EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI KERJA MELALUI HUBUNGAN YANG SEHAT DALAM
KEPEMIMPINAN KRISTEN
(Pdt. Tjandra Tan, M.Th)
Kepemimpinan
berhubungan dengan pekerjaan dan orang yang dipimpin dimana di dalam dan
melalui mereka seorang pemimpin menyelesaaikan pekerjaan yang
direncanakan/ditetapkan sebelumnya. Seorang pemimpin diperlukan dalam
setiap usaha bersama yang memiliki tujuan tertentu. Pengaruh kepemimpinan dapat
terlihat dari orang yang dipimpin selalu mengikuti arah yang ditetapkan,
pengenalan akan batas kemampuan diri, dan keadaan sepenuhnya orang yang
dipimpin. Lebih lanjut, pekerjaan atau tugas akan selalu menghubungkan orang
yang memimpin dan orang-orang yang dipimpin. Kepemimpinan yang berhasil
haruslah mengenal tugas terpadu yang diemban dengan cakupan pengenalan akan
orang dipimpin serta cara memimpin yang selalu terjadi.[1]
Kepemimpinan yang berhasil nampak pada penerapan praktis
prinsip kepemimpinan dalam kinerja. Sejauh mana efektivitas dan efisiensi
kepemimpinan terletak sepenuhnya pada pemimpin sebagai faktor penentu.
Bagaimana pemimpin melihat diri, bawahan, organisasi masyarakat, lingkungan,
serta faktor lain, sangat menentukan efektivitas dan efisiensi kepemimpinan
dari pemimpin tersebut. Pemimpin efektif menekankan tentang kualitas yang ada
padanya, sedangkan pemimpin efisien berbicara tentang kuantitas daya dan upaya
serta produktivitas kepemimpinan.[2]
Berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi kerja, kesehatan hubungan
antara pemimpin dengan bawahan perlu diperhatikan. Kepemimpinan tidak mungkin
lepas dari interaksi dengan individu (pemimpin dan para bawahan) dan variabel
dalam situasi serta lokus (lokus sosio-budaya dan kerja) kepemimpinan dimana
kepemimpinan diterapkan.[3] Kepemimpinan berkembang dari proses interaksi
sosial antara antara pemimpin (aksi) dan anggota kelompok/bawahan (reaksi). Adanya
pengakuan dan dukungan dari anggota kelompok terhadap pemimpin, dapat dikatakan
bagian dari interstimulasi sosial dalam proses kepemimpinan. Kepemimpinan
menempati posisi penting dalam mekanisme sosial dan bila tidak terjadi proses
interstimulasi maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada kepemimpinan.
Bila diletakkan dalam kerangka studi kepemimpinan karya
DR.Yakob Tomatala, masalah efektivitas dan efisiensi banyak disoroti dalam
nilai-nilai dasar kepemimpinan (khususnya nilai filosofis) sedangkan kesehatan
hubungan menyinggung perlengkapan dasar kepemimpinan (alat perlengkapan).[4]
Dalam buku lain karya beliau, “Mastering
Planning”, pada pokok bahasan tentang evaluasi
guna melacak kemajuan, kesehatan hubungan masuk dalam kategorial evaluasi
organisasi sedangkan efektivitas dan efisiensi termasuk kategorial evaluasi
kinerja program/proyek.[5] Bagan sehubungan pokok bahasan refinesasi menguatkan
akan hal ini pula,[6] walau
hasil modifikasi studi kepemimpinan memasukkannya dalam satu golongan “Doktrin Dasar Kepemimpinan”.
Sudah tentu demi kegunaan pembelajaran, pemisahan dan penggolongan bagian-bagian dari
studi kepemimpinan amat memungkinkan. Ketajaman dan kedalaman kajian ilmu dan
seni kepemimpinan justru diperkaya dalam hal ini. Keakuratan dan kesahihan data
guna verifikasi/pengevaluasian, boleh dikata beranjak dari kejelasan
klasifikasi studi yang ditelaah sedangkan yang lain tidak. Meski kena-mengena
dengan elemen dasar kepemimpinan
maupun pekerjaan/tugas dasar kepemimpinan,
perkenankan saya membatasi penulisan makalah ini dengan berfokus pada
nilai-nilai dasar kepemimpinan yaitu nilai teologis dan nilai filosofis.
B. Efektivitas, Efisiensi, dan Kesehatan
Hubungan dalam Nilai-nilai Dasar Kepemimpinan
a. Nilai
Teologis Kepemimpinan Kristen
Kepemimpinan Kristen ialah “suatu proses terencana yang
dinamis dalam konteks pelayanan Kristen (yang menyangkut faktor waktu, tempat,
dan situasi khusus) yang didalamnya oleh campur tangan Allah, Ia memanggil bagi
diriNya seorang pemimpin (dengan kapasitas penuh) untuk memimpin umatNya (dalam
pengelompokan diri sebagai suatu institusi/organisasi) guna mencapai tujuan
Allah (yang membawa keuntungan bagi pemimpin, bawahan, dan lingkungan hidup)
bagi dan melalui umatNya, untuk kejayaan KerajaanNya.[7]
Beberapa unsur dari definisi di atas memberi tempat pada
Allah yang berinisiatif, berencana dan berkarya dalam kepemimpinan melalui
‘manusia baru’ yang dipilih untuk memimpin orang lain dengan berbagai situasi
pelayanan yang bermuara pada kemuliaanNya. “Sebab
segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah
kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm.11:36). Kepemimpinan Kristen beranjak
dari Allah dan berakhir pada Dia yang memberi amanat serta memakai orang-orang
pilihanNya yang telah ditebus oleh Kristus.
Tema penebusan dalam kepemimpinan Kristen begitu penting
bukan hanya sebagai pembeda dengan kepemimpinan dunia, nilai teologis yang
mendasarinya bertitik-tolak dari kejatuhan manusia dalam dosa. Memang fondasi
teologis kepemimpinan Kristen dapat ditarik sejauh karya penciptaan yang agung-mulia
dan kudus, namun realitas kepemimpinan setelah Kejadian pasal 3 menuntut
pembaruan bila tidak menginginkan kuasa dosa dan maut terus membelenggu
manusia. Dosa membuat manusia telah kehilangan wewenang rohani atas dunia dan
bahkan penyalahgunaan wewenang yang dari Allah untuk menentangNya.
Penebusan kekuasaan untuk pelaksanaan ekonomi (Ger.
Oikonomia –Ef 1:10) ilahi dalam kepemimpinan Kristen merupakan kekuasaan dan
sumber kekuasaan baru yang sama sekali berbeda dari segala konsepsi dunia (I
Kor 1:18, 22-24). Kekuasaan dan sumber kekuasaan baru yang mempengaruhi
kepemimpinan Kristen itu berasal dari Kristus yang disalibkan guna penebusan
manusia yang telah berdosa. Hanya Allah yang empunya segala kekuasaan secara
sah dan didalam serta melalui Yesus Kristus, kita dipakai menjadi
pemimpin-pelayanNya.
Dalam proses penebusan, Yesus bukan hanya memunculkan
tipe kekuasaan baru yang tertebus, Ia juga menciptakan dan meneladankan sosok
kepemimpinan baru yang dapat memegang kekuasaan itu. Satu gebrakan yang Yesus lakukan
untuk menggugurkan segala konsep kepemimpinan duniawi, betapapun kukuhnya
secara budaya.
Penebusan kekuasaan dan penebusan kepemimpinan sama-sama
perlu, karena kita tidak dapat menggabungkan ciptaan lama dengan ciptaan baru,
sama seperti kita tidak dapat menyimpan dengan aman anggur baru ke dalam
kantung anggur yang lama (Luk 5:37 ).
Dengan kata lain, tipe kepemimpinan lama tidak dapat memahami, apalagi
menangani kekuasaan baru. Demikian juga kekuasaan yang baru tidak dapat
melakukan hal-hal yang biasanya hendak dilakukan oleh pemimpin lama.
Ketika Yesus mengatakan “tidak demikian di antara kamu”
(Mat 20:26 ), Ia
membatalkan hak kekuasaan segala konsep kepemimpinan yang ada. Sebagai
gantinya, Ia memperkenalkan satu-satunya tipe kepemimpinan yang dapat diberi
kepercayaan memegang kekuasaan itu tanpa menjadi rusak karenanya.[8] Pemimpin-pelayan
yang telah terbebas dari sindroma status, mendapat perhatian khusus oleh Tom
Marshall, namun dalam kinerja kepemimpinan Kristen maka paling tidak ketiga hal
ini harus dimiliki yaitu:
1. Kasih sebagai motif dalam kepemimpinan
Kasih dari Allah merupakan dasar dari kehidupan Kristen. Kasih yang murni
dari Allah di dalam Yesus Kristus akan menjadi sumber air kehidupan (Yoh 5:14 ; 7:38 ) pada diri orang-orang percaya untuk mengasihi
sesama. Kasih Yesus Kristus yang menguasai orang percaya sesungguhnya menjadi
faktor pengontrol, pendorong dan pendesak dalam kepemimpinan Kristen
berhubungan dengan orang lain (II Kor 5:14 ).[9] Orang
lain dalam kasihNya dilihat sebagai ciptaan Allah, hubungan yang diletakkan
antara subjek dengan subjek, membawa pengaruh besar dalam kepemimpinan yang
tidak otoriter dengan pemaksaan otoritatif struktural secara ketat. Mengasihi
sesama seperti diri sendiri yang telah dikuasai kasih Yesus Kristus berlawanan
dengan egoisme dari egosentris. Kepemimpinan Kristen bermotif kasih akan
membawa orang lain segambar dengan Allah, seimbang dalam karakter dan rohani,
semangat dalam RohNya yang menyala-nyala untuk melayani Tuhan.
2. Pelayanan sebagai metode dalam
kepemimpinan
Yesus datang untuk melayani dan Ia adalah hamba Allah yang dipilih Allah
(Yoh 1:34 bnd. Yes 42:1)
untuk menghapus dosa dunia (Yoh 1:29 ).
Dalam pengajaranNya yang dicatat pada Injil Lukas 22:37, Yesus mengutip kitab
Yesaya 53:12 dengan menggunakan kata-kata yang kuat mengenai penggenapan, yang
ditekankan dengan pengulangan. Motif penggenapan yang kuat ini memperlihatkan
secara tidak langsung suatu kesadaran yang teguh dari pihak Yesus bahwa tokoh
Hamba yang dimaksud PL itu, dalam satu atau lain cara digenapi di dalam Dia. Ia
sendiri akan segera terhitung di antara pemberontak-pemberontak, tepat sekali
seperti Hamba Tuhan dalam kitab Yesaya. Metode pelayanan sampai mati
sebagaimana yang dikerjakan Yesus dalam kepemimpinanNya, sulit untuk di mengerti
dan di lakukan oleh murid-muridNya sampai mereka menerima kuasa yang dijanjikan
untuk menjadi saksi/pelayanNya (Kis 1:8). Dauglas Hyde dalam bukunya: “Dedication and Leadership” melihat
adanya kinerja yang optimum pada pengikut komunis ketimbang orang-orang Katolik
sebagai pembanding. Apakah keberhasilan kepemimpinan dalam komunisme yang oleh
beberapa orang dikatakan imitasi atau adaptasi dari kekristenan dapat diterima
bila melihat sikap-sikap, metode-metode dan teknik-teknik ?[10] Jawaban yang dapat diberikan bila melihat
pelayanan yang Yesus Kristus kerjakan, sesungguhnya sangat berbeda dengan
tekanan yang diberikan pengikut komunisme walau nampak berdedikasi tinggi
terhadap pemimpin mereka atau ideologi. Melayani dengan kerelaan, kesadaran
akan kasih Kristus, dan kasih yang segenap hati yang diwujudnyatakan dalam
tindakan, itulah yang indah dalam Tuhan bukan ditemukan pada ajaran atau
kepemimpinan non-kristen.
3. Penebusan sebagai tujuan dalam
kepemimpinan
Tujuan dalam kepemimpinan Kristen tidak bisa tidak membawa orang lain
atau orang yang dipimpim kepada pengenalan akan Yesus Kristus dan karya
penebusan yang harus dialami. Penebusan Kristus akan berdampak pada perubahan
paradigma kepemimpinan, efektivitas dan efisiensi kerja, serta kesehatan hubungan
sosial dalam kerangka “ciptaan baru”. “Aku
hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup
di dalam aku” (Gal 2:20 ;, merupakan
penebusan hidup, waktu dan karya didalam kehidupan.
b. Nilai
Filosofis Kepemimpinan Kristen
Mempersempit pemibicaraan dan memfokuskan pada pribadi
Yesus, didapati falsafah kepemimpinan dimana diriNya sendiri sebagai
Pemimpin-Mesias (Mat 23:18 )
yang telah terbukti di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Seorang pemimpin
lengkap dengan karakter yang tangguh, pengetahuan yang komperhensif dan khas, serta
kecakapan sosial dan tekhnis yang andal dalam kepemimpiNya (bnd. Luk 4:34 ; Mat 7:28 ,29).
Pembuktian keandalan Yesus sebagai seorang pemimpin
diwujudkan dengan memanggil, melatih, mengembangkan dan mengutus para pemimpin
ke dalam pelayanan (Mat 10:1-4; 5-15; Mrk 3:13 -19).
Keunggulan kepemimpinan Yesus terbukti dengan adanya pemimpin baru yang
dihasilkan dan memimpin secara unggul dalam meneruskan kepemimpinanNya (bnd.
Luk 22:32; I Ptr 5:1-5).
Tiga kelebihan lain dalam kepemimpinan Yesus yang
disebutkan Dr.Yakob Tomatala yaitu kaidah
kencana dalam Mat 7:12, “Segala
sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian
juga kepada mereka,” inisiator-proaktif-teladan; kaidah kepemimpinan dalam Mrk 10:43-44, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi
pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka dianta kamu, hendaklah ia
menjadi hamba untuk semuanya,” pemimpin-hamba; dan analogi tubuh Kristus dimana Yesus Kristus
sebagai Kepala merupakan landasan dan dinamika organisasi (I Kor 12:12-30; Ef 4:15-16).
Analogi tubuh Kristus memperlihatkan peran yang unik
dari masing-masing anggota tubuh, adanya sinergi-mekanis antar tiap anggota
tubuh, dan kerjasama yang harmonis. Dengan kata lain, kesatuan dalam
diversitas, diversitas bagi kesatuan, dan kejelasan hubungan fungsional pada
anggota-anggota tubuh, mengental dalam Kekepalaan Kristus sebagai pemimpin.[11] Konsep
‘Tubuh Kristus’ adalah analogi dasar bagi hakikat, peran, fungsi, struktur,
mekanisme/masinesasi, sistem, dinamika dan kinerja organisasi Kristen. Analogi
Tubuh Kristus sebagai model par
excellence dari organisasi dengan daya efektivitas, efisiensi, dan
kesehatan hubungan yang menjamin optimalisasi kinerja tinggi (high performance)
dalam kepemimpinan,[12]
perlu ditelaah secara mendalam. Akar-akar filosofis yang sarat dengan nilai
teologis memungkinkan untuk melengkapi organisasi dengan dinamika revitalisasi
yang besar untuk membenahi dan meneguhkan diri.
Nilai filosofis lainnya dibalik kepemimpinan Kristen, efisiensi
dan efektivitas ditempatkan berkenaan dengan prioritas yang harus diterapkan
oleh seorang pemimpin demi kesuksesan. Efisiensi adalah landasan untuk
kelestarian, sedangkan efektivitas adalah landasan sukses. Prioritas tugas
dapat dibagi menjadi empat yaitu sangat penting/sangat mendesak, sangat
penting/kurang mendesak, kurang penting/sangat mendesak, kurang penting/kurang
mendesak.[13] Penebusan hidup yang berkenaan dengan waktu
dan penggunaannya (disebut dalam nilai
teologis), patutlah dipahami sedemikian rupa.
Kecakapan di bidang waktu ( Time Competence ) memerlukan beberapa perhatian yang menuntut
usaha, kemauan, praktek yang dilandasi cita-cita. Kali pertama kita dapat
merenungkan selama sepanjang hari dan pada akhir hari berapa banyak waktu kita
habiskan untuk memikirkan masa lampau atau masa depan, atau hanya masa kini.
Memperkembangkan kesadaran selama sepanjang hari merupakan langkah berikutnya;
berapa kali kita jatuh hanya memikirkan masa lampau, masa depan atau masa kini
yang dilepaskan dari masa lampau dan masa depan. Lalu mengembangkan disiplin
untuk membawa diri kita kembali ke kenyataan, dan kebiasaan “hadir” “disini” dan “di tempat ini”.[14]
Lalu berkenaan dengan kesehatan hubungan dalam
kepemimpinan, John C. Maxwell mengemukakan tiga pra-syarat bagi seorang
pemimpin yang dapat diperbuat untuk mengembangkannya yaitu:
1. Memiliki
kemampuan untuk memahami orang lain
Kemampuan memahami perasaan serta pikiran orang lain akan menghasilkan hubungan
yang baik dengan sesama. Kesadaran akan beberapa kesamaan antara pemimpin
dengan pengikut perlu dilestarikan disamping perbedaan-perbedaan yang unik pada
setiap pribadi.
2. Memiliki
kemampuan untuk mengasihi orang lain
Pemimpin harus memiliki empati terhadap orang lain dan kemampuan untuk
menemukan yang terbaik dalam diri orang lain. Menjadi pemimpin efektif yang
sejati sekaligus sebagai panutan, tidak bisa tidak mengasihi orang lain.
3. Memiliki
kemampuan untuk membantu orang lain
Lebih mementingkan memberi ketimbang mengambil kekayaan sumber daya
manusia tanpa terkendali akan menciptakan landasan yang baik untuk membangun
hubungan. Fokus seorang pemimpin hendaknya mengut`makan kepentingan orang lain,
apa yang dapat diberikan daripada apa yang dapat diperoleh dari orang lain.[15]
Kesemua nilai filosofis yang dibicarakan diatas, memerlukan pula evaluasi
dalam proses kepemimpinan yang berkaitan erat dengan supervisi atau pengawasan.
Fungsi evaluasi merupakan tindakan khusus untuk memastikan apakah perencanaan
strategis, organisasi, keuangan, dan kinerja telah memiliki efektivitas dan
efisiensi yang tinggi atau belum. Bisa dikatakan pula bahwa evaluasi
menyediakan sistem sederhana yang cepat, tepat, dan jelas untuk memastikan
peran supervisi/pengawasan yang mendorong efektivitas/efisiensi/optimalisasi
kepemimpinan dan sekaligus menyediakan data bagi refinesasi.[16]
C. Penutup
Kepemimpinan yang dinamis hanya mengenal istilah maju dimana
imannya meyakinkan dia bahwa Tuhan pasti buka jalan. Kegagalan atau kebuntuan
di suatu arah merupakan tantangan untuk koreksi diri yang kemudian membuahkan
kemampuan melihat cela-cela hidup jalan Allah yang disediakan baik secara wajar
atau secara mukjizat.
Kepemimpinan Kristen sesungguhnya kaya akan sifat-sifat
positif, konstrktif, dan kreatif. Sifat positif akan bergerak menuju suatu
sasaran yang pasti berdasarkan perencanaan yang mantap, bukan sekadar reaksi
emosional terhadap situasi dan lingkungan. Kritik, rintangan, maupun tantangan,
tak merekakan dan membelokkan arah gerak kepemimpinan yang positif. Keasyikan
menatap sasaran membuat kesulitan menjadi beban kecil yang dibawa berlari
menuju sasaran itu. Sifat konstruktif dalam derap sasaran yang pasti, tidak
mendatangkan kehancuran maupun kerugian bagi sekelilingnya terutama sesame
manusia. Setiap rintangan dihadapi dengan hikmat dan bijaksana sehingga hasil
yang akhir dinikmati oleh sekitarnya, lawan atau kawan, ialah berkat
gerakkannya. Sifat konstruktif membuat seorang pemimpin tidak bertepuk dada
dalam keberhasilannya dan tidak putus asa dalam kegagalannya. Sedangkan
kepemimpinan kreatif ialah corak kepemimpinan yang menghadirkan kreasi-kreasi
baru yang memiliki nilai-nilai estetis alkitabiah dan nilai-nilai relevansi
budaya lingkungan dalam penjangkauan sasaran.[17]
Efektivitas, efisiensi, dan kesehatan hubungan dalam kepemimpinan Kristen
melibatkan kesemua sifat tersebut dimana yang paling transparan dijumpai pada
pribadi Yesus Kristus.
DAFTAR PUSTAKA
Hyde, Dauglas. Dedication and Leadership.
Indiana-USA:
University of Notre Dame Press, 1983
Keating, Charles J. Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya
Yogyakarta: Kanisius, 1991
Maxwell, John C. Mengembangkan Kepemimpinan di dalam Diri
Anda
Jakarta: Binarupa Aksara, 1995
Maxwell, John C. 21 Kualitas Kepemimpinan Sejati
Batam: Interaksara, 2001
Marantika, Chris. Kepemimpinan Kristen yang Dinamis
Surabaya: Yakin, 2001
Marshall, Tom. Pemimpin Efektif
Jakarta: Metanoia, 1996
Tomatala, Yakob. Mastering Planning
Jakarta: YT Leadership, 2001
Tomatala, Yakob. Kepemimpinan Kristen:
Mencari Format Kepemimpinan Gereja yang Kontekstual di
Indonesia
Jakarta: YT Leadership, November 2002
Tomatala, Yakob, Kepemimpinan yang Dinamis
Jakarta-Malang: YT Leadership &
Gandum Mas, 1997
Tomatala, Yopie. Penatalayanan Gereja yang Efektif di
Dunia Modern
Malang: Gandum Mas, 1987
Wolff, Richard. Man at the Top: Creative
Leadership
Wheaton-Illinois: Tyndale, 1969
[1] Yopie Tomatala, Penatalayanan Gereja yang Efektif
di Dunia Modern (Malang: Gandum Mas, 1987) 51-52.
[2] Yakob Tomatala, Kepemimpinan yang Dinamis (Jakarta-Malang:YT
Leadership & Gandum Mas, 1997) 256.
[3] Ibid, 3
[4] Ibid, 24, 27
[5] Yakob Tomatala, Mastering Planning (Jakarta, YT
Leadership, 2001) 85.
[6] Ibid, 97, 102, Efektivitas dan efisiensi masuk dalam
kategorial unsur kerja sedangkan kesehatan hubungan masuk kategorial unsur
organisasi.
[7] Tomatala, Kepemimpinan yang Dinamis, 43.
[8] Tom Marshall, Pemimpin
Efektif (Jakarta: Metanoia, 1996) 59-73.
[9] Richard Wolff, Man at the Top: Creative Leadership (Wheaton-Illinois:
Tyndale, 1969) 30. Ketiga konsep yang disebutkan berasal dari buku ini meskipun
isi dikembangkan oleh penulis sesuai kebutuhan penulisan makalah.
[10] Dauglas Hyde, Dedication and Leadership (Indiana-USA:
University of Notre Dame, 1983, 5-9.
[11] Yakob Tomatala, Kepemimpinan Kristen: Mencari Format Kepemimpinan Gereja yang Kontekstual di
Indonesia (Jakarta: YT Leadership, November 2002), 45-65.
[12] Ibid, 93.
[13] John C Maxwell, Mengembangkan Kepemimpinan di
dalam Diri Anda (Jakarta: Binarupa Aksara, 1995), 22-23.
[14] Charles J Keating, Kepemimpinan: Teori dan
Pengembangannya (Yogyakarta: Kanisius: 1991) 103.
[15] John C Maxwell, 21 Kualitas Kepemimpinan Sejati
(Batam: Interaksara, 2001) 151-154.
[16] Yakob Tomatala, Mastering Planning (Jakarta: YT
Leadership, 2001), 83.
[17] Chris Marantika, Kepemimpinan Kristen yang Dinamis
(Surabaya: Yakin, 2001), 7-8.