Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 05 Juni 2012

Etika Kristen


MEMBUDAYAKAN KEBENARAN, KEADILAN, KEKUDUSAN, PENGAMPUNAN DAN PENDAMAIAN DALAM KEHIDUPAN BERGEREJA, BERMASYARAKAT DAN BERNEGARA DI INDONESIA PASCA PEMILU 2004
(Pdt. Tjandra Tan, M.Th.)

A.        Latar Belakang Masalah

            Pemilihan umum telah usai, Jenderal (purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah terpilih sebagai presiden Republik Indonesia dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai wakil presiden. Setiap pemerintahan baru umumnya menjanjikan perubahan. Presiden dan wakil presiden terpilih tampaknya masuk kategori ini, program 100 hari dipublikasikan demikian rupa, bidang ekonomi dan hokum menjadi titik krusial. Dalam bursa calon-calon menteri, persoalan ini menarik perhatian dimana selain orang dalam, kalangan professional berpeluang menjadi menteri.[1] Persoalannya sekarang adalah apa yang akan berubah dan apakah pelaksanaannya akan lancar seperti direncanakan.
            Perubahan di tatanan kebijakan kelihatannya tak terlalu kasatmata. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla adalah bekas menteri koordinator di kabinet Presiden Megawati yang tak pernah terdengar berseteru dengan pemimpin mereka di tingkat policy. Medan laga kampanye dalam putaran pemilihan presiden tahap kedua juga bukan di arena ideologi, melainkan pada perebutan persepsi siapa di antara mereka yang terlihat lebih mampu menjalankan kebijakan-kebijakan yang serupa itu.
            Kinerja pemerintahan baru yang mulai bekerja pada tanggal 20 Oktober 2004 akan ditentukan dari kemampuan menyusun tim pengelola pemerintahan yang kompeten serta kompak dan kepiawaian dalam mengatasi berbagai tantangan yang menghadang. Salah satu tantangan yang telah terlihat jelas di haluan adalah kebutuhan menyesuaikan anggaran secara drastis untuk mengantisipasi harga minyak dunia yang membubung sangat tinggi. Artinya, pemerintah baru tak punya pilihan selain mengurangi subsidi bahan bakar minyak alias menaikkan harga. Sebuah tindakan tak populer yang harus diambil saat mayoritas kursi DPR berada dalam genggaman Koalisi Kebangsaan, kumpulan partai politik yang menyatakan diri akan menjadi kekuatan “penyeimbang” terhadap lembaga eksekutif. Kita yang telah melewati 100 hari pemerintahan SBY-Jusuf Kalla, tahu DPR baru sebagai “penyeimbang atau pengganjal” [2], paling tidak menurut Majalah Gatra edisi 13 November 2004 bahwa anggota DPR seharusnya berupaya menaikkan peringkatnya dari akreditasi “playgroup” yang di sindir mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
            Pemerintahan baru harus berupaya meyakinkan rakyat untuk melakukan pengorbanan demi masa depan yang lebih baik, sambil dengar-dengaran keluhan rakyat. Persoalan apakah tantangan ini akan dapat diatasi dengan mulus atau tidak sangat bergantung pada kepemimpinan SBY dan Jusuf Kalla sebagai nakhoda kapal bangsa ini. Paling tidak, menilik pengalaman para pemimpin masa lampau yang terbukti berhasil, ada rumus sederhana yang patut dipertimbangkan untuk digunakan. Bila para pemimpin rela berada di garis depan dalam menunjukkan keteladanan berkorban dan mampu secara jujur mengkomunikasikan tantangan yang dihadapi kepada khalayak luas, rakyat pun akan rela bersakit-sakit dahulu untuk bersenang-senang kemudian. Jika para penghuni istana mampu hidup sederhana sambil tetap menyumbangkan kelebihan yang mereka miliki kepada yang membutuhkan, badai penderitaan sedahsyat apa pun tak akan mampu mengaramkan dukungan rakat. Sebaliknya, kalau lapangan parkir istana tiba-tiba menjadi lahan pameran mobil mewah seperti yang terjadi di kantor para wakil rakyat di Senayan beberapa tahun terakhir ini, protes pun akan segera marak di jalan-jalan. Anarki akan mudah hadir dan, seperti dikhawatirkan almarhum Bung Hatta, akan menikam mati demokrasi kita.[3]
Jalan perubahan menuju demokrasi pasca Orde Baru menurut Yayasan Demos yang bekerja sama dengan Majalah Tempo, telah dibajak oleh sekelompok elite. Pembajak itu adalah anggota lama Orde Baru dan elite baru yang datang setelah orde itu tumbang. Mereka tidak hanya bertahan, tapi menjadi kekuatan baru di bidang ekonomi, birokrasi, dan militer, yang memegang peran menentukan. Mereka melekat erat di parlemen, partai politik, di berbagai asosiasi sipil, politik, bisnis, juga di tubuh birokrasi.
Di tengah sistem yang masih tetap korup, kelompok elite itu menjalankan kepentingan mereka melalui mekanisme dan prosedur “demokrasi”. Dengan cara ini, mereka membuat transisi menuju demokrasi macet di tengah jalan.[4] Era reformasi perlu di perjuangkan di berbagai sektor, iklim atau budaya kebenaran, keadilan, kekudusan, pengampunan dan pendamaian dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara di bumi nusantara pasca Pemilu 2004 menjadi keharusan bagi umat kristiani yang rindu alam demokratis tercipta dan langgeng.

B.        Membudayakan Kebenaran, Keadilan, Kekudusan, Pengampunan dan Pendamaian  dalam Kehidupan Bergereja, Bermasyarakat dan Bernegara

            Kesempurnaan manusia telah rusak akibat dosa, bahasa Alkitab mengatakan dunia berada dalam kegelepan (Yoh 1:5; bnd. 1 Yoh 1:5) dan realita itu tak terpungkiri bila melihat negara Indonesia dengan komponen-komponen yang ada dengan kerusakan yang  semakin memburuk di tatanan pribadi maupun sosial. Dunia tidak mengenal Allah dalam arti pemahaman yang sesungguhnya (Yoh 17:25), sulit untuk memperkatakan kebenaran, keadilan, kekudusan, pengampunan dan pendamaian dalam kegelepan malam negeri Indonesia. Dasar pijak bersama, falsafah atau ideologi bangsa Indonesia pun dapat diragukan, di rong-rong dan berusaha di ganti dengan ideologi golongan. Memang dalam tingkat “cita-cita” atau tahapan emosional, belum sampai “konsensus nasional” tentang ideologi Pancasila, segala sesuatu mungkin diubah.[5]  Namun amat disayangkan bila pekerjaan pembangunan negeri terhenti hanya karena kepentingan-kepentingan pribadi, golongan, partai, interes sosial-politik, yang jelas-jelas soal fondasi bangun sebuah negara sudah dimatangkan sebelum kemerdekaan diproklamirkan.
Di dalam lapangan hukum yang kena-mengena dengan istilah “kebenaran dan keadilan”, boleh dikata berbeda konsepsinya antara Islam moderat dengan tradisional, terlebih lintas agama ke Kristen misalnya.[6] Banyak yang dapat dipersoalkan dalam pendefinisian “kekudusan, pengampunan, dan pendamaian” tanpa ketundukan di bawah landasan idiil dan konstitusional bangsa Indonesia (Pancasila dan UUD 1945). Dalam ketundukan pada pemerintah sebagai hamba Allah yang mendatangkan kebaikan (Rm 13:1, 4-5), persepsi kristiani berbicara tentang “kebenaran, keadilan, kekudusan, pengampunan dan pendamaian” non-fisikal, non-revolusioner, tidak anarkis, atau tindak-tindak yang melampaui desakan reformasi moral dan spiritual.
Pikiran manusia sudah dibutakan oleh ilah zaman ini (2 Kor 4:4). Sesuatu yang sama sekali asing sudah dimasukkan ke dalam lingkungan manusia, yang bertentangan langsung dengan berkat-berkat keselamatan yang dibawa oleh Injil, lalu menimbulkan pertentangan antara terang dan gelap, kebenaran dan kekeliruan, pengetahuan dan ketidaktahuan, kasih dan benci. Kehidupan manusia seutuhnya telah dipengaruhi dosa, secara perorangan maupun secara kelompok, termasuk kehidupan keluarga sebagai kelompok sosial yang paling akrab. Hal ini menjelaskan mengapa Yesus menyebut orang tua insani itu “jahat” (Mat 7:11) kalau dibandingkan dengan keinginan Allah yang murni. Lingkungan manusia tercemar oleh sifat manusia yang cenderung berpusat pada diri sendiri (bnd. Mat 17:17).
Berdasarkan hal itu, disepanjang Alkitab ajaran etisnya senantiasa mengingatkan sifat manusia yang pada hakikatnya berdosa. PB memperhatikan kejahatan-kejahatan sosial yang nyata pada waktu itu (misalnya Rm 1:24 dst.; Kol 3:5 dst.; 1 Ptr 4:3 dst.) dan bila Firman itu relevan juga pada masa kini di Indonesia, maka terkesan bahwa penyelesaian masalah-masalah yang bersifat sosial lebih terfokus di akar persoalan yang bersifat rohani.
Ajaran mengenai penebusan dan pendamaian merupakan pusat seluruh amanat Kristen dan mencakup robohnya sikap memusatkan diri dan permusuhan manusia dengan Tuhan. Orang Kristen ialah ciptaan baru (2 Kor 5:17) dan hidup pada taraf baru (Kol 3:1) dan memiliki nilai-nilai baru, walaupun dia masih berada dalam lingkungan lama. Pasti langsung timbul pertentangan antara cara lama dalam menanggapi tanggung jawab sosialnya dan prinsip barunya dalam Kristus. PB memusatkan perhatian pada unsur baru itu, dan menuntut sikap dan perbuatan yang baru pula. Inilah prioritas bagi manusia yang baru saja meninggalkan latar belakang kekafiran.[7]
Orang Kristen tidak dapat lepas dari kewajiban dan tanggung jawab sosial dalam tatanan nilai-nilai baru. Gereja berada di dalam dunia. Gereja diutus oleh Tuhan ke dalam dunia. Tuhan tidak mengutus gereja ke wilayah yang “asing”. Sebab Tuhan itu adalah Tuhannya dunia. Dia bekerja dalam dunia. Tugas Gereja ialah untuk hidup sebagai Gereja yang taat kepada Tuhan yang tidak berubah, “baik kemarin, hari ini dan selama-lamanya” (Ibr 13:8). Namun tugas yang tidak berubah itu di setiap tempat harus dipahami secara baru di tengah-tengah dunia yang senantiasa berubah.
Dunia dalam arti umat manusia dengan kebudayaannya, dengan hidup politik, sosial dan ekonominya, dengan sejarahnya, ideologi dan agamanya, ilmu dan teknologinya, harapan-harapan dan kekuatiran-kekuatirannya. Inilah isi dunia yang dikasihi oleh Allah (Yoh 3:16), termasuk situasi pasca Pemilu 2004 di negeri Indonesia. Tidak ada kejadian dalam dunia ini yang berada di luar rencana penyelamatan Allah dengan kedatanganNya, kematian dan kebangkitan Anak-Nya serta kedatangan-Nya kembali untuk “mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi”(Ef 1:10). Ke dalam dunia inilah gereja diutus. Di dalam dunia inilah gereja melalui hidup, perbuatan dan perkataannya menjadi tanda dan saksi akan kasih dan rencana Allah itu. Sebab dalam memenuhi bumi serta menaklukkannya, “maka manusia sekaligus harus mengasihi Allah dengan sebulat hatinya dan mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri” (Mrk 12:30-31).
Dalam memahami tugasnya dalam dunia ini, gereja menjalankan pergumulan rangkap. Pada satu pihak gereja bergumul “dengan Tuhannya, dalam arti menghayati kebenaran dan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus.” Di pihak lain, gereja sekaligus bergumul “dengan kebudayaan dan masyarakat, di tengah-tengah mana gereja itu hidup.” Gereja tidak “menurut teladan orang di dunia ini” (Rm 12:2), namun tidak dapat memisahkan dirinya dari dunia. Di dalam dunia ini dengan harapan-harapan dan kekecewaan-kekecewaannya, gereja terpanggil untuk mendemonstrasikan, mengkomunikasikan “Apa kehendak Allah, yaitu hal yang baik dan yang berkenan dan yang sempurna” (Rm 12:2).[8]
            Ajaran PB tentang Allah juga mempengaruhi pandangan Kristen tentang masyarakat. Umat yang ditebus tak dapat dipisahkan dari Allah yang menebusnya. PB menekankan kasih Allah bagi isi dunia (Yoh 3:16), yang bertahan sekalipun di hadapan permusuhan (Rm 5:8). Lagi pula, kasih Allah itu merupakan pola bagi kasih manusia (1 Yoh 4:7; Yoh 15:9), dan bila ada perhatian kepada orang lain, masyarakat, bangsa dan negara, berarti di situ ada kasih.
            Karya pendamaian Allah melalui Kristus mendasari tanggung jawab sosial. Seseorang yang sudah didamaikan dengan Allah tentu tidak dapat mendukung usaha memperbarui masyarakat yang akan menyebabkan keretakan antar manusia. Ajaran Alkitab mengenai Allah dan sikap-Nya terhadap manusia akan mengesampingkan segala upaya untuk mencapai tujuan sosial dengan kekerasan. Injil membawa perdamaian bukan perselisihan. Walaupun beberapa orang pernah berpendapat bahwa keretakan serta kekerasan kadang-kadang dapat dibenarkan sebagai pilihan paling ringan antara dua jenis kejahatan, namun pendapat ini tidak dapat didukung dalam tulisan Paulus.
            Perlu diperhatikan bahwa menurut Paulus pendamaian itu melampaui batas-batas manusia sampai pada seluruh makhluk. Seluruh makhluk “dengan sangat rindu” menantikan saat kemerdekaannya dari kesia-siaan (Rm 8:19 dst.). Kenyataan ini mencerminkan sikap Paulus terhadap lingkungan dan mungkin memberikan petunjuk mengenai jawabannya atas masalah lingkungan hidup modern, meskipun dia tidak membahas masalah tanggapan manusia terhadap lingkungan. Manusia bertanggung jawab atas pencemaran lingkungannya. Menggangu keseimbangan alam demi kepentingan diri, kelompok atau golongan tertentu, sudah pasti tidak dapat dibenarkan menurut pemahaman Kristen. Membudayakan perilaku yang benar dapat berdampak luas sampai masalah-masalah sosial lainnya.
            Unsur lain tentang tanggung jawab sosial ialah batas-batas pengaruh orang Kristen. Kadang-kadang akan terjadi benturan antara harapan sosial manusia bukan Kristen dengan patokan yang ditetapkan Allah. Yesus dengan jelas menyatakan bahwa ketaatan pada Allah harus diutamakan lebih daripada ketaatan pada negara meskipun kedua-duanya seharusnya berjalan bersama. Memberi kepada Kaisar apa yang wajib diberikan kepadanya dan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Dia (Mat 22:21) berarti mengutamakan kehendak Allah. Orang harus mengikuti suara nuraninya, dan sewaktu-waktu secara terbuka atau terselubung, dia harus melawan masyarakatnya dalam hal moral. Peringatan keras yang dilontarkan PB terhadap ketunasusilaan seksual, misalnya, menyuarakan tuduhan terhadap patokan masyarakat pada waktu itu.
            Tanggung jawab orang percaya terhadap sosial tidak dapat dielakkan dari tuntutan Alkitab walau melayani antar orang Kristen juga ditekankan (Gal 6:10). Bagian terbesar dari tanggung jawab sosial ialah keadilan. Apa yang dikejar oleh masyarakat tidak selalu benar secara moral. Namun demikian dalam Alkitab, ada patokan keadilan yang baku dan dapat membedakan dengan jelas antara apa yang benar dan apa yang salah. Pandangan PL tentang keadilan sosial bergema dalam PB, misalnya dalam kutukan Yakobus atas penindasan. Sikap PB terhadap hukum tidak dapat dipisahkan dari Hukum Taurat, yang menetapkan keadilan sosial. Yesus menjunjung tinggi Hukum Taurat dan berkata bahwa tidak satu iota atau titik pun akan ditiadakan darinya (Mat 5:17-18). Walaupun Paulus berpendapat bahwa hukum tak dapat menyelamatkan orang, namun ia menganggapnya sebagai yang “kudus, benar dan baik” (Rm 7:12). Hukum menyediakan dasar kokoh untuk tindakan sosial. Dalam suatu masyarakat yang mantap, hukum-hukum mutlak perlu, meskipun demikian hukum tidak boleh bersifat menindas. Tuntutan Alkitab akan keadilan berdasarkan sikap Allah yang benar akan mencegah penindasan serta menjamin bahwa yang adil itu benar-benar baik untuk masyarakat.
            Pengadilan atas Yesus digambarkan dalam PB sebagai pelaksanaan keadilan yang salah. Upaya Pilatus untuk membebaskan dirinya dari tanggung jawab atas keadilan hanya membuktkan bahwa hal itu mustahil. Meskipun orang-orang Kristen segera menangkap makna teologis dari ketidakadilan itu, yaitu bahwa yang tidak bersalah mati untuk yang bersalah (1 Ptr 3:18), namun peristiwa penyesatan keadilan itu tetap tertanam dalam pemikiran PB. Apabila pengadilan itu dianggap benar, maka mustahil untuk mempertahankan pandangan bahwa Yesus tidak berdosa. Karena itu PB menganggap keadilan insani sangat lemah. Diperlukan patokan penghakiman yang lebih objektif untuk mempertahankan patokan-patokan sosial, dan justru inilah yang disajikan oleh PB.
            Tentu saja hukum dilihat sebagai kendali. Para hakim bertugas untuk menyingkirkan unsur-unsur kejahatan dalam masyarakat serta mendorong adanya kebaikan (Rm 13:2-3). Alkitab tidak mendukung adanya kekuasaan anarki, yang merupakan musuh keadilan sosial dan yang menempatkan masyarakat dalam genggaman orang-orang oportunis yang untuk sementara waktu demikian berkuasa sehingga dapat memaksakan kehendaknya atas bagian terbesar masyarakat.
            Ketidakadilan dewasa ini di Indonesia sudah hampir sampai pada tingkat puncaknya. Namun, karena berbagai pertimbangan dan tekanan sosio-psiko-politis, misalnya, karena takut dilabelisasi atau karena kuatir “diamankan” atau menjadi babak belur, bersedia untuk sementara menutup mulut mereka. Kebenaran sejarah mengungkapkan, bahwa rakyat acapkali menjadi tidak sabar kalau beban ketidakadilan itu terus mengimpitnya. Dan kalaupun rakyat berusaha bersabar atau karena secara sosio-politis ia tidak mempunyai alternatif lain, seperti di Uni Soviet selama tiga generasi, maka akan datang semacam pemicu di siang hari bolong, entah itu dari arah mana datangnya, mungkin demikian sudah dikehendaki Tuhan, maka hancurlah Uni Soviet secara berkeping-keping.[9]
            Lanjut dari perkataan Sahetapy, kebenaran tentu tidak mungkin dilepaskan dari keadilan. Dan keadilan itu sendiri tidak mungkin ditegakkan tanpa kebenaran. Keadilan yang ditegakkan di atas ketidakbenaran adalah kemunafikan. Keadilan yang diucapkan berdasarkan kebohongan atau atas dasar rekayasa atau karena manipulasi, karena suap atau disebabkan pemerasan terselubung, atau apa pun yang tidak didasarkan atas hati nurani yang sudah bertobat, adalah mendesavoueer rahmat dan kasih Tuhan. Keadilan yang demikian adalah pembusukan keadilan itu sendiri. Keduanya, keadilan dan kebenaran begitu saling menyatu, ibarat dua sisi dari satu mata uang.[10]
            Jemaat Kristen tidak bersifat demokratis, juga tidak otokrasi, tetapi teokratik. Bahwa contoh satu-satunya dalam PB tentang seseorang yang ingin menjadi terkemuka dalam Jemaat dianggap sangat tercela (3 Yoh 9-10). Pengertian PB tentang Jemaat ialah masyarakat yang kepalanya adalah Kristus bukan seorang manusia (Kol 1:18; Ef 1:22) dan kehendak Allah mengatur ketertibannya (bnd. 1 Kor 5:3-5). Dilihat dari segi ini Jemaat tidak mungkin menjadi patokan bagi suatu masyarakat yang tidak mengakui pemerintahan ilahi, kecuali dalam arti ideal. Namun, kenyataan bahwa hakim-hakim sekular pun dianggap pelayan-pelayan Allah, merupakan bukti bahwa orang Kristen tidak mengabaikan hubungannya dengan masyarakat. Kebiasaan jemaat Korintus yang mengadili rekan-rekan seiman Kristen di pengadilan kafir, dikecam bukan atas dasar bahwa hakim yang kafir tidak mampu mengadili orang Kristen, melainkan karena adanya kejanggalan jika orang kafir menengahi dua orang Kristen yang sedang bertikai (1 Kor 6).
            Cara menjalankan kekuasaan adalah bagian dari keadilan. Harus ada pihak berkuasa dan pihak bawahan, apakah itu dalam rumah tangga atau dalam pemerintahan negara. Anak-anak harus menaati orang tuanya, hamba-hamba harus patuh kepada tuan-tuannya (Kol 3:20 dst.), tiap warganegara harus tunduk pada pemerintahnya (Rm 13:1). Dengan perkataan lain, hak kekuasaan tidak dipersoalkan. Namun, kekuasaan itu harus dijalankan dengan adil. Kaum ayah jangan menyakiti hati anak-anak mereka, hamba-hamba harus memperlakukan budak mereka dengan adil dan jujur (Kol 3:21; 4:1). Karena kekuasaan mutlak datang dari Allah, maka pelaksanaannya harus sesuai dengan sifat-Nya. Hal ini secara tidak langsung dimengerti pada waktu diterapkan pada pemerintahan. Kalau pemerintah menetapkan undang-undang yang bertentangan dengan suara hati orang Kristen, maka PB tidak mengharuskan orang itu untuk menaatinya.[11]
            Negara berdiri seharusnya tidak untuk menandingi Allah. Warganegara Kristen wajib setia kepada pemerintah (Rm 13:1 dst.) yang sah sesuai konstitusi dan hasil Pemilu 2004, khususnya di Indonesia. Mereka harus berdoa untuk seluruh pejabatnya (1 Tim 2:2), menteri-menteri dan petinggi-petinggi struktural maupun fungsional, “agar kita dapat hidup dalam tenang dan tenteram”. Diakui bahwa para pemimpin negara sebenarnya diangkat untuk menghukum para pelanggar dan menghormati warga yang berbuat baik (1 Ptr 2:13): ini adalah dasar pemerintahan yang baik. Namun, Alkitab mengakui bahwa tidak semua pemerintah itu baik, Kitab Wahyu menggambarkan negara sebagai penanding umat Allah, sekutu musuh-Nya, “si binatang” itu. Jelaslah diperlukan kebijaksanaan untuk menentukan batas-batas kesetiaan kepada negaranya yang dapat diharapkan dari orang Kristen.
            Tanggung jawab kemasyarakatan erat hubungannya dengan masalah perpajakan. Yesus tidak menolak membayar bea Bait Allah, walaupun Dia tidak wajib membayarnya (Mat 17:24 dst.). Paulus mencantumkan perintah khusus bagi orang-orang Kristen di Roma untuk membayar pajak dengan alasan bahwa para pembesar yang mengurusnya adalah pelayan-pelayan Allah (Rm 13:6-7). Tidak ada larangan pula bagi orang Kristen untuk turut bekerja dalam jajaran penguasa atau berpolitik dalam arti bahwa mereka adalah “pelayan Allah.”
            Satu hal yang belum disinggung dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara adalah membudayakan pengampunan walau tidak bisa lepas dari pendamaian, kekudusan, kebenaran dan keadilan. Sebagaimana kebanyakan orang mempertanyakan tentang relevansi nasihat Yesus “untuk mengasihi musuhmu” dalam kerangka nasional (Mat 5:43 dst.), demikian juga pengampunan yang diletakkan dari segi yuridis (menyangkut kebenaran dan keadilan) maupun kualitas rohani (pendamaian dan kekudusan). Memang Yesus berbicara tentang sikap pribadi, namun karena suatu masyarakat terdiri atas pribadi-pribadi, maka tak diragukan lagi bahwa kasih Kristen akan mengurangi pertikaian politik jika sejumlah besar orang dalam masyarakat didorong olehnya. Pengampunan menjadi efektif bila disadari oleh orang-orang Kristen bahwa mereka telah dibebaskan dan dihapuskan utang sepuluh ribu talenta, dan amat mungkin untuk mengerjakan itu terhadap sesamanya yang berutang seratus dinar (Mat 18:23-30). Realita dari perumpamaan yang Yesus katakan memang berbalik, banyak orang Kristen yang sulit mengampuni sesama orang percaya, juga orang lain dalam kehidupan kebersamaan. Orang yang telah menerima pengampunan diharapkan secara ipso facto (sendiri) harus melakukan pengampunan sebagai penghargaan terhadap tuannya.[12]
            Pengampunan yang diberikan Allah sebagai “anugerah” kepada manusia yang tidak berdaya atas kuasa dosa dan maut, harus dipahami pula dari segi hukum dimana “penggantian” terjadi, pemenuhan hukum terlaksana, kebenaran dan keadilan tidak dikorbankan, lebih dari itu Allah terpuaskan oleh kesempurnaan kurban Yesus Kristus. Manusia dan tatarannya pasti tidak dapat mengerjakan itu. Namun dalam kelemahan dan kekurangan yang ada, hukum-hukum insani tidak boleh menyimpang jauh dari hukum-hukum ilahi. Hukum di Indonesia harus ditegakkan, sekali lagi kebenaran dan keadilan berbicara lantang bukan sebagai komoditi perdagangan dalam berbagai bentuk yang tidak bisa dikatakan “pengampunan”.
            Hakim-hakim yang berulah harus ditindak tegas, berbagai upeti dan dana siluman dari dan bagi orang-orang tertentu, pastilah menyalahi kebenaran dan berada dalam penghukuman. Pengampunan dapat dipahami dalam kesadaran penuh akan kesalahan, rela berpaling dan meninggalkan kehidupan lama, tidak mementingkan diri tapi peduli sesama, lapar dan haus akan Kebenaran. Tanpa arti di atas, kepalsuan hidup terlihat dimana-mana bahkan manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang (Yoh 3:19).

C.        Kesimpulan

            Kehidupan baru bagi umat Kristen merupakan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus. Kerajaan Allah telah hadir dalam diri orang percaya, Allah memerintah atas umat-Nya dan bekerja di dalam serta melalui mereka. Peran orang-orang Kristen dalam kehidupan bergereja telah kedapatan begitu besar, bahkan memberi tekanan miring pada denominasi tertentu ketimbang arti kesatuan tubuh Kristus secara rohaniah.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, nampak kekurangan di sana-sini meski untuk itu gereja di utur. Kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pengampunan, merupakan nilai-nilai kristiani yang melekat pada gereja sebagai kualitas mutlak juga pembeda dengan yang duniawi. Gereja harus tampil mewakili Yesus sebagai juruselamat bagi dunia, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam konteks ini. Ia mesti berseru-seru seperti Yohanes Pembaptis atau Yesus yang mengutusnya: “Bertobatlah, Kerajaan Allah sudah dekat!” (Mrk 1:4, 15), tanpa lupa citra diri dan mengenakan busana kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pegampunan.
Bangsa Indonesia membutuhkan Terang dalam kegelapan alam demokrasi yang diperjuangkan pasca Pemilu 2004. Dalam pemerintahan Allah (teokrasi) atas alam semesta, seluruh umat manusia, bangsa-bangsa dan negara-negara, khususnya orang-orang percaya yang masuk dalam Kerajaan-Nya meski tinggal di Indonesia,  harus dapat melihat visi ilahi bagi bangsa Indonesia. Allah pasti memerintah atas bumi Pertiwi dan anak-anak-Nya seharusnya tahu bagaimana Ia melangsungkan pemerintahan-Nya di alam demokrasi berbasis Pancasila dan UUD 1945.
Allah memakai falsafah bangsa Indonesia untuk memayungi kebersamaan rakyat Indoensia yang terintegrasi dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Kita harus mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari gangguan dan ancaman yang bersifat pribadi, golongan, atau ekspansi dan eksploitasi bangsa manapun dalam batas-batas tertentu setidak-tidaknya tatanan moral, etik, dan spiritual yang fundamental. Tanpa melemahkan panggilan ilahi untuk restorasi jiwa, budaya, perilaku dan kehidupan berbangsa dan bernegara, orang-orang Kristen mesti mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
Pola atau kebiasaan yang dihidupi orang-orang percaya (bukan lagi “cita-cita” untuk membudayakan kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pengampunan) patut diwariskan pada anak-cucu mereka. Mereka harus tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran (1 Tim 3:15). Keturunan orang-orang percaya harus kokoh, tegar dan kuat dalam Injil walau menghadapi berbagai cobaan, lalu bersamaan dengan itu menularkan kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pengampunan yang dialaminya. Pemberitaan tanpa perubahan dari dalam diri, kepemimpinan tanpa teladan, beriman tanpa bertindak, kesemuanya itu tidak menambah karya pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia justru kemunduran dan keterbelakangan. “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang” (Mat 5:13).


DAFTAR BACAAN


Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2
Jakarta: Gunung Mulia, 1993

   ___               Teologi Perjanjian Baru. Jilid 3
                        Jakarta: Gunung Mulia, 1993

Sahetapy. J.E, “Demi Keadilan” bagian dari kumpulan penulis-penulis yang di edit di bawah judul Keadilan dalam Kemajemukan
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998

Majalah Gatra No. 49 Tahun Ke-X, Tanggal 23 Oktober 2004, tentang bursa calon-calon menteri dengan tajuk “Berebut kursi modal reputasi”

Majalah Tempo edisi 4-10 Oktober 2004 dengan judul DPR Baru: Penyeimbang atau Pengganjal

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Simatupang,T.B. Dari Revolusi ke Pembangunan.
Jakarta: Gunung Mulia, 1987



[1] Lihat Majalah Gatra No. 49 Tahun Ke-X, Tanggal 23 Oktober 2004, tentang bursa calon-calon menteri dengan tajuk “Berebut cursi modal reputasi” pada halaman 28-31.
[2] Bahasa opini dalam majalah Tempo edisi 4-10 Oktober 2004 dengan judul DPR Baru: Penyeimbang atau Pengganjal. Berita utama edisi tersebut juga membahas masalah di seputar DPR baru dibawa pimpinan Agung Laksono sebagai Ketua DPR.
[3] Kutipan opini Majalah Tempo bertajuk “Ujian Kepemimpinan Presiden Baru” , edisi 4-10 Oktober 2004 pada halaman 24.
[4] Ibid., .65-76. Dengan keruwetan masalah-masalah yang ada di Indonesia, reformasi di Indonesia akan membawa pada demokrasi seperti di Filipina, Thailand atau Amerika Latin?  Nampaknya masih menjadi tanda tanya besar seperti pasca Pemilu 2004 yang diragukan akan mengantar Indonesia memasuki babak baru yang lebih demokratis. Banyak penumpang gelap di berbagai bidang, bahkan menjadi aktor-aktor dominan di lembaga “demokrasi”. Pola pemanfaatan jalar-jalur dan prosedur demokrasi tampaknya menjadi modus utama para pembajak. Dalam Pemilu 2004, yang berlangsung lebih demokratis ketimbang pemilu 1999, lagi-lagi kita menyaksikan sejumlah tokoh lama yang masuk ke jajaran elite partai, atau mendirikan partai baru untuk bertarung merebut dukungan publik. Kelompok itu juga masuk dalam jeringan koalisi yang mendukung pencalonan pemimpin nasional dalam pemilu presiden putaran kedua. Analisa ini memperlihatkan kemungkinan konflik-konflik yang semakin besar di kemudian hari antara koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan.
[5] Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: .Raja Grafindo Persada, 1995) 3-4.
[6] Ibid., 71-72.
[7] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 1993) 3:298.
[8] T.B. Simatupang, Dari Revolusi ke Pembangunan (Jakarta: Gunung Mulia, 1987) 268.
[9] J.E. Sahetapy, “Demi Keadilan” sebagai bagian dari kumpulan penulis-penulis yang di edit di bawah judul Keadilan dalam Kemajemukan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998) 291.
[10] Ibid., 293.
[11] Donald Guthrie, Teologi PB, 3: 308-309.
[12] Donald Guthrie, Teologi PB (Jakarta: Gunung Mulia, 1993) 2:219-220.