Wikipedia

Hasil penelusuran

Minggu, 22 April 2012

Kepemimpinan Kristen


EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KERJA MELALUI HUBUNGAN YANG SEHAT DALAM KEPEMIMPINAN KRISTEN
(Pdt. Tjandra Tan, M.Th)

A.        Pendahuluan
Kepemimpinan berhubungan dengan pekerjaan dan orang yang dipimpin dimana di dalam dan melalui mereka seorang pemimpin menyelesaaikan pekerjaan yang direncanakan/ditetapkan sebelumnya. Seorang pemimpin diperlukan dalam setiap usaha bersama yang memiliki tujuan tertentu. Pengaruh kepemimpinan dapat terlihat dari orang yang dipimpin selalu mengikuti arah yang ditetapkan, pengenalan akan batas kemampuan diri, dan keadaan sepenuhnya orang yang dipimpin. Lebih lanjut, pekerjaan atau tugas akan selalu menghubungkan orang yang memimpin dan orang-orang yang dipimpin. Kepemimpinan yang berhasil haruslah mengenal tugas terpadu yang diemban dengan cakupan pengenalan akan orang dipimpin serta cara memimpin yang selalu terjadi.[1]
Kepemimpinan yang berhasil nampak pada penerapan praktis prinsip kepemimpinan dalam kinerja. Sejauh mana efektivitas dan efisiensi kepemimpinan terletak sepenuhnya pada pemimpin sebagai faktor penentu. Bagaimana pemimpin melihat diri, bawahan, organisasi masyarakat, lingkungan, serta faktor lain, sangat menentukan efektivitas dan efisiensi kepemimpinan dari pemimpin tersebut. Pemimpin efektif menekankan tentang kualitas yang ada padanya, sedangkan pemimpin efisien berbicara tentang kuantitas daya dan upaya serta produktivitas kepemimpinan.[2]
Berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi kerja, kesehatan hubungan antara pemimpin dengan bawahan perlu diperhatikan. Kepemimpinan tidak mungkin lepas dari interaksi dengan individu (pemimpin dan para bawahan) dan variabel dalam situasi serta lokus (lokus sosio-budaya dan kerja) kepemimpinan dimana kepemimpinan diterapkan.[3]  Kepemimpinan berkembang dari proses interaksi sosial antara antara pemimpin (aksi) dan anggota kelompok/bawahan (reaksi). Adanya pengakuan dan dukungan dari anggota kelompok terhadap pemimpin, dapat dikatakan bagian dari interstimulasi sosial dalam proses kepemimpinan. Kepemimpinan menempati posisi penting dalam mekanisme sosial dan bila tidak terjadi proses interstimulasi maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada kepemimpinan.
Bila diletakkan dalam kerangka studi kepemimpinan karya DR.Yakob Tomatala, masalah efektivitas dan efisiensi banyak disoroti dalam nilai-nilai dasar kepemimpinan (khususnya nilai filosofis) sedangkan kesehatan hubungan menyinggung perlengkapan dasar kepemimpinan (alat perlengkapan).[4] Dalam buku lain karya beliau, “Mastering Planning”, pada pokok bahasan tentang evaluasi guna melacak kemajuan, kesehatan hubungan masuk dalam kategorial evaluasi organisasi sedangkan efektivitas dan efisiensi termasuk kategorial evaluasi kinerja program/proyek.[5]  Bagan sehubungan pokok bahasan refinesasi menguatkan akan hal ini pula,[6] walau hasil modifikasi studi kepemimpinan memasukkannya dalam satu golongan “Doktrin Dasar Kepemimpinan”.
Sudah tentu demi kegunaan pembelajaran,  pemisahan dan penggolongan bagian-bagian dari studi kepemimpinan amat memungkinkan. Ketajaman dan kedalaman kajian ilmu dan seni kepemimpinan justru diperkaya dalam hal ini. Keakuratan dan kesahihan data guna verifikasi/pengevaluasian, boleh dikata beranjak dari kejelasan klasifikasi studi yang ditelaah sedangkan yang lain tidak. Meski kena-mengena dengan elemen dasar kepemimpinan maupun pekerjaan/tugas dasar kepemimpinan, perkenankan saya membatasi penulisan makalah ini dengan berfokus pada nilai-nilai dasar kepemimpinan yaitu nilai teologis dan nilai filosofis.

B.        Efektivitas, Efisiensi, dan Kesehatan Hubungan dalam Nilai-nilai Dasar Kepemimpinan
            a.         Nilai Teologis Kepemimpinan Kristen
Kepemimpinan Kristen ialah “suatu proses terencana yang dinamis dalam konteks pelayanan Kristen (yang menyangkut faktor waktu, tempat, dan situasi khusus) yang didalamnya oleh campur tangan Allah, Ia memanggil bagi diriNya seorang pemimpin (dengan kapasitas penuh) untuk memimpin umatNya (dalam pengelompokan diri sebagai suatu institusi/organisasi) guna mencapai tujuan Allah (yang membawa keuntungan bagi pemimpin, bawahan, dan lingkungan hidup) bagi dan melalui umatNya, untuk kejayaan KerajaanNya.[7]
Beberapa unsur dari definisi di atas memberi tempat pada Allah yang berinisiatif, berencana dan berkarya dalam kepemimpinan melalui ‘manusia baru’ yang dipilih untuk memimpin orang lain dengan berbagai situasi pelayanan yang bermuara pada kemuliaanNya. “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm.11:36). Kepemimpinan Kristen beranjak dari Allah dan berakhir pada Dia yang memberi amanat serta memakai orang-orang pilihanNya yang telah ditebus oleh Kristus.
Tema penebusan dalam kepemimpinan Kristen begitu penting bukan hanya sebagai pembeda dengan kepemimpinan dunia, nilai teologis yang mendasarinya bertitik-tolak dari kejatuhan manusia dalam dosa. Memang fondasi teologis kepemimpinan Kristen dapat ditarik sejauh karya penciptaan yang agung-mulia dan kudus, namun realitas kepemimpinan setelah Kejadian pasal 3 menuntut pembaruan bila tidak menginginkan kuasa dosa dan maut terus membelenggu manusia. Dosa membuat manusia telah kehilangan wewenang rohani atas dunia dan bahkan penyalahgunaan wewenang yang dari Allah untuk menentangNya.
Penebusan kekuasaan untuk pelaksanaan ekonomi (Ger. Oikonomia –Ef 1:10) ilahi dalam kepemimpinan Kristen merupakan kekuasaan dan sumber kekuasaan baru yang sama sekali berbeda dari segala konsepsi dunia (I Kor 1:18, 22-24). Kekuasaan dan sumber kekuasaan baru yang mempengaruhi kepemimpinan Kristen itu berasal dari Kristus yang disalibkan guna penebusan manusia yang telah berdosa. Hanya Allah yang empunya segala kekuasaan secara sah dan didalam serta melalui Yesus Kristus, kita dipakai menjadi pemimpin-pelayanNya.
Dalam proses penebusan, Yesus bukan hanya memunculkan tipe kekuasaan baru yang tertebus, Ia juga menciptakan dan meneladankan sosok kepemimpinan baru yang dapat memegang kekuasaan itu. Satu gebrakan yang Yesus lakukan untuk menggugurkan segala konsep kepemimpinan duniawi, betapapun kukuhnya secara budaya.
Penebusan kekuasaan dan penebusan kepemimpinan sama-sama perlu, karena kita tidak dapat menggabungkan ciptaan lama dengan ciptaan baru, sama seperti kita tidak dapat menyimpan dengan aman anggur baru ke dalam kantung anggur yang lama (Luk 5:37). Dengan kata lain, tipe kepemimpinan lama tidak dapat memahami, apalagi menangani kekuasaan baru. Demikian juga kekuasaan yang baru tidak dapat melakukan hal-hal yang biasanya hendak dilakukan oleh pemimpin lama.
Ketika Yesus mengatakan “tidak demikian di antara kamu” (Mat 20:26), Ia membatalkan hak kekuasaan segala konsep kepemimpinan yang ada. Sebagai gantinya, Ia memperkenalkan satu-satunya tipe kepemimpinan yang dapat diberi kepercayaan memegang kekuasaan itu tanpa menjadi rusak karenanya.[8] Pemimpin-pelayan yang telah terbebas dari sindroma status, mendapat perhatian khusus oleh Tom Marshall, namun dalam kinerja kepemimpinan Kristen maka paling tidak ketiga hal ini harus dimiliki yaitu:

                        1.         Kasih sebagai motif dalam kepemimpinan
Kasih dari Allah merupakan dasar dari kehidupan Kristen. Kasih yang murni dari Allah di dalam Yesus Kristus akan menjadi sumber air kehidupan (Yoh 5:14; 7:38) pada diri orang-orang percaya untuk mengasihi sesama. Kasih Yesus Kristus yang menguasai orang percaya sesungguhnya menjadi faktor pengontrol, pendorong dan pendesak dalam kepemimpinan Kristen berhubungan dengan orang lain (II Kor 5:14).[9] Orang lain dalam kasihNya dilihat sebagai ciptaan Allah, hubungan yang diletakkan antara subjek dengan subjek, membawa pengaruh besar dalam kepemimpinan yang tidak otoriter dengan pemaksaan otoritatif struktural secara ketat. Mengasihi sesama seperti diri sendiri yang telah dikuasai kasih Yesus Kristus berlawanan dengan egoisme dari egosentris. Kepemimpinan Kristen bermotif kasih akan membawa orang lain segambar dengan Allah, seimbang dalam karakter dan rohani, semangat dalam RohNya yang menyala-nyala untuk melayani Tuhan.

                        2.         Pelayanan sebagai metode dalam kepemimpinan
Yesus datang untuk melayani dan Ia adalah hamba Allah yang dipilih Allah (Yoh 1:34 bnd. Yes 42:1) untuk menghapus dosa dunia (Yoh 1:29). Dalam pengajaranNya yang dicatat pada Injil Lukas 22:37, Yesus mengutip kitab Yesaya 53:12 dengan menggunakan kata-kata yang kuat mengenai penggenapan, yang ditekankan dengan pengulangan. Motif penggenapan yang kuat ini memperlihatkan secara tidak langsung suatu kesadaran yang teguh dari pihak Yesus bahwa tokoh Hamba yang dimaksud PL itu, dalam satu atau lain cara digenapi di dalam Dia. Ia sendiri akan segera terhitung di antara pemberontak-pemberontak, tepat sekali seperti Hamba Tuhan dalam kitab Yesaya. Metode pelayanan sampai mati sebagaimana yang dikerjakan Yesus dalam kepemimpinanNya, sulit untuk di mengerti dan di lakukan oleh murid-muridNya sampai mereka menerima kuasa yang dijanjikan untuk menjadi saksi/pelayanNya (Kis 1:8). Dauglas Hyde dalam bukunya: “Dedication and Leadership” melihat adanya kinerja yang optimum pada pengikut komunis ketimbang orang-orang Katolik sebagai pembanding. Apakah keberhasilan kepemimpinan dalam komunisme yang oleh beberapa orang dikatakan imitasi atau adaptasi dari kekristenan dapat diterima bila melihat sikap-sikap, metode-metode dan teknik-teknik ?[10]  Jawaban yang dapat diberikan bila melihat pelayanan yang Yesus Kristus kerjakan, sesungguhnya sangat berbeda dengan tekanan yang diberikan pengikut komunisme walau nampak berdedikasi tinggi terhadap pemimpin mereka atau ideologi. Melayani dengan kerelaan, kesadaran akan kasih Kristus, dan kasih yang segenap hati yang diwujudnyatakan dalam tindakan, itulah yang indah dalam Tuhan bukan ditemukan pada ajaran atau kepemimpinan non-kristen.

                        3.         Penebusan sebagai tujuan dalam kepemimpinan
Tujuan dalam kepemimpinan Kristen tidak bisa tidak membawa orang lain atau orang yang dipimpim kepada pengenalan akan Yesus Kristus dan karya penebusan yang harus dialami. Penebusan Kristus akan berdampak pada perubahan paradigma kepemimpinan, efektivitas dan efisiensi kerja, serta kesehatan hubungan sosial dalam kerangka “ciptaan baru”. “Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal 2:20;, merupakan penebusan hidup, waktu dan karya didalam kehidupan.


b.         Nilai Filosofis Kepemimpinan Kristen
Mempersempit pemibicaraan dan memfokuskan pada pribadi Yesus, didapati falsafah kepemimpinan dimana diriNya sendiri sebagai Pemimpin-Mesias (Mat 23:18) yang telah terbukti di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Seorang pemimpin lengkap dengan karakter yang tangguh, pengetahuan yang komperhensif dan khas, serta kecakapan sosial dan tekhnis yang andal dalam kepemimpiNya (bnd. Luk 4:34; Mat 7:28,29).
Pembuktian keandalan Yesus sebagai seorang pemimpin diwujudkan dengan memanggil, melatih, mengembangkan dan mengutus para pemimpin ke dalam pelayanan (Mat 10:1-4; 5-15; Mrk 3:13-19). Keunggulan kepemimpinan Yesus terbukti dengan adanya pemimpin baru yang dihasilkan dan memimpin secara unggul dalam meneruskan kepemimpinanNya (bnd. Luk 22:32; I Ptr 5:1-5).
Tiga kelebihan lain dalam kepemimpinan Yesus yang disebutkan Dr.Yakob Tomatala yaitu kaidah kencana dalam Mat 7:12, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka,” inisiator-proaktif-teladan; kaidah kepemimpinan dalam Mrk 10:43-44, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka dianta kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya,” pemimpin-hamba;  dan analogi tubuh Kristus dimana Yesus Kristus sebagai Kepala merupakan landasan dan dinamika organisasi       (I Kor 12:12-30; Ef 4:15-16).
Analogi tubuh Kristus memperlihatkan peran yang unik dari masing-masing anggota tubuh, adanya sinergi-mekanis antar tiap anggota tubuh, dan kerjasama yang harmonis. Dengan kata lain, kesatuan dalam diversitas, diversitas bagi kesatuan, dan kejelasan hubungan fungsional pada anggota-anggota tubuh, mengental dalam Kekepalaan Kristus sebagai pemimpin.[11] Konsep ‘Tubuh Kristus’ adalah analogi dasar bagi hakikat, peran, fungsi, struktur, mekanisme/masinesasi, sistem, dinamika dan kinerja organisasi Kristen. Analogi Tubuh Kristus sebagai model par excellence dari organisasi dengan daya efektivitas, efisiensi, dan kesehatan hubungan yang menjamin optimalisasi kinerja tinggi (high performance) dalam kepemimpinan,[12] perlu ditelaah secara mendalam. Akar-akar filosofis yang sarat dengan nilai teologis memungkinkan untuk melengkapi organisasi dengan dinamika revitalisasi yang besar untuk membenahi dan meneguhkan diri.
Nilai filosofis lainnya dibalik kepemimpinan Kristen, efisiensi dan efektivitas ditempatkan berkenaan dengan prioritas yang harus diterapkan oleh seorang pemimpin demi kesuksesan. Efisiensi adalah landasan untuk kelestarian, sedangkan efektivitas adalah landasan sukses. Prioritas tugas dapat dibagi menjadi empat yaitu sangat penting/sangat mendesak, sangat penting/kurang mendesak, kurang penting/sangat mendesak, kurang penting/kurang mendesak.[13]  Penebusan hidup yang berkenaan dengan waktu dan penggunaannya (disebut dalam nilai teologis), patutlah dipahami sedemikian rupa.
Kecakapan di bidang waktu ( Time Competence ) memerlukan beberapa perhatian yang menuntut usaha, kemauan, praktek yang dilandasi cita-cita. Kali pertama kita dapat merenungkan selama sepanjang hari dan pada akhir hari berapa banyak waktu kita habiskan untuk memikirkan masa lampau atau masa depan, atau hanya masa kini. Memperkembangkan kesadaran selama sepanjang hari merupakan langkah berikutnya; berapa kali kita jatuh hanya memikirkan masa lampau, masa depan atau masa kini yang dilepaskan dari masa lampau dan masa depan. Lalu mengembangkan disiplin untuk membawa diri kita kembali ke kenyataan, dan kebiasaan “hadir”  “disini” dan “di tempat ini”.[14]
Lalu berkenaan dengan kesehatan hubungan dalam kepemimpinan, John C. Maxwell mengemukakan tiga pra-syarat bagi seorang pemimpin yang dapat diperbuat untuk mengembangkannya yaitu:
1.         Memiliki kemampuan untuk memahami orang lain
Kemampuan memahami perasaan serta pikiran orang lain akan menghasilkan hubungan yang baik dengan sesama. Kesadaran akan beberapa kesamaan antara pemimpin dengan pengikut perlu dilestarikan disamping perbedaan-perbedaan yang unik pada setiap pribadi.
2.         Memiliki kemampuan untuk mengasihi orang lain
Pemimpin harus memiliki empati terhadap orang lain dan kemampuan untuk menemukan yang terbaik dalam diri orang lain. Menjadi pemimpin efektif yang sejati sekaligus sebagai panutan, tidak bisa tidak mengasihi orang lain.
3.         Memiliki kemampuan untuk membantu orang lain
Lebih mementingkan memberi ketimbang mengambil kekayaan sumber daya manusia tanpa terkendali akan menciptakan landasan yang baik untuk membangun hubungan. Fokus seorang pemimpin hendaknya mengut`makan kepentingan orang lain, apa yang dapat diberikan daripada apa yang dapat diperoleh dari orang lain.[15]
Kesemua nilai filosofis yang dibicarakan diatas, memerlukan pula evaluasi dalam proses kepemimpinan yang berkaitan erat dengan supervisi atau pengawasan. Fungsi evaluasi merupakan tindakan khusus untuk memastikan apakah perencanaan strategis, organisasi, keuangan, dan kinerja telah memiliki efektivitas dan efisiensi yang tinggi atau belum. Bisa dikatakan pula bahwa evaluasi menyediakan sistem sederhana yang cepat, tepat, dan jelas untuk memastikan peran supervisi/pengawasan yang mendorong efektivitas/efisiensi/optimalisasi kepemimpinan dan sekaligus menyediakan data bagi refinesasi.[16]

C.        Penutup
Kepemimpinan yang dinamis hanya mengenal istilah maju dimana imannya meyakinkan dia bahwa Tuhan pasti buka jalan. Kegagalan atau kebuntuan di suatu arah merupakan tantangan untuk koreksi diri yang kemudian membuahkan kemampuan melihat cela-cela hidup jalan Allah yang disediakan baik secara wajar atau secara mukjizat.
Kepemimpinan Kristen sesungguhnya kaya akan sifat-sifat positif, konstrktif, dan kreatif. Sifat positif akan bergerak menuju suatu sasaran yang pasti berdasarkan perencanaan yang mantap, bukan sekadar reaksi emosional terhadap situasi dan lingkungan. Kritik, rintangan, maupun tantangan, tak merekakan dan membelokkan arah gerak kepemimpinan yang positif. Keasyikan menatap sasaran membuat kesulitan menjadi beban kecil yang dibawa berlari menuju sasaran itu. Sifat konstruktif dalam derap sasaran yang pasti, tidak mendatangkan kehancuran maupun kerugian bagi sekelilingnya terutama sesame manusia. Setiap rintangan dihadapi dengan hikmat dan bijaksana sehingga hasil yang akhir dinikmati oleh sekitarnya, lawan atau kawan, ialah berkat gerakkannya. Sifat konstruktif membuat seorang pemimpin tidak bertepuk dada dalam keberhasilannya dan tidak putus asa dalam kegagalannya. Sedangkan kepemimpinan kreatif ialah corak kepemimpinan yang menghadirkan kreasi-kreasi baru yang memiliki nilai-nilai estetis alkitabiah dan nilai-nilai relevansi budaya lingkungan dalam penjangkauan sasaran.[17] Efektivitas, efisiensi, dan kesehatan hubungan dalam kepemimpinan Kristen melibatkan kesemua sifat tersebut dimana yang paling transparan dijumpai pada pribadi Yesus Kristus.   

DAFTAR PUSTAKA



Hyde, Dauglas.           Dedication and Leadership.
                                    Indiana-USA: University of Notre Dame Press, 1983

Keating, Charles J.      Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya
                                    Yogyakarta: Kanisius, 1991

Maxwell, John C.        Mengembangkan Kepemimpinan di dalam Diri Anda
                                    Jakarta: Binarupa Aksara, 1995

Maxwell, John C.        21  Kualitas Kepemimpinan Sejati
                                    Batam: Interaksara, 2001

Marantika, Chris.        Kepemimpinan Kristen yang Dinamis
                                    Surabaya: Yakin, 2001

Marshall, Tom.            Pemimpin Efektif
                                    Jakarta: Metanoia, 1996
                                                                                              
Tomatala, Yakob.        Mastering Planning
                                    Jakarta: YT Leadership, 2001

Tomatala, Yakob.        Kepemimpinan Kristen:
Mencari Format Kepemimpinan Gereja yang Kontekstual di Indonesia
Jakarta: YT Leadership, November 2002

Tomatala, Yakob,        Kepemimpinan yang Dinamis
                                    Jakarta-Malang: YT Leadership & Gandum Mas, 1997

Tomatala, Yopie.         Penatalayanan Gereja yang Efektif di Dunia Modern
                                    Malang: Gandum Mas, 1987

Wolff, Richard.           Man at the Top: Creative Leadership
                                    Wheaton-Illinois: Tyndale, 1969


[1] Yopie Tomatala, Penatalayanan Gereja yang Efektif di Dunia Modern (Malang: Gandum Mas, 1987) 51-52.
[2] Yakob Tomatala, Kepemimpinan yang Dinamis (Jakarta-Malang:YT Leadership & Gandum Mas, 1997) 256.
[3] Ibid, 3
[4] Ibid, 24, 27
[5] Yakob Tomatala, Mastering Planning (Jakarta, YT Leadership, 2001) 85.
[6] Ibid, 97, 102, Efektivitas dan efisiensi masuk dalam kategorial unsur kerja sedangkan kesehatan hubungan masuk kategorial unsur organisasi.
[7] Tomatala, Kepemimpinan yang Dinamis, 43.
[8] Tom Marshall, Pemimpin Efektif (Jakarta: Metanoia, 1996) 59-73.
[9] Richard Wolff,  Man at the Top: Creative Leadership (Wheaton-Illinois: Tyndale, 1969) 30. Ketiga konsep yang disebutkan berasal dari buku ini meskipun isi dikembangkan oleh penulis sesuai kebutuhan penulisan makalah.
[10] Dauglas Hyde, Dedication and Leadership (Indiana-USA: University of Notre Dame, 1983, 5-9.
[11] Yakob Tomatala, Kepemimpinan Kristen: Mencari Format Kepemimpinan Gereja yang Kontekstual di Indonesia (Jakarta: YT Leadership, November 2002), 45-65.
[12] Ibid, 93.
[13] John C Maxwell, Mengembangkan Kepemimpinan di dalam Diri Anda (Jakarta: Binarupa Aksara, 1995), 22-23.
[14] Charles J Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya (Yogyakarta: Kanisius: 1991) 103.
[15] John C Maxwell, 21 Kualitas Kepemimpinan Sejati (Batam: Interaksara, 2001) 151-154.
[16] Yakob Tomatala, Mastering Planning (Jakarta: YT Leadership, 2001), 83.
[17] Chris Marantika, Kepemimpinan Kristen yang Dinamis (Surabaya: Yakin, 2001), 7-8.