PENGEMBANGAN KARAKTER DAN SPIRITUALITAS KRISTEN MASA KINI
(Sebuah Tradisi yang Relevan bagi Masyarakat Kristen)
Pdt. Tjandra Tan, M.Th.
Pdt. Tjandra Tan, M.Th.
A. Pendahuluan
a. Arti Karakter Spiritual Kristen
Karakter
seseorang menyatakan siapa diri orang yang sebenarnya dibalik penampilan
lahiriah yang memungkinkan untuk bersandiwara. Karakter tentulah berbeda spiritual,
meskipun diletakkan dalam pembicaraan tentang kualitas hubungan pribadi dengan
Tuhan. Namun, kedua hal ini tidak terpisahkan; Allah sangat menaruh perhatian
pada karakter, dan pastilah ada sesuatu yang tidak beres bila seorang yang
rohani tidak memiliki watak atau karakter yang baik.
Dalam tindakan
yang lebih konkret, hubungan yang erat antara karakter dan kerohanian yang
sehat akan menghasilkan hal-hal yang baik. Suatu perbuatan baik yang dikerjakan
secara tetap dan terus menerus dilakukan sebagai kecenderungan batiniah dari
karakter spiritual kristen yang benar. Ia tidak hanya secara kebetulan
sekali-kali melakukan perbuatan yang baik. Ia selalu siap sedia untuk melakukan
yang baik; ia terdorong untuk berbuat baik dalam berbagai macam situasi. Orang
mulai mengandalkan karakter spiritual yang baik, sama seperti mereka yang
mengharapkan perbuatan berbohong dan menipu dari karakter kedagingan seorang
yang jahat. Tuhan Yesus berkata, “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka“ (Mat
7:20; 12:33-37).
Sifat yang
baik pada zaman Yunani dapat memiliki arti “keunggulan, mutu yang baik” yang dalam katalogus
Yunani ada empat hal utama didalamnya.[1]
Pertama adalah kemampuan membedakan. Jika kita tidak bisa membedakan apa yang
sedang terjadi dalam suatu situasi, apa perasaan orang, dan apa yang penting,
maka kita akan selalu mengambil keputusan yang keliru. Boleh dikata bahwa
berbagai perselisihan moral yang terbesar pada setiap zaman bukanlah
perselisihan dalam teori moral, tetapi pada kemampuan untuk membedakan masalah
yang sebenarnya. Karakter spiritual yang baik merupakan inti nasihat Paulus
yang berbunyi, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi
berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah
kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”
(Rm 12:2).
Sifat baik
yang kedua adalah keberanian. Ini
merupakan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan baik pada waktu keadaan
kacau dan sulit. Karakter spiritual yang baik memiliki keberanian bekerja
dengan baik pada saat pencobaan menimpa, dan keadaan tidak menyenangkan.
Keberanian adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik sementara
menghadapi ancaman dalam kehidupan, gangguan keamanan, tantangan masa depan,
dan tuntutan pengorbanan atas sesuatu yang sangat dikasihi. Perjanjian Lama
merupakan sebuah simfoni yang banyak variasinya mengenai tema keberanian.
Penguasaan diri merupakan sifat baik yang ketiga. Penguasaan diri
ini berarti menguasai hidup kita sendiri. Artinya mengelola, mengendalikan,
mampu mengatur segala sesuatu yang sedang terjadi didalam diri kita. Dengan
pertolongan Roh Allah, karakter spiritual orang kristen yang telah menyerahkan
hidupnya pada Kristus akan menguasai dirinya sedemikian rupa tanpa membiarkan
keadaan, barang apa pun atau siapa pun yang menguasainya. Seperti karunia Roh
lainnya, penguasaan diri perlu dilatih sebab jika tidak maka akan kehilangan
karunia itu.
Sifat baik
yang keempat adalah keadilan.
Karakter spiritual orang kristen yang membuahkan keadilan selalu memutuskan
untuk bertindak adil dan tidak memperlakukan seseorang berbeda dengan orang
lain. Berarti juga harus menolak pertanyaan seperti, siapa yang paling besar
pengaruhnya? Atau siapa yang paling banyak memberikan hadiah padaku? Para nabi
menuntut keadilan, serta mengemukakan perkara Tuhan melawan Israel, “Hai
manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut
Tuhan daripadamu; selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan
rendah hati dihadapan Allahmu? (Mikha 6:8).
Masih banyak
sisi lain dibalik karakter spiritual kristen yang melibatkan karya Roh Kudus
setelah lahir baru. Sebagian besar karakter spiritual kristen dapat dikatakan
buah Roh (Gal 5:22-23), disamping hal lain seperti kejujuran dan kesediaan
untuk mengadakan serta mempertahankan penyerahan hidup pada Kristus sebagai
kebutuhan pokok yang tidak begitu mencolok dibandingkan dengan buah Roh.
b. Dinamika Kehidupan Spiritual Kristen
Spiritual
kristen merupakan relasi antara pribadi yang utuh dengan Roh Allah yang
meneguhkan pengakuan dan pernyataan perjanjiannya di dalam Yesus Kristus
sebagai Jalan Kebenaran dan Hidup yang baru dimulai setelah pembebasan dari
kuasa dosa dan maut.[2] Telah berjalan berabad-abad sejak berdirinya kekristenan sampai kini, bahwa
kerohanian orang percaya tidak hanya ‘tindakan instan sekali selamanya oleh
pekerjaan Roh Kudus’ yang menghasilkan pertobatan dan lahir baru. Kerohanian itu ibarat benih yang memiliki
potensi untuk tumbuh dan berkembang dalam pengenalan akan Kristus sampai “kita
semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak
Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus” (Ef 4:13).
Roh Kudus
–dengan memberi diri-Nya menjadi kehidupan rohani orang percaya, memungkinkan
orang percaya itu mengalami kehidupan Kristus yang bangkit dalam dirhnya. Roh
adalah Pencipta, Sumber dan Penata kekuatan sepanjang hidup dalam proses
pertumbuhan spiritual, dan hanya dengan Roh maka orang percaya dapat memperoleh
kemenangan melawan dosa. Roh melepaskan orang kudus dari belenggu
ketergantungan mutlak pada hukum secara harfiah; Roh adalah Roh Kristus
Pembebas, dan yang mengubah orang berdosa, yang menyesuaikannya dengan citra
Kristus (2 Kor 3:17,18). Roh Kudus ialah Roh Kerajaan Allah yang mengutamakan
kebenaran, damai sejahtera dan sukacita di atas makanan dan minuman (Rm 14:17).
Di atas segala-galanya, Roh-lah sumber kasih
kudus yang mengungguli iman dan pengharapan, yang paling pertama dan utama
dalam daftar buah Roh hasil spontan dari pekerjaan-Nya (Gal 5:22,23). Dalam
rangka itu maka karunia-Nya kepada gereja harus dihargai dan digunakan (1 Kor
12, 13). Roh-lah yang mempersatukan, dan apabila Ia membagikan karunia yang
berbeda Ia berusaha memelihara kesatuan dalam ikatan damai sejahtera (Ef 4:3). Janganlah
memadamkan Roh karena tidak bersandar pada-Nya, dan janganlah mendukakan-Nya
dengan mengandalkan-Nya secara salah (1 Tes 5:19; Ef 4:30).[3]
Dinamika
kehidupan spiritual Kristen oleh rasul Paulus diuraikan berkenaan langsung
dengan peranan Roh Kudus dalam perkembangan watak kristiani. Roh yang melampaui
batas-batas alamiah akan mendorong dan mengarahkan pada pertumbuhan rohani yang
dinamis dan makin dewasa dalam pengenalan akan Yesus Kristus. Paulus sadar
bahwa untuk perkembangan watak spiritual membutuhkan dorongan adikodrati dan
hal ini nampak jelas dalam penggunaan istilah buah berbentuk tunggal (Gal 5:22)
untuk memperlihatkan bahwa semua sifat yang disebutkannya merupakan suatu
keseluruhan yang padu, yaitu suatu watak yang dipenuhi Roh.[4]
B. PENGEMBANGAN KARAKTER
SPIRITUAL KRISTEN
Melihat dinamika
kebutuhan rohani yang tidak mungkin dibendung oleh manusia, apalagi Roh-Nya
menghendaki semakin dalam dan diperkaya melalui pengalaman pribadi maupun
komunal, tentulah amat disayangkan terjadinya penghambatan karena
ketidakmengertian dan atau pembebasan spiritualitas tanpa kendali yang jelas.
Daniel J. Adams mengatakan, “Unsur
penting, tetapi yang sering dilalaikan dalam usaha teologia ialah pembentukan,
pengertian dan praktik spiritualitas Kristen. Umat Kristen Asia sangat sensitif
terhadap hal-hal rohani sebab itu merupakan bagian dari kemajemukan agama yang
ada di Asia. Walau konteks Asia itu khas adanya, hal mencari bentuk-bentuk
spiritual baru terdapat dalam masyarakat-masyarakat agama di seluruh dunia.”[5]
Spiritualitas
Kristen harus diberi tempat yang memadai di kehidupan orang percaya dalam
kerangka pertumbuhan dan pengembangan manusia batiniah yang sudah diselamatkan.
Rasul Paulus menggunakan frase ho eso
anthropos dalam dua cara yang berbeda: tentang manusia yang belum
diselamatkan, dan manusia yang telah diselamatkan. Dalam Roma 7:22, “diri yang
terdalam” digunakan sebagai sinonim “pikiran”, yang dapat menyetujui Hukum
Allah dan ingin menaatinya, namun tidak berdaya melaksanakannya. Behm
menjelaskan hal ini sebagai “sisi rohaniah manusia, atau manusia itu sendiri
sepanjang ia berpikir, berkehendak, dan merasa”.[6]
Dalam 2 Korintus 4:16, manusia batiniah dibedakan dengan “manusia lahiriah”
–manusia sebagai pribadi duniawi yang akan binasa. Meskipun manusia lahiriah
akan mati, manusia batiniah diperbarui setiap hari. Manusia batiniah adalah
diri yang nyata, yang beralih dari tubuh daging ke tubuh kebangkitan. Dalam dua
contoh ini, “manusia batiniah” merupakan diri yang esensial dan lebih tinggi,
yang ditebus atau dapat ditebus, diciptakan untuk Allah dan melawan dosa.[7]
Oleh karena itu,
pertumbuhan dan perkembangan kerohanian patulah diperhatikan dan itu tidak
hanya bersifat personal, komunitas bersama antar orang percaya termasuk dalam
bagian penting yang berpautan. Orang-orang yang telah percaya harus dimuridkan,
diberi pengajaran rohani yang mendasar, berdisiplin diri, dilatih untuk
optimalisasi karunia-karunia Rohani dan pelayanan, dan pada akhirnya dapat
bersaksi kepada dunia.
a. Pemuridan
Setiap pembaruan
yang terjadi dalam sejarah gereja mempunyai tindakan lanjut dalam bentuk
pemuridan bersama. Pengikut Wesley, misalnya, menyelenggarakan
“pertemuan-pertemuan kelompok jemaat” (class meetings); para pengikut Pietist
di Jerman pada abad 17 juga mengadakan kelompok-kelompok pendalaman Alkitab;
dan gerakan-gerakan pembaruan dewasa ini juga mengadakan pertemuan-pertemuan
kelompok kecil. Pemuridan bersama merupakan pertemuan orang-orang beriman,
entah itu hubungan perseorangan ataupun dalam kelompok kecil dengan orang
beriman lainnya, sehingga mereka dapat saling bertanggung jawab satu sama lain,
saling membangun, dan saling mendorong bagi pertumbuhan iman bersama.
Gereja masa
kini telah memasuki suatu zaman yang tidak tertib dengan semboyan-semboyan
tidak tertulis “uruslah kepentinganmu sendiri”, “kerjakannlah menurut caramu”,
dan “kalau rasanya benar, kerjakanlah.” Itu semua bukanlah pandangan yang
terdapat dalam Alkitab. Kitab Suci mengajarkan bahwa “Kita, walaupun banyak,
adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota
yang seorang terhadap yang lain’ (Rm 12:5). Kita dibebani tanggung jawab, bukan
hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada satu terhadap yang lain karena hubungan
kita dengan Tuhan. Kita perlu terlibat dalam berbagai hubungan yang bertanggung
jawab yang tidak hanya bergantung pada apa yang kita rasakan hari demi hari.
Saling membangun dan saling memberi dorongan merupakan
aspek-aspek utama lainnya dari pemuridan bersama. Penulis kitab Ibrani menolong
kita untuk melihat bagaimana kedua apek tersebut menolong kita untuk bertumbuh,
“Nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan
‘hari ini’, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar karena tipu
daya dosa” (3:13). Ini menunjukkan bahwa jika kita tidak saling memberi
dorongan dan saling membangun, kita sebenarnya akan ditipu oleh dosa.
Penulis Ibrani juga mengatakan, ”Marilah kita saling
memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan
baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita,
seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihato”
(10:24 ,25). Disini ada
tercakup prinsip rohani dan prinsip alkitabiah yang mendasar. Allah telah
menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kita memerlukan disiplin rohani,
bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk hubungan satu sama lain.
Allah bekerja dengan kuasa Roh-Nya
bila kita berkumpul bersama-sama.
b. Disiplin Rohani
Tahap yang
terpenting dalam kehidupan rohani jemaat di gereja adalah mengajar mereka untuk
memiliki disiplin rohani yang kuat agar mereka menjadi umat Tuhan yang
berkemenangan. Disiplin rohani
sebagai aplikasi akan kemampuan jemaat untuk taat kepada Allah dan FirmanNya
sebagai orang-orang yang telah ditebus Kristus. Tujuan dari disiplin rohani
yang dimiliki jemaat yaitu untuk membawa mereka hidup dalam pengenalan akan
Kristus dengan baik.
Beberapa
tahap pengajaran untuk jemaat dapat bertumbuh dalam disiplin rohani dengan pola
dari II Petrus 1:5-7 yaitu:
1. Menambah iman dengan
kebajikan (virtue)
Kebajikan adalah
tekad yang kuat untuk melaksanakan iman. (I Kor. 13:13) Gereja mengkonseling
dan membimbing agar jemaat dapat melakukan iman dan perbuatan dengan baik.
(kelompok konseling, kelompok doa yang saling menguatkan agar jemaat
mempraktekan iman).
2.
Menambahkan kebajikan dengan
pengetahuan (knowledge).
Pertumbuhan iman
jemaat dapat terjadi dengan pengetahuan Firman Tuhan yang baik (Ef. 5:6).
Program pemahaman Alkitab secara pribadi/saat teduh maupun kelompok dalam gereja.
3. Menambahkan
pengetahuan dengan penguasaan diri (temperance).
Penguasaan diri
adalah bagian penting untuk menjadikan semua karunia dan talenta yang ada dapat
dipakai bagi kemuliaan Tuhan (Gal. 5:23 -program kelompok doa dan kebaktian
kesaksian).
4.
Menambahkan penguasan diri dengan
kesabaran (patience).
Kesabaran atau ketekunan adalah sebagai unsur penting untuk
dapat bertahan dalam masa yang sukar (I Tim. 1:12 -kebaktian-kebaktian untuk menguatkan iman dengan
kesaksian dari jemaat-jemaat, ucapan syukur).
5.
Menambahkan kesabaran dengan
kesalehan (godliness)
Kesalehan adalah hidup takut akan Tuhan yang teraplikasikan
dalam pola hidup beriman dan beribadah (pelayanan diakonia dan pemberitaan Injil).
6. Menambahkan kesalehan dengan kasih akan saudara-saudara (brotherly kindness).
Kesalehan yang murni adalah tidak membeda-bedakan saudara
seiman, dan mendahului dalam memberi hormat (kebaktian keluarga dengan semua
jemaat, doa antar keluarga).
7. Menambahkan kasih
akan saudara-saudara dengan kasih akan semua orang (charity). Jemaat menjadi berkat tidak hanya untuk gereja sendiri,
tetapi bagi orang lain sebagai kesaksian murid Kristus yang telah diselamatkan
(program diakonia, sekolah, klinik kesehatan).
c. Ibadah
Ibadah dalam gereja terdiri
dari kebaktian perorangan, bersama, secara berkelompok, dan seorang diri kepada
Tuhan yang dinyatakan dengan penghormatan serta penaklukan diri kepada Dia yang
sungguh-sungguh layak menerima semua itu. Ibadah yang benar harus di dalam roh
dan kebenaran (Yoh 4:24) dengan pengertian bahwa:
“Dalam roh memiliki arti bahwa ibadah
dapat dan harus dilakukan dimana dan kapan saja, karena roh tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu tertentu. Ibadah
itu berasal dari roh manusia (Ibr 4:12) yang tidak sekadar upacara gereja
secara lahiriah, dan merupakan pengalaman seseorang dengan Allah dalam bentuk
penghormatan atas penyataan diri-Nya melalui Yesus Kristus. Sedangkan di dalam
kebenaran artinya sifat dari ibadah itu harus murni dan tidak berpura-pura
dimana Allah sangat menentang ketidaktulusan dan kepalsuan (Yes 1:10-17; Mal
1:7-14; Mat 15:8,9).“ [8]
Adapun isi dari
ibadah yang dipakai sebagai sarana untuk mengembangkan karakter spiritual
Kristen yaitu:
1. Firman Tuhan
Sarana Allah
yang paling unggul untuk memperbarui umat-Nya menurut citra Kristus adalah
firman-Nya (Yoh 17:17; bnd. II Tim 3:16-17), karena pengajaran firman
adalah sentral dalam pekerjaan hamba-hamba-Nya (II Tim 4:2) sebagaimana
terlihat dalam contoh Paulus sendiri (Kis 20:20 -21). Sama seperti Roh Kudus menggunakan firman untuk
membawa orang kepada iman dalam Kristus (Ef 1:13 ), begitu juga Ia memakainya untuk pengudusan (Ef 5:26 -27).
Sejak awal gereja sangat memperhatikan pentingnya pengajaran
atau doktrin (Kis 2:42 )
yang digunakan untuk membangun jemaat maupun dalam pemberitaan Injil (Kis 4:2;
13:5; 17:2). Dalam semua surat
kiriman menunjukkan jenis pengajaran yang harus dibiasakan dalam gereja-gereja
dan itu menyangkut semua aspek pengajaran doktrin dengan penerapan.
Mengenai pelayanan firman Tuhan, yang perlu diperhatikan
hanyalah bahwa kutipan-kutipan dari Kitab Suci sering dipergunakan oleh Paulus
dalam surat-suratnya mengisyaratkan bahwa para pembacanya yang bukan Yahudi
sudah mengenal isi kitab LXX. Karena itu, cukup beralasan untuk menganggap
bahwa pembacaan kitab Suci secara teratur merupakan suatu bagian penting dalam
pertemuan-pertemuan ibadah kristen. Satu-satunya keterangan langsung mengenai
hal ini adalah I Timotius 4:13, di situ Timotius didorong untuk “bertekun dalam
membaca kitab-kitab suci, dalam membangun dan dalam mengajar”.
Tidak mungkin untuk mengatakan kapan waktunya dalam
perkembangan ibadah kristen, bahan-bahan kristen yang lainnya (selain PL)
dimasukkan ke dalam pembacaan umum. Paulus sendiri minta dengan sangat agar
surat-suratnya dibacakan kepada orang-orang di dalam jemaat-jemaat yang
dikirimi surat-suratnya itu (I Tes 5:27 ).
Di samping itu ia meminta juga agar diadakan pertukaran surat-suratnya di
antara jemaat-jemaat (Kol 4:16 ).
Ia mengharapkan agar orang-orang kristen memegang ajaran-ajaran yang telah
diajarkan oleh rasul-rasul, baik secara lisan maupun tertulis (II Tes 2:15 ). Ia tidak memberikan petunjuk
tentang termasuknya ajaran-ajaran tentang kehidupan dan pengajaran Yesus,
walaupun dalam I Timotius 5:18 nampaknya ia menggolongkan suatu ucapan Yesus
(yang dicatat oleh Lukas) sebagai kitab suci. Kelihatannnya jemaat bukan hanya
beribadah tetapi juga menangani tugas untuk menyampaikan kepada
anggota-anggotanya suatu pegangan iman yang masuk akal, dengan cara pembacaan
kitab Suci di depan umum dan pengajaran yang meliputi:
a. Khotbah (Pemberitaan Firman)
Pembacaan dan penjelasan Alkitab oleh kuasa Roh Kudus
mempunyai arti yang tak berhitung nilainya bagi pembaruan dan pertumbuhan umat
Allah. Sesungguhnya kehidupan gereja setempat bergandengan dengan penjelasan
firman yang ditrimanya, dalam hal ini khotbah-khotbah yang mengupas ajaran
Alkitab dan menerapkannya secara relevan.
b. Penelaahan Alkitab secara Pribadi
Orang kristen yang teguh harus belajar disiplin untuk
menelaah Alkitab setiap hari secara pribadi sebagai cara pertumbuhan rohani
yang nyata dan diberkati Tuhan. Membaca dan merenungkan firman Tuhan secara
pribadi dapat membawa berkat-berkat yang tak terhitung banyaknya.
Sikap yang benar terhadap Alkitab perlu diperhatikan
pada bagian-bagian yang dipelajari tanpa lepas konteks walau sewaktu-waktu
Allah membuat firman-Nya menjadi luar biasa relevan saat keadaan khusus.
Seluruh Alkitab adalah firman Allah untuk manusia sepanjang waktu dan kebenaran
yang terkandung di dalam setiap ayat adalah bagian dari seluruh kebenaran dalam
konteks alkitabiah dan teologis. Prinsip-prinsip penafsiran yang tepat harus
dipakai dalam usaha pribadi untuk mengerti Alkitab, bukan hanya dalam usaha di
depan umum.
c. Penelaahan Alkitab Berkelompok
Penelaahan Alkitab dalam kelompok informal (Kis 17:11 ) mempunyai peran penting dalam
pertumbuhan gereja. Dalam penelaahan kelompok perlu adanya kepemimpinan yang
tangguh dan keuletan untuk menghindari kecenderungan penyimpangan dari pokok
pembicaraan, menonjolkan pendapat sendiri, atau tukar menukar kesaksian yang
tidak jelas hubungannya dengan bagian Alkitab yang sedang dipelajari.[9]
2. Pengakuan Iman
Memikirkan tentang pentingnya pengakuan-pengakuan iman yang dipergunakan
jemaat mula-mula akan mempengaruhi bentuk jemaat-jemaat di kemudian hari. Paulus
sendiri mengakui “Yesus sebagai Tuhan” (Rm 10:9; Flp 2:11 ) dan mengakui adanya suatu kumpulan
tradisi kristen. Ia menyatakan sendiri telah menerima penjelasan yang
diberitakan kepadanya (I Kor 15:1 dst.) dan bahwa orang-orang kristen di Roma
telah menerima suatu “pengajaran yang diteruskan kepadamu” yang mereka taati
(Rm 6:17). Ia mendorong orang-orang Filipi untuk “berpegang pada firman
kehidupan” (Flp 2:16 ).
Pengungkapan-pengungkapan yang bermacam ini tentu telah menunjuk pada suatu
kumpulan ajaran kristen yang umum diakui dalam jemaat-jemaat. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila
ditemukan istilah-istilah “memelihara iman” atau “contoh ajaran yang sehat”
dalam surat-surat penggembalaan. Terdapat juga banyak contoh tentang cara
Paulus menggunakan ungkapan “iman”, dengan memaksudkan lebih daripada hal
percaya saja (misalnya Flp 1:27 ;
Ef 3:5; Kol 2:6,7). Hal yang sama
dapat dikatakan juga mengenai ungkapan “kebenaran” (misalnya 1:5; II Tes 2:12).
Dengan jelas Paulus memperhatikan bahwa jemaat-jemaat Kristen
bukan hanya harus mengetahui, tetapi juga harus tetap mempertahankan dasar dari
penyerahan mereka sebagai orang kristen. Terdapat suatu keadaan yang dapat disebut “injilku”, sebagai perbandingan
dengan segala injil lain yang dianggap khilaf (bnd. Gal 1:18) sehingga timbul
pendapat tentang tradisi yang ditulis dalam I Korintus 15:3 dst. adalah suatu
pengakuan iman kristen yang mendasar, sebagai pengukur bagi ajaran yang
bersifat kristen dan yang bukan. Dengan kata lain, penekanan ialah kematian dan
kebangkitan Kristus dan penafsiran kematian itu “sesuai dengan Kitab Suci”.
Kita dapat menarik kesimpulan bahwa suatu bentuk pernyataan iman pada zaman
dahulu telah diterima oleh Paulus sebagai dasar yang otentik bagi keanggotaan
dalam jemaat-jemaat yang berkembang.
3. Doa
Dalam
Perjanjian Lama terdapat sejumlah besar contoh tentang Allah yang memberkati
bangsa-Nya sebagai jawaban atas doa mereka (Kej 18:16-33; Kel 3:7-10; Bil
21:4-10; Bil 21:4-9; I Raj 18:20-39; Neh 1:1-11). Lagi pula doa
diberikan tempat yang sangat penting dan teratur dalam pelayanan Yesus (Luk 3:21 ; 5:16 ; 9:28 -29;
Ibr 5:7) dan murid-murid dengan tekun mengikuti teladan-Nya baik secara bersama
maupun secara individual (Kis 1:14 ;
2:42 ; 4:4-6, 23-31; Ef 1:16 ; Flp 4). Yesus tidak hanya
memberi contoh. Ia juga mengajar murid-murid untuk selalu berdoa dan juga
tentang bagaimana melakukannya (Mat 5:44 ;
Luk 1:1-13; 18:1-8).
Doa dilakukan secara perorangan maupun bersama-sama (Kis 4:24 ; 6:4; 10:9; I Tim 2:1-8). Pentingnya
doa nampak dalam pertemuan-pertemuan
jemaat-jemaat Kristen dan Paulus sendiri memasukkan banyak doa ke dalam
surat-suratnya. Ia memperhatikan doa mengenai keperluan-keperluaannya sendiri
(2 Kor 12:8) dan mengakui nilai dari doa bersama. Orang-orang Kristen dapat
digambarkan sebagai “semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama
Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita” (1 Kor 1:2). Doa
Paulus sendiri dalam Efesus 1:3-14 dapat diambil sebagai contoh yang
menggambarkan isi doa-doa dari orang-orang Kristen mula-mula, dan memang
bukanlah tidak mungkin bahwa ia mengulang bahasa yang telah dikenalnya melalui
pengalaman yang nyata dari ibadah yang dilakukan dalam jemaat. Dalam
penyembahannya kepada Allah, ia memperkenalkan beberapa gagasan teologis yang
dalam, yang mengingatkan kita bahwa doa orang-orang Kristen tidak terpisahkan
dari prinsip-prinsip iman Kristen. Jemaat di Kolose didorong untuk terus
berdoa, secara khusus bagi Paulus dan orang-orang yang membantunya (Kol 4:2; bnd.juga
1 Tes 5:25).
Salah satu segi
doa yang dikemukakan oleh Paulus adalah pentingnya “mengucap syukur”. Ia
memberikan contoh dalam doa-doanya sendiri dan mendorong agar para pembaca
suratnya melakukan hal yang sama (Kol 4:2; Flp 4:6; bnd.1 Kor 14:16).
4. Puji-pujian
Perjanjian Baru
menekankan pujian perorangan maupun bersama sebagai salah satu sisi ibadah.
Kalau ada seseorang yang berbahagia biarlah ia menyanyi (Yak 5:13 ). Paulus dan Silas menyanyikan
kidung pujian di dalam penjara (Kis 16:25 ).
Menyanyi juga merupakan bagian dalam ibadah umum (I Kor 14:26 ; Kol 3:16 ). Walaupun ada perbedaan antara mazmur, pujian, dan
nyanyian rohani, namun perbedaan itu tidak untuk dipertahankan secara kaku.
Mazmur mungkin dimaksudkan mazmur dalam Perjanjian Lama, walau mungkin mendapat
tambahan dari jemaat. Pujian dapat disampaikan langsung kepada Allah (namun
mungkin juga menggunakan mazmur, Kis 16:25 ).
Nyanyian rohani mungkin mencakup berbagai tema yang lebih luas. Musik merupakan
bagian yang penting dalam ibadah di banyak gereja masa kini.
5. Persembahan
Perjanjian Baru lebih banyak membicarakan soal persembahan
dibandingkan dengan aspek lainnya dalam kehidupan gereja. Memberi kepada orang
lain merupakan bukti kasih seseorang terhadap Allah (Yak 2:15-17; I Yoh
3:17,18). Hal itu harus berasal dari kehidupan yang terlebih dahulu telah
dipersembahkan kepada Dia (II Kor 8:5), harus dilakukan dengan sukarela (ay 11,
12; 9:7), dengan bebas sekalipun dalam kekurangan (ayat 12), dengan sukacita
(9:7), dan sesuai dengan ukuran kemakmuran yang diberikan Allah (I Kor 16:2).
6. Persekutuan
Jemaat mula-mula terus bersekutu (Kis 2:42 ) dalam keeratan yang mendalam diantara
sesama anggota jemaat karena ketekunan dalam pengajaran, kemauan untuk saling
membagi harta milik, pengalaman persekutuan dalam perjamuan Tuhan dan saling
mendoakan.
d. Sakramen
Baptisan dan Perjamuan Kudus
Sakramen (Lat.sacramentum)
secara secara sederhana dapat disebut “ungkapan lahir dan nyata dari anugerah
batin dan tidak nyata.” (Katekismus gereja Anglikan). Istilah ini dibatasi pada
perintah Kristus yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus.
Tiga unsur utama dalam sakramen yaitu tanda, anugerah dan
hubungan antara kedua-duanya. Tanda yang dilihat berupa air pada baptisan dan
roti serta anggur pada perjamuan kudus. Anugerah yang tidak dilihat berupa
jaminan/pemateraian anugerah bagi orang percaya. Dalam hal baptisan, anugerah
ini adalah “pemandian kelahiran kembali” (Tit 3:5), pengampunan dosa (Kis 2:28 ), penyatuan dengan Kristus dalam
kematian dan kebangkitan (Rm 6:1) serta keanggotaan dalam tubuh Kristus (I Kor 12:12 ). Dalam hal perjamuan kudus,
anugerah adalah penerimaan manfaat pengurbanan Kristus (I Kor 10:16 ), semacam makanan rohani dari
tubuh Kristus (I Kor 11:24 )
dan persekutuan dengan umat Allah (I Kor 10:17 ).
Ayat-ayat utama yang menyatakan bahwa Kristus menetapkan
baptisan dan perjamuan kudus juga menyebut hal mengajar (Mat 28:20) dan
memberitakan (I Kor 11:26 ).
Sakramen-sakramen tersebut adalah sakramen Injil, yang menunjuk kepada Kristus,
kematian dan kebangkitan-Nya bagi orang berdosa. Para
reformis ketika mengoreksi penyalahgunaan sakramen oleh gereja yang bersifat
takhyul dan menekankan perlunya memberitakan firman pada waktu melaksanakan
sakramen. Mereka mendukung Agustinus yang melukiskan sakramen sebagai “kata-kata
Allah yang nyata.” Ini prinsip yang penting, karena hanya dalam terang firman
sakramen itu dapat berperan secara tepat, yaitu sebagai penegasan dan dukungan
yang mengantar kepada Kristus dan menegaskan iman kepada Dia.[10]
Louis Berkof melihatnya sebagai alat-alat anugerah dalam arti khusus bagi orang
percaya, yang bermanfaat bagi pengembangan spiritual dari tindakan Roh Kudus, secara
terus menerus dikerjakan-Nya di hati kita melalui pemberitaan Injil yang kudus
dan meneguhkannya melalui pemakaian sakramen yang kudus, dan merupakan sarana
resmi dari Gereja Yesus Kristus.[11]
C. PENUTUP
Tuhan menghendaki semua orang percaya untuk menghasilkan buah sesuai
dengan pertobatannya, “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon
yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api”
(Luk 3:8,9). Rohani yang bertumbuh menjadi perhatian yang serius baik secara
pribadi maupun kehidupan bersama saudara seiman. Berbahagialah Jemaat yang
didapati Allah menang dalam pertandingan iman dan tetap setia kepadaNya (Why 2:10 -11).
DAFTAR PUSTAKA
Adams,Daniel J. Teologi
Lintas Budaya -Refleksi Barat di Asia
Jakarta: Gunung Mulia, 1992
Berkhof,
Louis. Teologi Sistematika. Vol.5.
Guthrie,
Donald . Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2
Jakarta: Gunung Mulia, 1993.
____. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 3
Jakarta:
Gunung Mulia, 1993.
Milne, Bruce. Mengenali Kebenaran.
Jakarta:
Gunung Mulia, 1993.
Ryrie,
Charles C. Teologi Dasar. Vol.2.
Yogyakarta: Andi, 1992.
J.Behm, Theological
Dictionary of the New Testament. Vol. II
Grand Rapids: William B.Eerdmans, 1985
Ladd,George E. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2
Bandung: Kalam Hidup, 1999
Smedes, Lewis. Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen
Malang: Gandum Mas, 1990
J.D.Dauglas,ed. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini . Jilid 2
M-Z
Jakarta: Bina Kasih, 2000
England: Inter-Varsity, 1997.
[1] Pokok pikiran yang diambil dari karya
Lewis Smedes “Sifat-sifat Moral yang Mendasar” Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas, 1990) 736-737
[2]
Topik tentang Spiritualitas merupakan mode masa kini yang oleh Giovanni
Scaramelli (1687-1752) dari Society of Jesus bahwa pengetahuan kehidupan
spiritual meliputi asketik dan mistik. Definisi spiritual Kristen di ambil dari
“New Dictionary of Theology” yang editornya adalah Sinclair B.Ferguson dan
David F.Wright.
[4] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru ( Jakarta: Gunung Mulia, 1993 ) 2:197-198.
[5] Daniel J.Adams, Teologi Lintas Budaya
-Refleksi Barat di Asia (
Jakarta:.Gunung Mulia, 1992) 24.
[6]
J.Behm, Theological Dictionary of the New
Testament ( Grand Rapids: William B.Eerdmans, 1985) 2:699
[7] George E.Ladd, Teologi Perjanjian Baru (Bandung: Kalam Hidup, 1999) 2:243
[8] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar (Yogyakarta:
Andi, 1992) 2: 234
[9] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran (
Jakarta: Gunung Mulia, 1993 ) 316-317
[10] Ibid, 319
[11] Louis Berkhof, Teologi Sistematika ( Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia,
1997 ) 5:103-104.