu mengaramkan dukungan rakat. Sebaliknya, kalau lapangan parkir istana tiba-tiba menjadi lahan pameran mobil mewah seperti yang terjadi di kantor para wakil rakyat di Senayan beberapa tahun terakhir ini, protes pun akan segera marak di jalan-jalan. Anarki akan mudah hadir dan, seperti dikhawatirkan almarhum Bung Hatta, akan menikam mati demokrasi kita.[3]
Jalan perubahan menuju demokrasi pasca Orde Baru menurut Yayasan Demos yang bekerja sama dengan Majalah Tempo, telah dibajak oleh sekelompok elite. Pembajak itu adalah anggota lama Orde Baru dan elite baru yang datang setelah orde itu tumbang. Mereka tidak hanya bertahan, tapi menjadi kekuatan baru di bidang ekonomi, birokrasi, dan militer, yang memegang peran menentukan. Mereka melekat erat di parlemen, partai politik, di berbagai asosiasi sipil, politik, bisnis, juga di tubuh birokrasi.
Di tengah sistem yang masih tetap korup, kelompok elite itu menjalankan kepentingan mereka melalui mekanisme dan prosedur “demokrasi”. Dengan cara ini, mereka membuat transisi menuju demokrasi macet di tengah jalan.[4] Era reformasi perlu di perjuangkan di berbagai sektor, iklim atau budaya kebenaran, keadilan, kekudusan, pengampunan dan pendamaian dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara di bumi nusantara pasca Pemilu 2004 menjadi keharusan bagi umat kristiani yang rindu alam demokratis tercipta dan langgeng.

B.        Membudayakan Kebenaran, Keadilan, Kekudusan, Pengampunan dan Pendamaian  dalam Kehidupan Bergereja, Bermasyarakat dan Bernegara

            Kesempurnaan manusia telah rusak akibat dosa, bahasa Alkitab mengatakan dunia berada dalam kegelepan (Yoh 1:5; bnd. 1 Yoh 1:5) dan realita itu tak terpungkiri bila melihat negara Indonesia dengan komponen-komponen yang ada dengan kerusakan yang  semakin memburuk di tatanan pribadi maupun sosial. Dunia tidak mengenal Allah dalam arti pemahaman yang sesungguhnya (Yoh 17:25), sulit untuk memperkatakan kebenaran, keadilan, kekudusan, pengampunan dan pendamaian dalam kegelepan malam negeri Indonesia. Dasar pijak bersama, falsafah atau ideologi bangsa Indonesia pun dapat diragukan, di rong-rong dan berusaha di ganti dengan ideologi golongan. Memang dalam tingkat “cita-cita” atau tahapan emosional, belum sampai “konsensus nasional” tentang ideologi Pancasila, segala sesuatu mungkin diubah.[5]  Namun amat disayangkan bila pekerjaan pembangunan negeri terhenti hanya karena kepentingan-kepentingan pribadi, golongan, partai, interes sosial-politik, yang jelas-jelas soal fondasi bangun sebuah negara sudah dimatangkan sebelum kemerdekaan diproklamirkan.
Di dalam lapangan hukum yang kena-mengena dengan istilah “kebenaran dan keadilan”, boleh dikata berbeda konsepsinya antara Islam moderat dengan tradisional, terlebih lintas agama ke Kristen misalnya.[6] Banyak yang dapat dipersoalkan dalam pendefinisian “kekudusan, pengampunan, dan pendamaian” tanpa ketundukan di bawah landasan idiil dan konstitusional bangsa Indonesia (Pancasila dan UUD 1945). Dalam ketundukan pada pemerintah sebagai hamba Allah yang mendatangkan kebaikan (Rm 13:1, 4-5), persepsi kristiani berbicara tentang “kebenaran, keadilan, kekudusan, pengampunan dan pendamaian” non-fisikal, non-revolusioner, tidak anarkis, atau tindak-tindak yang melampaui desakan reformasi moral dan spiritual.
Pikiran manusia sudah dibutakan oleh ilah zaman ini (2 Kor 4:4). Sesuatu yang sama sekali asing sudah dimasukkan ke dalam lingkungan manusia, yang bertentangan langsung dengan berkat-berkat keselamatan yang dibawa oleh Injil, lalu menimbulkan pertentangan antara terang dan gelap, kebenaran dan kekeliruan, pengetahuan dan ketidaktahuan, kasih dan benci. Kehidupan manusia seutuhnya telah dipengaruhi dosa, secara perorangan maupun secara kelompok, termasuk kehidupan keluarga sebagai kelompok sosial yang paling akrab. Hal ini menjelaskan mengapa Yesus menyebut orang tua insani itu “jahat” (Mat 7:11) kalau dibandingkan dengan keinginan Allah yang murni. Lingkungan manusia tercemar oleh sifat manusia yang cenderung berpusat pada diri sendiri (bnd. Mat 17:17).
Berdasarkan hal itu, disepanjang Alkitab ajaran etisnya senantiasa mengingatkan sifat manusia yang pada hakikatnya berdosa. PB memperhatikan kejahatan-kejahatan sosial yang nyata pada waktu itu (misalnya Rm 1:24 dst.; Kol 3:5 dst.; 1 Ptr 4:3 dst.) dan bila Firman itu relevan juga pada masa kini di Indonesia, maka terkesan bahwa penyelesaian masalah-masalah yang bersifat sosial lebih terfokus di akar persoalan yang bersifat rohani.
Ajaran mengenai penebusan dan pendamaian merupakan pusat seluruh amanat Kristen dan mencakup robohnya sikap memusatkan diri dan permusuhan manusia dengan Tuhan. Orang Kristen ialah ciptaan baru (2 Kor 5:17) dan hidup pada taraf baru (Kol 3:1) dan memiliki nilai-nilai baru, walaupun dia masih berada dalam lingkungan lama. Pasti langsung timbul pertentangan antara cara lama dalam menanggapi tanggung jawab sosialnya dan prinsip barunya dalam Kristus. PB memusatkan perhatian pada unsur baru itu, dan menuntut sikap dan perbuatan yang baru pula. Inilah prioritas bagi manusia yang baru saja meninggalkan latar belakang kekafiran.[7]
Orang Kristen tidak dapat lepas dari kewajiban dan tanggung jawab sosial dalam tatanan nilai-nilai baru. Gereja berada di dalam dunia. Gereja diutus oleh Tuhan ke dalam dunia. Tuhan tidak mengutus gereja ke wilayah yang “asing”. Sebab Tuhan itu adalah Tuhannya dunia. Dia bekerja dalam dunia. Tugas Gereja ialah untuk hidup sebagai Gereja yang taat kepada Tuhan yang tidak berubah, “baik kemarin, hari ini dan selama-lamanya” (Ibr 13:8). Namun tugas yang tidak berubah itu di setiap tempat harus dipahami secara baru di tengah-tengah dunia yang senantiasa berubah.
Dunia dalam arti umat manusia dengan kebudayaannya, dengan hidup politik, sosial dan ekonominya, dengan sejarahnya, ideologi dan agamanya, ilmu dan teknologinya, harapan-harapan dan kekuatiran-kekuatirannya. Inilah isi dunia yang dikasihi oleh Allah (Yoh 3:16), termasuk situasi pasca Pemilu 2004 di negeri Indonesia. Tidak ada kejadian dalam dunia ini yang berada di luar rencana penyelamatan Allah dengan kedatanganNya, kematian dan kebangkitan Anak-Nya serta kedatangan-Nya kembali untuk “mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi”(Ef 1:10). Ke dalam dunia inilah gereja diutus. Di dalam dunia inilah gereja melalui hidup, perbuatan dan perkataannya menjadi tanda dan saksi akan kasih dan rencana Allah itu. Sebab dalam memenuhi bumi serta menaklukkannya, “maka manusia sekaligus harus mengasihi Allah dengan sebulat hatinya dan mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri” (Mrk 12:30-31).
Dalam memahami tugasnya dalam dunia ini, gereja menjalankan pergumulan rangkap. Pada satu pihak gereja bergumul “dengan Tuhannya, dalam arti menghayati kebenaran dan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus.” Di pihak lain, gereja sekaligus bergumul “dengan kebudayaan dan masyarakat, di tengah-tengah mana gereja itu hidup.” Gereja tidak “menurut teladan orang di dunia ini” (Rm 12:2), namun tidak dapat memisahkan dirinya dari dunia. Di dalam dunia ini dengan harapan-harapan dan kekecewaan-kekecewaannya, gereja terpanggil untuk mendemonstrasikan, mengkomunikasikan “Apa kehendak Allah, yaitu hal yang baik dan yang berkenan dan yang sempurna” (Rm 12:2).[8]
            Ajaran PB tentang Allah juga mempengaruhi pandangan Kristen tentang masyarakat. Umat yang ditebus tak dapat dipisahkan dari Allah yang menebusnya. PB menekankan kasih Allah bagi isi dunia (Yoh 3:16), yang bertahan sekalipun di hadapan permusuhan (Rm 5:8). Lagi pula, kasih Allah itu merupakan pola bagi kasih manusia (1 Yoh 4:7; Yoh 15:9), dan bila ada perhatian kepada orang lain, masyarakat, bangsa dan negara, berarti di situ ada kasih.
            Karya pendamaian Allah melalui Kristus mendasari tanggung jawab sosial. Seseorang yang sudah didamaikan dengan Allah tentu tidak dapat mendukung usaha memperbarui masyarakat yang akan menyebabkan keretakan antar manusia. Ajaran Alkitab mengenai Allah dan sikap-Nya terhadap manusia akan mengesampingkan segala upaya untuk mencapai tujuan sosial dengan kekerasan. Injil membawa perdamaian bukan perselisihan. Walaupun beberapa orang pernah berpendapat bahwa keretakan serta kekerasan kadang-kadang dapat dibenarkan sebagai pilihan paling ringan antara dua jenis kejahatan, namun pendapat ini tidak dapat didukung dalam tulisan Paulus.
            Perlu diperhatikan bahwa menurut Paulus pendamaian itu melampaui batas-batas manusia sampai pada seluruh makhluk. Seluruh makhluk “dengan sangat rindu” menantikan saat kemerdekaannya dari kesia-siaan (Rm 8:19 dst.). Kenyataan ini mencerminkan sikap Paulus terhadap lingkungan dan mungkin memberikan petunjuk mengenai jawabannya atas masalah lingkungan hidup modern, meskipun dia tidak membahas masalah tanggapan manusia terhadap lingkungan. Manusia bertanggung jawab atas pencemaran lingkungannya. Menggangu keseimbangan alam demi kepentingan diri, kelompok atau golongan tertentu, sudah pasti tidak dapat dibenarkan menurut pemahaman Kristen. Membudayakan perilaku yang benar dapat berdampak luas sampai masalah-masalah sosial lainnya.
            Unsur lain tentang tanggung jawab sosial ialah batas-batas pengaruh orang Kristen. Kadang-kadang akan terjadi benturan antara harapan sosial manusia bukan Kristen dengan patokan yang ditetapkan Allah. Yesus dengan jelas menyatakan bahwa ketaatan pada Allah harus diutamakan lebih daripada ketaatan pada negara meskipun kedua-duanya seharusnya berjalan bersama. Memberi kepada Kaisar apa yang wajib diberikan kepadanya dan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Dia (Mat 22:21) berarti mengutamakan kehendak Allah. Orang harus mengikuti suara nuraninya, dan sewaktu-waktu secara terbuka atau terselubung, dia harus melawan masyarakatnya dalam hal moral. Peringatan keras yang dilontarkan PB terhadap ketunasusilaan seksual, misalnya, menyuarakan tuduhan terhadap patokan masyarakat pada waktu itu.
            Tanggung jawab orang percaya terhadap sosial tidak dapat dielakkan dari tuntutan Alkitab walau melayani antar orang Kristen juga ditekankan (Gal 6:10). Bagian terbesar dari tanggung jawab sosial ialah keadilan. Apa yang dikejar oleh masyarakat tidak selalu benar secara moral. Namun demikian dalam Alkitab, ada patokan keadilan yang baku dan dapat membedakan dengan jelas antara apa yang benar dan apa yang salah. Pandangan PL tentang keadilan sosial bergema dalam PB, misalnya dalam kutukan Yakobus atas penindasan. Sikap PB terhadap hukum tidak dapat dipisahkan dari Hukum Taurat, yang menetapkan keadilan sosial. Yesus menjunjung tinggi Hukum Taurat dan berkata bahwa tidak satu iota atau titik pun akan ditiadakan darinya (Mat 5:17-18). Walaupun Paulus berpendapat bahwa hukum tak dapat menyelamatkan orang, namun ia menganggapnya sebagai yang “kudus, benar dan baik” (Rm 7:12). Hukum menyediakan dasar kokoh untuk tindakan sosial. Dalam suatu masyarakat yang mantap, hukum-hukum mutlak perlu, meskipun demikian hukum tidak boleh bersifat menindas. Tuntutan Alkitab akan keadilan berdasarkan sikap Allah yang benar akan mencegah penindasan serta menjamin bahwa yang adil itu benar-benar baik untuk masyarakat.
            Pengadilan atas Yesus digambarkan dalam PB sebagai pelaksanaan keadilan yang salah. Upaya Pilatus untuk membebaskan dirinya dari tanggung jawab atas keadilan hanya membuktkan bahwa hal itu mustahil. Meskipun orang-orang Kristen segera menangkap makna teologis dari ketidakadilan itu, yaitu bahwa yang tidak bersalah mati untuk yang bersalah (1 Ptr 3:18), namun peristiwa penyesatan keadilan itu tetap tertanam dalam pemikiran PB. Apabila pengadilan itu dianggap benar, maka mustahil untuk mempertahankan pandangan bahwa Yesus tidak berdosa. Karena itu PB menganggap keadilan insani sangat lemah. Diperlukan patokan penghakiman yang lebih objektif untuk mempertahankan patokan-patokan sosial, dan justru inilah yang disajikan oleh PB.
            Tentu saja hukum dilihat sebagai kendali. Para hakim bertugas untuk menyingkirkan unsur-unsur kejahatan dalam masyarakat serta mendorong adanya kebaikan (Rm 13:2-3). Alkitab tidak mendukung adanya kekuasaan anarki, yang merupakan musuh keadilan sosial dan yang menempatkan masyarakat dalam genggaman orang-orang oportunis yang untuk sementara waktu demikian berkuasa sehingga dapat memaksakan kehendaknya atas bagian terbesar masyarakat.
            Ketidakadilan dewasa ini di Indonesia sudah hampir sampai pada tingkat puncaknya. Namun, karena berbagai pertimbangan dan tekanan sosio-psiko-politis, misalnya, karena takut dilabelisasi atau karena kuatir “diamankan” atau menjadi babak belur, bersedia untuk sementara menutup mulut mereka. Kebenaran sejarah mengungkapkan, bahwa rakyat acapkali menjadi tidak sabar kalau beban ketidakadilan itu terus mengimpitnya. Dan kalaupun rakyat berusaha bersabar atau karena secara sosio-politis ia tidak mempunyai alternatif lain, seperti di Uni Soviet selama tiga generasi, maka akan datang semacam pemicu di siang hari bolong, entah itu dari arah mana datangnya, mungkin demikian sudah dikehendaki Tuhan, maka hancurlah Uni Soviet secara berkeping-keping.[9]
            Lanjut dari perkataan Sahetapy, kebenaran tentu tidak mungkin dilepaskan dari keadilan. Dan keadilan itu sendiri tidak mungkin ditegakkan tanpa kebenaran. Keadilan yang ditegakkan di atas ketidakbenaran adalah kemunafikan. Keadilan yang diucapkan berdasarkan kebohongan atau atas dasar rekayasa atau karena manipulasi, karena suap atau disebabkan pemerasan terselubung, atau apa pun yang tidak didasarkan atas hati nurani yang sudah bertobat, adalah mendesavoueer rahmat dan kasih Tuhan. Keadilan yang demikian adalah pembusukan keadilan itu sendiri. Keduanya, keadilan dan kebenaran begitu saling menyatu, ibarat dua sisi dari satu mata uang.[10]
            Jemaat Kristen tidak bersifat demokratis, juga tidak otokrasi, tetapi teokratik. Bahwa contoh satu-satunya dalam PB tentang seseorang yang ingin menjadi terkemuka dalam Jemaat dianggap sangat tercela (3 Yoh 9-10). Pengertian PB tentang Jemaat ialah masyarakat yang kepalanya adalah Kristus bukan seorang manusia (Kol 1:18; Ef 1:22) dan kehendak Allah mengatur ketertibannya (bnd. 1 Kor 5:3-5). Dilihat dari segi ini Jemaat tidak mungkin menjadi patokan bagi suatu masyarakat yang tidak mengakui pemerintahan ilahi, kecuali dalam arti ideal. Namun, kenyataan bahwa hakim-hakim sekular pun dianggap pelayan-pelayan Allah, merupakan bukti bahwa orang Kristen tidak mengabaikan hubungannya dengan masyarakat. Kebiasaan jemaat Korintus yang mengadili rekan-rekan seiman Kristen di pengadilan kafir, dikecam bukan atas dasar bahwa hakim yang kafir tidak mampu mengadili orang Kristen, melainkan karena adanya kejanggalan jika orang kafir menengahi dua orang Kristen yang sedang bertikai (1 Kor 6).
            Cara menjalankan kekuasaan adalah bagian dari keadilan. Harus ada pihak berkuasa dan pihak bawahan, apakah itu dalam rumah tangga atau dalam pemerintahan negara. Anak-anak harus menaati orang tuanya, hamba-hamba harus patuh kepada tuan-tuannya (Kol 3:20 dst.), tiap warganegara harus tunduk pada pemerintahnya (Rm 13:1). Dengan perkataan lain, hak kekuasaan tidak dipersoalkan. Namun, kekuasaan itu harus dijalankan dengan adil. Kaum ayah jangan menyakiti hati anak-anak mereka, hamba-hamba harus memperlakukan budak mereka dengan adil dan jujur (Kol 3:21; 4:1). Karena kekuasaan mutlak datang dari Allah, maka pelaksanaannya harus sesuai dengan sifat-Nya. Hal ini secara tidak langsung dimengerti pada waktu diterapkan pada pemerintahan. Kalau pemerintah menetapkan undang-undang yang bertentangan dengan suara hati orang Kristen, maka PB tidak mengharuskan orang itu untuk menaatinya.[11]
            Negara berdiri seharusnya tidak untuk menandingi Allah. Warganegara Kristen wajib setia kepada pemerintah (Rm 13:1 dst.) yang sah sesuai konstitusi dan hasil Pemilu 2004, khususnya di Indonesia. Mereka harus berdoa untuk seluruh pejabatnya (1 Tim 2:2), menteri-menteri dan petinggi-petinggi struktural maupun fungsional, “agar kita dapat hidup dalam tenang dan tenteram”. Diakui bahwa para pemimpin negara sebenarnya diangkat untuk menghukum para pelanggar dan menghormati warga yang berbuat baik (1 Ptr 2:13): ini adalah dasar pemerintahan yang baik. Namun, Alkitab mengakui bahwa tidak semua pemerintah itu baik, Kitab Wahyu menggambarkan negara sebagai penanding umat Allah, sekutu musuh-Nya, “si binatang” itu. Jelaslah diperlukan kebijaksanaan untuk menentukan batas-batas kesetiaan kepada negaranya yang dapat diharapkan dari orang Kristen.
            Tanggung jawab kemasyarakatan erat hubungannya dengan masalah perpajakan. Yesus tidak menolak membayar bea Bait Allah, walaupun Dia tidak wajib membayarnya (Mat 17:24 dst.). Paulus mencantumkan perintah khusus bagi orang-orang Kristen di Roma untuk membayar pajak dengan alasan bahwa para pembesar yang mengurusnya adalah pelayan-pelayan Allah (Rm 13:6-7). Tidak ada larangan pula bagi orang Kristen untuk turut bekerja dalam jajaran penguasa atau berpolitik dalam arti bahwa mereka adalah “pelayan Allah.”
            Satu hal yang belum disinggung dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara adalah membudayakan pengampunan walau tidak bisa lepas dari pendamaian, kekudusan, kebenaran dan keadilan. Sebagaimana kebanyakan orang mempertanyakan tentang relevansi nasihat Yesus “untuk mengasihi musuhmu” dalam kerangka nasional (Mat 5:43 dst.), demikian juga pengampunan yang diletakkan dari segi yuridis (menyangkut kebenaran dan keadilan) maupun kualitas rohani (pendamaian dan kekudusan). Memang Yesus berbicara tentang sikap pribadi, namun karena suatu masyarakat terdiri atas pribadi-pribadi, maka tak diragukan lagi bahwa kasih Kristen akan mengurangi pertikaian politik jika sejumlah besar orang dalam masyarakat didorong olehnya. Pengampunan menjadi efektif bila disadari oleh orang-orang Kristen bahwa mereka telah dibebaskan dan dihapuskan utang sepuluh ribu talenta, dan amat mungkin untuk mengerjakan itu terhadap sesamanya yang berutang seratus dinar (Mat 18:23-30). Realita dari perumpamaan yang Yesus katakan memang berbalik, banyak orang Kristen yang sulit mengampuni sesama orang percaya, juga orang lain dalam kehidupan kebersamaan. Orang yang telah menerima pengampunan diharapkan secara ipso facto (sendiri) harus melakukan pengampunan sebagai penghargaan terhadap tuannya.[12]
            Pengampunan yang diberikan Allah sebagai “anugerah” kepada manusia yang tidak berdaya atas kuasa dosa dan maut, harus dipahami pula dari segi hukum dimana “penggantian” terjadi, pemenuhan hukum terlaksana, kebenaran dan keadilan tidak dikorbankan, lebih dari itu Allah terpuaskan oleh kesempurnaan kurban Yesus Kristus. Manusia dan tatarannya pasti tidak dapat mengerjakan itu. Namun dalam kelemahan dan kekurangan yang ada, hukum-hukum insani tidak boleh menyimpang jauh dari hukum-hukum ilahi. Hukum di Indonesia harus ditegakkan, sekali lagi kebenaran dan keadilan berbicara lantang bukan sebagai komoditi perdagangan dalam berbagai bentuk yang tidak bisa dikatakan “pengampunan”.
            Hakim-hakim yang berulah harus ditindak tegas, berbagai upeti dan dana siluman dari dan bagi orang-orang tertentu, pastilah menyalahi kebenaran dan berada dalam penghukuman. Pengampunan dapat dipahami dalam kesadaran penuh akan kesalahan, rela berpaling dan meninggalkan kehidupan lama, tidak mementingkan diri tapi peduli sesama, lapar dan haus akan Kebenaran. Tanpa arti di atas, kepalsuan hidup terlihat dimana-mana bahkan manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang (Yoh 3:19).

C.        Kesimpulan

            Kehidupan baru bagi umat Kristen merupakan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus. Kerajaan Allah telah hadir dalam diri orang percaya, Allah memerintah atas umat-Nya dan bekerja di dalam serta melalui mereka. Peran orang-orang Kristen dalam kehidupan bergereja telah kedapatan begitu besar, bahkan memberi tekanan miring pada denominasi tertentu ketimbang arti kesatuan tubuh Kristus secara rohaniah.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, nampak kekurangan di sana-sini meski untuk itu gereja di utur. Kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pengampunan, merupakan nilai-nilai kristiani yang melekat pada gereja sebagai kualitas mutlak juga pembeda dengan yang duniawi. Gereja harus tampil mewakili Yesus sebagai juruselamat bagi dunia, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam konteks ini. Ia mesti berseru-seru seperti Yohanes Pembaptis atau Yesus yang mengutusnya: “Bertobatlah, Kerajaan Allah sudah dekat!” (Mrk 1:4, 15), tanpa lupa citra diri dan mengenakan busana kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pegampunan.
Bangsa Indonesia membutuhkan Terang dalam kegelapan alam demokrasi yang diperjuangkan pasca Pemilu 2004. Dalam pemerintahan Allah (teokrasi) atas alam semesta, seluruh umat manusia, bangsa-bangsa dan negara-negara, khususnya orang-orang percaya yang masuk dalam Kerajaan-Nya meski tinggal di Indonesia,  harus dapat melihat visi ilahi bagi bangsa Indonesia. Allah pasti memerintah atas bumi Pertiwi dan anak-anak-Nya seharusnya tahu bagaimana Ia melangsungkan pemerintahan-Nya di alam demokrasi berbasis Pancasila dan UUD 1945.
Allah memakai falsafah bangsa Indonesia untuk memayungi kebersamaan rakyat Indoensia yang terintegrasi dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Kita harus mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari gangguan dan ancaman yang bersifat pribadi, golongan, atau ekspansi dan eksploitasi bangsa manapun dalam batas-batas tertentu setidak-tidaknya tatanan moral, etik, dan spiritual yang fundamental. Tanpa melemahkan panggilan ilahi untuk restorasi jiwa, budaya, perilaku dan kehidupan berbangsa dan bernegara, orang-orang Kristen mesti mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
Pola atau kebiasaan yang dihidupi orang-orang percaya (bukan lagi “cita-cita” untuk membudayakan kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pengampunan) patut diwariskan pada anak-cucu mereka. Mereka harus tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran (1 Tim 3:15). Keturunan orang-orang percaya harus kokoh, tegar dan kuat dalam Injil walau menghadapi berbagai cobaan, lalu bersamaan dengan itu menularkan kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pengampunan yang dialaminya. Pemberitaan tanpa perubahan dari dalam diri, kepemimpinan tanpa teladan, beriman tanpa bertindak, kesemuanya itu tidak menambah karya pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia justru kemunduran dan keterbelakangan. “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang” (Mat 5:13).


DAFTAR BACAAN


Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2
Jakarta: Gunung Mulia, 1993

   ___               Teologi Perjanjian Baru. Jilid 3
                        Jakarta: Gunung Mulia, 1993

Sahetapy. J.E, “Demi Keadilan” bagian dari kumpulan penulis-penulis yang di edit di bawah judul Keadilan dalam Kemajemukan
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998

Majalah Gatra No. 49 Tahun Ke-X, Tanggal 23 Oktober 2004, tentang bursa calon-calon menteri dengan tajuk “Berebut kursi modal reputasi”

Majalah Tempo edisi 4-10 Oktober 2004 dengan judul DPR Baru: Penyeimbang atau Pengganjal

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Simatupang,T.B. Dari Revolusi ke Pembangunan.
Jakarta: Gunung Mulia, 1987



[1] Lihat Majalah Gatra No. 49 Tahun Ke-X, Tanggal 23 Oktober 2004, tentang bursa calon-calon menteri dengan tajuk “Berebut cursi modal reputasi” pada halaman 28-31.
[2] Bahasa opini dalam majalah Tempo edisi 4-10 Oktober 2004 dengan judul DPR Baru: Penyeimbang atau Pengganjal. Berita utama edisi tersebut juga membahas masalah di seputar DPR baru dibawa pimpinan Agung Laksono sebagai Ketua DPR.
[3] Kutipan opini Majalah Tempo bertajuk “Ujian Kepemimpinan Presiden Baru” , edisi 4-10 Oktober 2004 pada halaman 24.
[4] Ibid., .65-76. Dengan keruwetan masalah-masalah yang ada di Indonesia, reformasi di Indonesia akan membawa pada demokrasi seperti di Filipina, Thailand atau Amerika Latin?  Nampaknya masih menjadi tanda tanya besar seperti pasca Pemilu 2004 yang diragukan akan mengantar Indonesia memasuki babak baru yang lebih demokratis. Banyak penumpang gelap di berbagai bidang, bahkan menjadi aktor-aktor dominan di lembaga “demokrasi”. Pola pemanfaatan jalar-jalur dan prosedur demokrasi tampaknya menjadi modus utama para pembajak. Dalam Pemilu 2004, yang berlangsung lebih demokratis ketimbang pemilu 1999, lagi-lagi kita menyaksikan sejumlah tokoh lama yang masuk ke jajaran elite partai, atau mendirikan partai baru untuk bertarung merebut dukungan publik. Kelompok itu juga masuk dalam jeringan koalisi yang mendukung pencalonan pemimpin nasional dalam pemilu presiden putaran kedua. Analisa ini memperlihatkan kemungkinan konflik-konflik yang semakin besar di kemudian hari antara koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan.
[5] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: .Raja Grafindo Persada, 1995) 3-4.
[6] Ibid., 71-72.
[7] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 1993) 3:298.
[8] T.B. Simatupang, Dari Revolusi ke Pembangunan (Jakarta: Gunung Mulia, 1987) 268.
[9] J.E. Sahetapy, “Demi Keadilan” sebagai bagian dari kumpulan penulis-penulis yang di edit di bawah judul Keadilan dalam Kemajemukan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998) 291.
[10] Ibid., 293.
[11] Donald Guthrie, Teologi PB, 3: 308-309.
[12] Donald Guthrie, Teologi PB (Jakarta: Gunung Mulia, 1993) 2:219-220.

Senin, 21 Mei 2012

Spiritualitas Kristen


 PENGEMBANGAN KARAKTER DAN SPIRITUALITAS KRISTEN MASA KINI
(Sebuah Tradisi yang Relevan bagi Masyarakat Kristen)
Pdt. Tjandra Tan, M.Th.
 
A.        Pendahuluan
            a.         Arti Karakter Spiritual Kristen
Karakter seseorang menyatakan siapa diri orang yang sebenarnya dibalik penampilan lahiriah yang memungkinkan untuk bersandiwara. Karakter tentulah berbeda spiritual, meskipun diletakkan dalam pembicaraan tentang kualitas hubungan pribadi dengan Tuhan. Namun, kedua hal ini tidak terpisahkan; Allah sangat menaruh perhatian pada karakter, dan pastilah ada sesuatu yang tidak beres bila seorang yang rohani tidak memiliki watak atau karakter yang baik.
Dalam tindakan yang lebih konkret, hubungan yang erat antara karakter dan kerohanian yang sehat akan menghasilkan hal-hal yang baik. Suatu perbuatan baik yang dikerjakan secara tetap dan terus menerus dilakukan sebagai kecenderungan batiniah dari karakter spiritual kristen yang benar. Ia tidak hanya secara kebetulan sekali-kali melakukan perbuatan yang baik. Ia selalu siap sedia untuk melakukan yang baik; ia terdorong untuk berbuat baik dalam berbagai macam situasi. Orang mulai mengandalkan karakter spiritual yang baik, sama seperti mereka yang mengharapkan perbuatan berbohong dan menipu dari karakter kedagingan seorang yang jahat. Tuhan Yesus berkata, “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka“ (Mat 7:20; 12:33-37).
Sifat yang baik pada zaman Yunani dapat memiliki arti “keunggulan, mutu yang baik” yang dalam katalogus Yunani ada empat hal utama didalamnya.[1] Pertama adalah kemampuan membedakan.       Jika kita tidak bisa membedakan apa yang sedang terjadi dalam suatu situasi, apa perasaan orang, dan apa yang penting, maka kita akan selalu mengambil keputusan yang keliru. Boleh dikata bahwa berbagai perselisihan moral yang terbesar pada setiap zaman bukanlah perselisihan dalam teori moral, tetapi pada kemampuan untuk membedakan masalah yang sebenarnya. Karakter spiritual yang baik merupakan inti nasihat Paulus yang berbunyi, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2).
Sifat baik yang kedua adalah keberanian. Ini merupakan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan baik pada waktu keadaan kacau dan sulit. Karakter spiritual yang baik memiliki keberanian bekerja dengan baik pada saat pencobaan menimpa, dan keadaan tidak menyenangkan. Keberanian adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik sementara menghadapi ancaman dalam kehidupan, gangguan keamanan, tantangan masa depan, dan tuntutan pengorbanan atas sesuatu yang sangat dikasihi. Perjanjian Lama merupakan sebuah simfoni yang banyak variasinya mengenai tema keberanian.
Penguasaan diri merupakan sifat baik yang ketiga. Penguasaan diri ini berarti menguasai hidup kita sendiri. Artinya mengelola, mengendalikan, mampu mengatur segala sesuatu yang sedang terjadi didalam diri kita. Dengan pertolongan Roh Allah, karakter spiritual orang kristen yang telah menyerahkan hidupnya pada Kristus akan menguasai dirinya sedemikian rupa tanpa membiarkan keadaan, barang apa pun atau siapa pun yang menguasainya. Seperti karunia Roh lainnya, penguasaan diri perlu dilatih sebab jika tidak maka akan kehilangan karunia itu.
Sifat baik yang keempat adalah keadilan. Karakter spiritual orang kristen yang membuahkan keadilan selalu memutuskan untuk bertindak adil dan tidak memperlakukan seseorang berbeda dengan orang lain. Berarti juga harus menolak pertanyaan seperti, siapa yang paling besar pengaruhnya? Atau siapa yang paling banyak memberikan hadiah padaku? Para nabi menuntut keadilan, serta mengemukakan perkara Tuhan melawan Israel, “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan daripadamu; selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati dihadapan Allahmu? (Mikha 6:8).
Masih banyak sisi lain dibalik karakter spiritual kristen yang melibatkan karya Roh Kudus setelah lahir baru. Sebagian besar karakter spiritual kristen dapat dikatakan buah Roh (Gal 5:22-23), disamping hal lain seperti kejujuran dan kesediaan untuk mengadakan serta mempertahankan penyerahan hidup pada Kristus sebagai kebutuhan pokok yang tidak begitu mencolok dibandingkan dengan buah Roh.

            b.         Dinamika Kehidupan Spiritual Kristen
Spiritual kristen merupakan relasi antara pribadi yang utuh dengan Roh Allah yang meneguhkan pengakuan dan pernyataan perjanjiannya di dalam Yesus Kristus sebagai Jalan Kebenaran dan Hidup yang baru dimulai setelah pembebasan dari kuasa dosa dan maut.[2] Telah berjalan berabad-abad sejak berdirinya kekristenan sampai kini, bahwa kerohanian orang percaya tidak hanya ‘tindakan instan sekali selamanya oleh pekerjaan Roh Kudus’ yang menghasilkan pertobatan dan lahir baru. Kerohanian itu ibarat benih yang memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang dalam pengenalan akan Kristus sampai “kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef 4:13).
Roh Kudus –dengan memberi diri-Nya menjadi kehidupan rohani orang percaya, memungkinkan orang percaya itu mengalami kehidupan Kristus yang bangkit dalam dirhnya. Roh adalah Pencipta, Sumber dan Penata kekuatan sepanjang hidup dalam proses pertumbuhan spiritual, dan hanya dengan Roh maka orang percaya dapat memperoleh kemenangan melawan dosa. Roh melepaskan orang kudus dari belenggu ketergantungan mutlak pada hukum secara harfiah; Roh adalah Roh Kristus Pembebas, dan yang mengubah orang berdosa, yang menyesuaikannya dengan citra Kristus (2 Kor 3:17,18). Roh Kudus ialah Roh Kerajaan Allah yang mengutamakan kebenaran, damai sejahtera dan sukacita di atas makanan dan minuman (Rm 14:17). Di atas segala-galanya, Roh-lah sumber kasih kudus yang mengungguli iman dan pengharapan, yang paling pertama dan utama dalam daftar buah Roh hasil spontan dari pekerjaan-Nya (Gal 5:22,23). Dalam rangka itu maka karunia-Nya kepada gereja harus dihargai dan digunakan (1 Kor 12, 13). Roh-lah yang mempersatukan, dan apabila Ia membagikan karunia yang berbeda Ia berusaha memelihara kesatuan dalam ikatan damai sejahtera (Ef 4:3). Janganlah memadamkan Roh karena tidak bersandar pada-Nya, dan janganlah mendukakan-Nya dengan mengandalkan-Nya secara salah (1 Tes 5:19; Ef 4:30).[3]
Dinamika kehidupan spiritual Kristen oleh rasul Paulus diuraikan berkenaan langsung dengan peranan Roh Kudus dalam perkembangan watak kristiani. Roh yang melampaui batas-batas alamiah akan mendorong dan mengarahkan pada pertumbuhan rohani yang dinamis dan makin dewasa dalam pengenalan akan Yesus Kristus. Paulus sadar bahwa untuk perkembangan watak spiritual membutuhkan dorongan adikodrati dan hal ini nampak jelas dalam penggunaan istilah buah berbentuk tunggal (Gal 5:22) untuk memperlihatkan bahwa semua sifat yang disebutkannya merupakan suatu keseluruhan yang padu, yaitu suatu watak yang dipenuhi Roh.[4]

B.        PENGEMBANGAN KARAKTER SPIRITUAL KRISTEN
Melihat dinamika kebutuhan rohani yang tidak mungkin dibendung oleh manusia, apalagi Roh-Nya menghendaki semakin dalam dan diperkaya melalui pengalaman pribadi maupun komunal, tentulah amat disayangkan terjadinya penghambatan karena ketidakmengertian dan atau pembebasan spiritualitas tanpa kendali yang jelas. Daniel J. Adams mengatakan, “Unsur penting, tetapi yang sering dilalaikan dalam usaha teologia ialah pembentukan, pengertian dan praktik spiritualitas Kristen. Umat Kristen Asia sangat sensitif terhadap hal-hal rohani sebab itu merupakan bagian dari kemajemukan agama yang ada di Asia. Walau konteks Asia itu khas adanya, hal mencari bentuk-bentuk spiritual baru terdapat dalam masyarakat-masyarakat agama di seluruh dunia.”[5]
Spiritualitas Kristen harus diberi tempat yang memadai di kehidupan orang percaya dalam kerangka pertumbuhan dan pengembangan manusia batiniah yang sudah diselamatkan. Rasul Paulus menggunakan frase ho eso anthropos dalam dua cara yang berbeda: tentang manusia yang belum diselamatkan, dan manusia yang telah diselamatkan. Dalam Roma 7:22, “diri yang terdalam” digunakan sebagai sinonim “pikiran”, yang dapat menyetujui Hukum Allah dan ingin menaatinya, namun tidak berdaya melaksanakannya. Behm menjelaskan hal ini sebagai “sisi rohaniah manusia, atau manusia itu sendiri sepanjang ia berpikir, berkehendak, dan merasa”.[6] Dalam 2 Korintus 4:16, manusia batiniah dibedakan dengan “manusia lahiriah” –manusia sebagai pribadi duniawi yang akan binasa. Meskipun manusia lahiriah akan mati, manusia batiniah diperbarui setiap hari. Manusia batiniah adalah diri yang nyata, yang beralih dari tubuh daging ke tubuh kebangkitan. Dalam dua contoh ini, “manusia batiniah” merupakan diri yang esensial dan lebih tinggi, yang ditebus atau dapat ditebus, diciptakan untuk Allah dan melawan dosa.[7]
Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan kerohanian patulah diperhatikan dan itu tidak hanya bersifat personal, komunitas bersama antar orang percaya termasuk dalam bagian penting yang berpautan. Orang-orang yang telah percaya harus dimuridkan, diberi pengajaran rohani yang mendasar, berdisiplin diri, dilatih untuk optimalisasi karunia-karunia Rohani dan pelayanan, dan pada akhirnya dapat bersaksi kepada dunia.

a.         Pemuridan
Setiap pembaruan yang terjadi dalam sejarah gereja mempunyai tindakan lanjut dalam bentuk pemuridan bersama. Pengikut Wesley, misalnya, menyelenggarakan “pertemuan-pertemuan kelompok jemaat” (class meetings); para pengikut Pietist di Jerman pada abad 17 juga mengadakan kelompok-kelompok pendalaman Alkitab; dan gerakan-gerakan pembaruan dewasa ini juga mengadakan pertemuan-pertemuan kelompok kecil. Pemuridan bersama merupakan pertemuan orang-orang beriman, entah itu hubungan perseorangan ataupun dalam kelompok kecil dengan orang beriman lainnya, sehingga mereka dapat saling bertanggung jawab satu sama lain, saling membangun, dan saling mendorong bagi pertumbuhan iman bersama.
Gereja masa kini telah memasuki suatu zaman yang tidak tertib dengan semboyan-semboyan tidak tertulis “uruslah kepentinganmu sendiri”, “kerjakannlah menurut caramu”, dan “kalau rasanya benar, kerjakanlah.” Itu semua bukanlah pandangan yang terdapat dalam Alkitab. Kitab Suci mengajarkan bahwa “Kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain’ (Rm 12:5). Kita dibebani tanggung jawab, bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada satu terhadap yang lain karena hubungan kita dengan Tuhan. Kita perlu terlibat dalam berbagai hubungan yang bertanggung jawab yang tidak hanya bergantung pada apa yang kita rasakan hari demi hari.
Saling membangun dan saling memberi dorongan merupakan aspek-aspek utama lainnya dari pemuridan bersama. Penulis kitab Ibrani menolong kita untuk melihat bagaimana kedua apek tersebut menolong kita untuk bertumbuh, “Nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini’, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar karena tipu daya dosa” (3:13). Ini menunjukkan bahwa jika kita tidak saling memberi dorongan dan saling membangun, kita sebenarnya akan ditipu oleh dosa.
Penulis Ibrani juga mengatakan, ”Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihato” (10:24,25). Disini ada tercakup prinsip rohani dan prinsip alkitabiah yang mendasar. Allah telah menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kita memerlukan disiplin rohani, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk hubungan satu sama lain. Allah bekerja dengan kuasa Roh-Nya bila kita berkumpul bersama-sama.

b.         Disiplin  Rohani
Tahap yang terpenting dalam kehidupan rohani jemaat di gereja adalah mengajar mereka untuk memiliki disiplin rohani yang kuat agar mereka menjadi umat Tuhan yang berkemenangan.  Disiplin rohani sebagai aplikasi akan kemampuan jemaat untuk taat kepada Allah dan FirmanNya sebagai orang-orang yang telah ditebus Kristus. Tujuan dari disiplin rohani yang dimiliki jemaat yaitu untuk membawa mereka hidup dalam pengenalan akan Kristus dengan baik.
Beberapa tahap pengajaran untuk jemaat dapat bertumbuh dalam disiplin rohani dengan pola dari II Petrus 1:5-7  yaitu:
1.      Menambah iman dengan kebajikan (virtue)
Kebajikan adalah tekad yang kuat untuk melaksanakan iman. (I Kor. 13:13) Gereja mengkonseling dan membimbing agar jemaat dapat melakukan iman dan perbuatan dengan baik. (kelompok konseling, kelompok doa yang saling menguatkan agar jemaat mempraktekan iman).
2.      Menambahkan kebajikan dengan pengetahuan (knowledge).
Pertumbuhan iman jemaat dapat terjadi dengan pengetahuan Firman Tuhan yang baik (Ef. 5:6). Program pemahaman Alkitab secara pribadi/saat teduh maupun kelompok dalam gereja.
3.      Menambahkan pengetahuan dengan penguasaan diri (temperance).
Penguasaan diri adalah bagian penting untuk menjadikan semua karunia dan talenta yang ada dapat dipakai bagi kemuliaan Tuhan (Gal. 5:23 -program kelompok doa dan kebaktian kesaksian).
4.      Menambahkan penguasan diri dengan kesabaran (patience).
Kesabaran atau ketekunan adalah sebagai unsur penting untuk dapat bertahan dalam masa yang sukar (I Tim. 1:12 -kebaktian-kebaktian untuk menguatkan iman dengan kesaksian dari jemaat-jemaat, ucapan syukur).
5.      Menambahkan kesabaran dengan kesalehan (godliness)
Kesalehan adalah hidup takut akan Tuhan yang teraplikasikan dalam pola hidup beriman dan beribadah (pelayanan diakonia dan pemberitaan Injil).
6.      Menambahkan kesalehan dengan kasih akan saudara-saudara (brotherly kindness).
Kesalehan yang murni adalah tidak membeda-bedakan saudara seiman, dan mendahului dalam memberi hormat (kebaktian keluarga dengan semua jemaat, doa antar keluarga).
7.      Menambahkan kasih akan saudara-saudara dengan kasih akan semua orang (charity). Jemaat menjadi berkat tidak hanya untuk gereja sendiri, tetapi bagi orang lain sebagai kesaksian murid Kristus yang telah diselamatkan (program diakonia, sekolah, klinik kesehatan).
c.         Ibadah

Ibadah dalam gereja terdiri dari kebaktian perorangan, bersama, secara berkelompok, dan seorang diri kepada Tuhan yang dinyatakan dengan penghormatan serta penaklukan diri kepada Dia yang sungguh-sungguh layak menerima semua itu. Ibadah yang benar harus di dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24) dengan pengertian bahwa:
“Dalam roh memiliki arti bahwa ibadah dapat dan harus dilakukan dimana dan kapan saja, karena roh tidak dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Ibadah itu berasal dari roh manusia (Ibr 4:12) yang tidak sekadar upacara gereja secara lahiriah, dan merupakan pengalaman seseorang dengan Allah dalam bentuk penghormatan atas penyataan diri-Nya melalui Yesus Kristus. Sedangkan di dalam kebenaran artinya sifat dari ibadah itu harus murni dan tidak berpura-pura dimana Allah sangat menentang ketidaktulusan dan kepalsuan (Yes 1:10-17; Mal 1:7-14; Mat 15:8,9).“ [8]

Adapun isi dari ibadah yang dipakai sebagai sarana untuk mengembangkan karakter spiritual Kristen yaitu:
1.    Firman Tuhan
Sarana Allah yang paling unggul untuk memperbarui umat-Nya menurut citra Kristus adalah firman-Nya (Yoh 17:17; bnd. II Tim 3:16-17), karena pengajaran firman adalah sentral dalam pekerjaan hamba-hamba-Nya (II Tim 4:2) sebagaimana terlihat dalam contoh Paulus sendiri (Kis 20:20-21). Sama seperti Roh Kudus menggunakan firman untuk membawa orang kepada iman dalam Kristus (Ef 1:13), begitu juga Ia memakainya untuk pengudusan (Ef 5:26-27).
Sejak awal gereja sangat memperhatikan pentingnya pengajaran atau doktrin (Kis 2:42) yang digunakan untuk membangun jemaat maupun dalam pemberitaan Injil (Kis 4:2; 13:5; 17:2). Dalam semua surat kiriman menunjukkan jenis pengajaran yang harus dibiasakan dalam gereja-gereja dan itu menyangkut semua aspek pengajaran doktrin dengan penerapan.
Mengenai pelayanan firman Tuhan, yang perlu diperhatikan hanyalah bahwa kutipan-kutipan dari Kitab Suci sering dipergunakan oleh Paulus dalam surat-suratnya mengisyaratkan bahwa para pembacanya yang bukan Yahudi sudah mengenal isi kitab LXX. Karena itu, cukup beralasan untuk menganggap bahwa pembacaan kitab Suci secara teratur merupakan suatu bagian penting dalam pertemuan-pertemuan ibadah kristen. Satu-satunya keterangan langsung mengenai hal ini adalah I Timotius 4:13, di situ Timotius didorong untuk “bertekun dalam membaca kitab-kitab suci, dalam membangun dan dalam mengajar”.
Tidak mungkin untuk mengatakan kapan waktunya dalam perkembangan ibadah kristen, bahan-bahan kristen yang lainnya (selain PL) dimasukkan ke dalam pembacaan umum. Paulus sendiri minta dengan sangat agar surat-suratnya dibacakan kepada orang-orang di dalam jemaat-jemaat yang dikirimi surat-suratnya itu (I Tes 5:27). Di samping itu ia meminta juga agar diadakan pertukaran surat-suratnya di antara jemaat-jemaat (Kol 4:16). Ia mengharapkan agar orang-orang kristen memegang ajaran-ajaran yang telah diajarkan oleh rasul-rasul, baik secara lisan maupun tertulis (II Tes 2:15). Ia tidak memberikan petunjuk tentang termasuknya ajaran-ajaran tentang kehidupan dan pengajaran Yesus, walaupun dalam I Timotius 5:18 nampaknya ia menggolongkan suatu ucapan Yesus (yang dicatat oleh Lukas) sebagai kitab suci. Kelihatannnya jemaat bukan hanya beribadah tetapi juga menangani tugas untuk menyampaikan kepada anggota-anggotanya suatu pegangan iman yang masuk akal, dengan cara pembacaan kitab Suci di depan umum dan pengajaran yang meliputi:
a.         Khotbah (Pemberitaan Firman)
Pembacaan dan penjelasan Alkitab oleh kuasa Roh Kudus mempunyai arti yang tak berhitung nilainya bagi pembaruan dan pertumbuhan umat Allah. Sesungguhnya kehidupan gereja setempat bergandengan dengan penjelasan firman yang ditrimanya, dalam hal ini khotbah-khotbah yang mengupas ajaran Alkitab dan menerapkannya secara relevan.
b.         Penelaahan Alkitab secara Pribadi
Orang kristen yang teguh harus belajar disiplin untuk menelaah Alkitab setiap hari secara pribadi sebagai cara pertumbuhan rohani yang nyata dan diberkati Tuhan. Membaca dan merenungkan firman Tuhan secara pribadi dapat membawa berkat-berkat yang tak terhitung banyaknya.
Sikap yang benar terhadap Alkitab perlu diperhatikan pada bagian-bagian yang dipelajari tanpa lepas konteks walau sewaktu-waktu Allah membuat firman-Nya menjadi luar biasa relevan saat keadaan khusus. Seluruh Alkitab adalah firman Allah untuk manusia sepanjang waktu dan kebenaran yang terkandung di dalam setiap ayat adalah bagian dari seluruh kebenaran dalam konteks alkitabiah dan teologis. Prinsip-prinsip penafsiran yang tepat harus dipakai dalam usaha pribadi untuk mengerti Alkitab, bukan hanya dalam usaha di depan umum.
Ada anggapan yang tidak benar bahwa kita layak menerima berkat Tuhan karena sudah memenuhi kewajiban sehari-hari untuk belajar Alkitab atau sebaliknya merasa bersalah di hari ini karena tidak sempat mempelajari Alkitab. Untuk itu perlu di ingat akan Allah yang berdaulat dalam kemuliaan tidak bergantung pada usaha kita yang lemah. Dia sanggup memberlakukan maksud-Nya untuk melindungi dan memberkati menurut kemurahanNya, akan tetapi mempelajari firman Allah setiap hari merupakan kebiasaan yang tak ternilai manfaatnya.
c.         Penelaahan Alkitab Berkelompok
Penelaahan Alkitab dalam kelompok informal (Kis 17:11) mempunyai peran penting dalam pertumbuhan gereja. Dalam penelaahan kelompok perlu adanya kepemimpinan yang tangguh dan keuletan untuk menghindari kecenderungan penyimpangan dari pokok pembicaraan, menonjolkan pendapat sendiri, atau tukar menukar kesaksian yang tidak jelas hubungannya dengan bagian Alkitab yang sedang dipelajari.[9]

2.         Pengakuan Iman
Memikirkan tentang pentingnya pengakuan-pengakuan iman yang dipergunakan jemaat mula-mula akan mempengaruhi bentuk jemaat-jemaat di kemudian hari. Paulus sendiri mengakui “Yesus sebagai Tuhan” (Rm 10:9; Flp 2:11) dan mengakui adanya suatu kumpulan tradisi kristen. Ia menyatakan sendiri telah menerima penjelasan yang diberitakan kepadanya (I Kor 15:1 dst.) dan bahwa orang-orang kristen di Roma telah menerima suatu “pengajaran yang diteruskan kepadamu” yang mereka taati (Rm 6:17). Ia mendorong orang-orang Filipi untuk “berpegang pada firman kehidupan” (Flp 2:16). Pengungkapan-pengungkapan yang bermacam ini tentu telah menunjuk pada suatu kumpulan ajaran kristen yang umum diakui dalam jemaat-jemaat.  Karena itu, tidaklah mengherankan apabila ditemukan istilah-istilah “memelihara iman” atau “contoh ajaran yang sehat” dalam surat-surat penggembalaan. Terdapat juga banyak contoh tentang cara Paulus menggunakan ungkapan “iman”, dengan memaksudkan lebih daripada hal percaya saja (misalnya Flp 1:27; Ef 3:5; Kol 2:6,7). Hal yang sama dapat dikatakan juga mengenai ungkapan “kebenaran” (misalnya 1:5; II Tes 2:12).
Dengan jelas Paulus memperhatikan bahwa jemaat-jemaat Kristen bukan hanya harus mengetahui, tetapi juga harus tetap mempertahankan dasar dari penyerahan mereka sebagai orang kristen. Terdapat suatu keadaan yang dapat disebut “injilku”, sebagai perbandingan dengan segala injil lain yang dianggap khilaf (bnd. Gal 1:18) sehingga timbul pendapat tentang tradisi yang ditulis dalam I Korintus 15:3 dst. adalah suatu pengakuan iman kristen yang mendasar, sebagai pengukur bagi ajaran yang bersifat kristen dan yang bukan. Dengan kata lain, penekanan ialah kematian dan kebangkitan Kristus dan penafsiran kematian itu “sesuai dengan Kitab Suci”. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa suatu bentuk pernyataan iman pada zaman dahulu telah diterima oleh Paulus sebagai dasar yang otentik bagi keanggotaan dalam jemaat-jemaat yang berkembang.
3.         Doa
Dalam Perjanjian Lama terdapat sejumlah besar contoh tentang Allah yang memberkati bangsa-Nya sebagai jawaban atas doa mereka (Kej 18:16-33; Kel 3:7-10; Bil 21:4-10; Bil 21:4-9; I Raj 18:20-39; Neh 1:1-11). Lagi pula doa diberikan tempat yang sangat penting dan teratur dalam pelayanan Yesus (Luk 3:21; 5:16; 9:28-29; Ibr 5:7) dan murid-murid dengan tekun mengikuti teladan-Nya baik secara bersama maupun secara individual (Kis 1:14; 2:42; 4:4-6, 23-31; Ef 1:16; Flp 4). Yesus tidak hanya memberi contoh. Ia juga mengajar murid-murid untuk selalu berdoa dan juga tentang bagaimana melakukannya (Mat 5:44; Luk 1:1-13; 18:1-8).
Doa dilakukan secara perorangan maupun bersama-sama (Kis 4:24; 6:4; 10:9; I Tim 2:1-8). Pentingnya doa nampak dalam pertemuan-pertemuan jemaat-jemaat Kristen dan Paulus sendiri memasukkan banyak doa ke dalam surat-suratnya. Ia memperhatikan doa mengenai keperluan-keperluaannya sendiri (2 Kor 12:8) dan mengakui nilai dari doa bersama. Orang-orang Kristen dapat digambarkan sebagai “semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita” (1 Kor 1:2). Doa Paulus sendiri dalam Efesus 1:3-14 dapat diambil sebagai contoh yang menggambarkan isi doa-doa dari orang-orang Kristen mula-mula, dan memang bukanlah tidak mungkin bahwa ia mengulang bahasa yang telah dikenalnya melalui pengalaman yang nyata dari ibadah yang dilakukan dalam jemaat. Dalam penyembahannya kepada Allah, ia memperkenalkan beberapa gagasan teologis yang dalam, yang mengingatkan kita bahwa doa orang-orang Kristen tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip iman Kristen. Jemaat di Kolose didorong untuk terus berdoa, secara khusus bagi Paulus dan orang-orang yang membantunya (Kol 4:2; bnd.juga 1 Tes 5:25).
Salah satu segi doa yang dikemukakan oleh Paulus adalah pentingnya “mengucap syukur”. Ia memberikan contoh dalam doa-doanya sendiri dan mendorong agar para pembaca suratnya melakukan hal yang sama (Kol 4:2; Flp 4:6; bnd.1 Kor 14:16).
4.         Puji-pujian
Perjanjian Baru menekankan pujian perorangan maupun bersama sebagai salah satu sisi ibadah. Kalau ada seseorang yang berbahagia biarlah ia menyanyi (Yak 5:13). Paulus dan Silas menyanyikan kidung pujian di dalam penjara (Kis 16:25). Menyanyi juga merupakan bagian dalam ibadah umum (I Kor 14:26; Kol 3:16). Walaupun ada perbedaan antara mazmur, pujian, dan nyanyian rohani, namun perbedaan itu tidak untuk dipertahankan secara kaku. Mazmur mungkin dimaksudkan mazmur dalam Perjanjian Lama, walau mungkin mendapat tambahan dari jemaat. Pujian dapat disampaikan langsung kepada Allah (namun mungkin juga menggunakan mazmur, Kis 16:25). Nyanyian rohani mungkin mencakup berbagai tema yang lebih luas. Musik merupakan bagian yang penting dalam ibadah di banyak gereja masa kini.
5.         Persembahan
Perjanjian Baru lebih banyak membicarakan soal persembahan dibandingkan dengan aspek lainnya dalam kehidupan gereja. Memberi kepada orang lain merupakan bukti kasih seseorang terhadap Allah (Yak 2:15-17; I Yoh 3:17,18). Hal itu harus berasal dari kehidupan yang terlebih dahulu telah dipersembahkan kepada Dia (II Kor 8:5), harus dilakukan dengan sukarela (ay 11, 12; 9:7), dengan bebas sekalipun dalam kekurangan (ayat 12), dengan sukacita (9:7), dan sesuai dengan ukuran kemakmuran yang diberikan Allah (I Kor 16:2).
6.         Persekutuan
Jemaat mula-mula terus bersekutu (Kis 2:42) dalam keeratan yang mendalam diantara sesama anggota jemaat karena ketekunan dalam pengajaran, kemauan untuk saling membagi harta milik, pengalaman persekutuan dalam perjamuan Tuhan dan saling mendoakan.

d.         Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus
Sakramen (Lat.sacramentum) secara secara sederhana dapat disebut “ungkapan lahir dan nyata dari anugerah batin dan tidak nyata.” (Katekismus gereja Anglikan). Istilah ini dibatasi pada perintah Kristus yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus.
Tiga unsur utama dalam sakramen yaitu tanda, anugerah dan hubungan antara kedua-duanya. Tanda yang dilihat berupa air pada baptisan dan roti serta anggur pada perjamuan kudus. Anugerah yang tidak dilihat berupa jaminan/pemateraian anugerah bagi orang percaya. Dalam hal baptisan, anugerah ini adalah “pemandian kelahiran kembali” (Tit 3:5), pengampunan dosa (Kis 2:28), penyatuan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan (Rm 6:1) serta keanggotaan dalam tubuh Kristus (I Kor 12:12). Dalam hal perjamuan kudus, anugerah adalah penerimaan manfaat pengurbanan Kristus (I Kor 10:16), semacam makanan rohani dari tubuh Kristus (I Kor 11:24) dan persekutuan dengan umat Allah (I Kor 10:17).
Ayat-ayat utama yang menyatakan bahwa Kristus menetapkan baptisan dan perjamuan kudus juga menyebut hal mengajar (Mat 28:20) dan memberitakan (I Kor 11:26). Sakramen-sakramen tersebut adalah sakramen Injil, yang menunjuk kepada Kristus, kematian dan kebangkitan-Nya bagi orang berdosa. Para reformis ketika mengoreksi penyalahgunaan sakramen oleh gereja yang bersifat takhyul dan menekankan perlunya memberitakan firman pada waktu melaksanakan sakramen. Mereka mendukung Agustinus yang melukiskan sakramen sebagai “kata-kata Allah yang nyata.” Ini prinsip yang penting, karena hanya dalam terang firman sakramen itu dapat berperan secara tepat, yaitu sebagai penegasan dan dukungan yang mengantar kepada Kristus dan menegaskan iman kepada Dia.[10] Louis Berkof melihatnya sebagai alat-alat anugerah dalam arti khusus bagi orang percaya, yang bermanfaat bagi pengembangan spiritual dari tindakan Roh Kudus, secara terus menerus dikerjakan-Nya di hati kita melalui pemberitaan Injil yang kudus dan meneguhkannya melalui pemakaian sakramen yang kudus, dan merupakan sarana resmi dari Gereja Yesus Kristus.[11]

C.        PENUTUP
Tuhan menghendaki semua orang percaya untuk menghasilkan buah sesuai dengan pertobatannya, “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api” (Luk 3:8,9). Rohani yang bertumbuh menjadi perhatian yang serius baik secara pribadi maupun kehidupan bersama saudara seiman. Berbahagialah Jemaat yang didapati Allah menang dalam pertandingan iman dan tetap setia kepadaNya (Why 2:10-11).


DAFTAR PUSTAKA


Adams,Daniel J. Teologi Lintas Budaya -Refleksi Barat di Asia
Jakarta: Gunung Mulia, 1992

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika. Vol.5.
Surabaya: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997.

Guthrie, Donald . Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2
 Jakarta: Gunung Mulia, 1993.

____. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 3
Jakarta: Gunung Mulia, 1993.


Milne, Bruce. Mengenali Kebenaran.
Jakarta: Gunung Mulia, 1993.


Ryrie, Charles C. Teologi Dasar. Vol.2.
Yogyakarta: Andi, 1992.

J.Behm, Theological Dictionary of the New Testament. Vol. II
Grand Rapids: William B.Eerdmans, 1985

Ladd,George E. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2
Bandung: Kalam Hidup, 1999

Smedes, Lewis. Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen
Malang: Gandum Mas, 1990

J.D.Dauglas,ed. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini . Jilid 2 M-Z
Jakarta: Bina Kasih, 2000

Ferguson, Sinclair B & Wright, David F (editor). New Dictionary of Theology.
England: Inter-Varsity, 1997.



[1] Pokok pikiran yang diambil dari karya Lewis Smedes “Sifat-sifat Moral yang Mendasar” Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas, 1990) 736-737
[2] Topik tentang Spiritualitas merupakan mode masa kini yang oleh Giovanni Scaramelli (1687-1752) dari Society of Jesus bahwa pengetahuan kehidupan spiritual meliputi asketik dan mistik. Definisi spiritual Kristen di ambil dari “New Dictionary of Theology” yang editornya adalah Sinclair B.Ferguson dan David F.Wright.
[3] J.D.Dauglas,ed. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini ( Jakarta: Bina Kasih, 2000) 2:320-321
[4] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru ( Jakarta: Gunung Mulia, 1993 ) 2:197-198.
[5] Daniel J.Adams, Teologi Lintas Budaya -Refleksi Barat di Asia    ( Jakarta:.Gunung Mulia, 1992) 24.
[6] J.Behm, Theological Dictionary of the New Testament ( Grand Rapids: William B.Eerdmans, 1985) 2:699
[7] George E.Ladd, Teologi Perjanjian Baru (Bandung: Kalam Hidup, 1999) 2:243
[8] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar  (Yogyakarta: Andi, 1992) 2: 234
[9] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran ( Jakarta: Gunung Mulia, 1993 ) 316-317
[10] Ibid, 319
[11] Louis Berkhof, Teologi Sistematika ( Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997 ) 5:103-104.