MEMBUDAYAKAN KEBENARAN, KEADILAN,
KEKUDUSAN, PENGAMPUNAN DAN PENDAMAIAN DALAM KEHIDUPAN BERGEREJA, BERMASYARAKAT
DAN BERNEGARA DI INDONESIA PASCA PEMILU 2004
(Pdt. Tjandra Tan, M.Th.)
(Pdt. Tjandra Tan, M.Th.)
A. Latar
Belakang Masalah
Pemilihan
umum telah usai, Jenderal (purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah
terpilih sebagai presiden Republik Indonesia dan Muhammad Jusuf Kalla sebagai
wakil presiden. Setiap pemerintahan baru umumnya menjanjikan perubahan.
Presiden dan wakil presiden terpilih tampaknya masuk kategori ini, program 100
hari dipublikasikan demikian rupa, bidang ekonomi dan hokum menjadi titik
krusial. Dalam bursa calon-calon menteri, persoalan ini menarik perhatian
dimana selain orang dalam, kalangan professional berpeluang menjadi menteri.[1]
Persoalannya sekarang adalah apa yang akan berubah dan apakah pelaksanaannya
akan lancar seperti direncanakan.
Perubahan
di tatanan kebijakan kelihatannya tak terlalu kasatmata. Pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla adalah bekas menteri koordinator di
kabinet Presiden Megawati yang tak pernah terdengar berseteru dengan pemimpin
mereka di tingkat policy. Medan laga kampanye dalam putaran pemilihan
presiden tahap kedua juga bukan di arena ideologi, melainkan pada perebutan
persepsi siapa di antara mereka yang terlihat lebih mampu menjalankan
kebijakan-kebijakan yang serupa itu.
Kinerja
pemerintahan baru yang mulai bekerja pada tanggal 20 Oktober 2004 akan
ditentukan dari kemampuan menyusun tim pengelola pemerintahan yang kompeten
serta kompak dan kepiawaian dalam mengatasi berbagai tantangan yang menghadang.
Salah satu tantangan yang telah terlihat jelas di haluan adalah kebutuhan
menyesuaikan anggaran secara drastis untuk mengantisipasi harga minyak dunia
yang membubung sangat tinggi. Artinya, pemerintah baru tak punya pilihan selain
mengurangi subsidi bahan bakar minyak alias menaikkan harga. Sebuah tindakan
tak populer yang harus diambil saat mayoritas kursi DPR berada dalam genggaman
Koalisi Kebangsaan, kumpulan partai politik yang menyatakan diri akan menjadi
kekuatan “penyeimbang” terhadap lembaga eksekutif. Kita yang telah melewati 100
hari pemerintahan SBY-Jusuf Kalla, tahu DPR baru sebagai “penyeimbang atau
pengganjal” [2],
paling tidak menurut Majalah Gatra edisi 13 November 2004 bahwa anggota DPR
seharusnya berupaya menaikkan peringkatnya dari akreditasi “playgroup”
yang di sindir mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
Pemerintahan
baru harus berupaya meyakinkan rakyat untuk melakukan pengorbanan demi masa
depan yang lebih baik, sambil dengar-dengaran keluhan rakyat. Persoalan apakah
tantangan ini akan dapat diatasi dengan mulus atau tidak sangat bergantung pada
kepemimpinan SBY dan Jusuf Kalla sebagai nakhoda kapal bangsa ini. Paling
tidak, menilik pengalaman para pemimpin masa lampau yang terbukti berhasil, ada
rumus sederhana yang patut dipertimbangkan untuk digunakan. Bila para pemimpin
rela berada di garis depan dalam menunjukkan keteladanan berkorban dan mampu
secara jujur mengkomunikasikan tantangan yang dihadapi kepada khalayak luas,
rakyat pun akan rela bersakit-sakit dahulu untuk bersenang-senang kemudian.
Jika para penghuni istana mampu hidup sederhana sambil tetap menyumbangkan
kelebihan yang mereka miliki kepada yang membutuhkan, badai penderitaan
sedahsyat apa pun tak akan mampu mengaramkan dukungan rakat. Sebaliknya, kalau
lapangan parkir istana tiba-tiba menjadi lahan pameran mobil mewah seperti yang
terjadi di kantor para wakil rakyat di Senayan beberapa tahun terakhir ini,
protes pun akan segera marak di jalan-jalan. Anarki akan mudah hadir dan, seperti
dikhawatirkan almarhum Bung Hatta, akan menikam mati demokrasi kita.[3]
Jalan perubahan
menuju demokrasi pasca Orde Baru menurut Yayasan Demos yang bekerja sama dengan
Majalah Tempo, telah dibajak oleh sekelompok elite. Pembajak itu adalah anggota
lama Orde Baru dan elite baru yang datang setelah orde itu tumbang. Mereka
tidak hanya bertahan, tapi menjadi kekuatan baru di bidang ekonomi, birokrasi,
dan militer, yang memegang peran menentukan. Mereka melekat erat di parlemen,
partai politik, di berbagai asosiasi sipil, politik, bisnis, juga di tubuh
birokrasi.
Di tengah sistem
yang masih tetap korup, kelompok elite itu menjalankan kepentingan mereka
melalui mekanisme dan prosedur “demokrasi”. Dengan cara ini, mereka membuat
transisi menuju demokrasi macet di tengah jalan.[4]
Era reformasi perlu di perjuangkan di berbagai sektor, iklim atau budaya
kebenaran, keadilan, kekudusan, pengampunan dan pendamaian dalam kehidupan
bergereja, bermasyarakat dan bernegara di bumi nusantara pasca Pemilu 2004 menjadi
keharusan bagi umat kristiani yang rindu alam demokratis tercipta dan langgeng.
B. Membudayakan Kebenaran,
Keadilan, Kekudusan, Pengampunan dan Pendamaian
dalam Kehidupan Bergereja, Bermasyarakat dan Bernegara
Kesempurnaan
manusia telah rusak akibat dosa, bahasa Alkitab mengatakan dunia berada dalam
kegelepan (Yoh 1:5; bnd. 1 Yoh 1:5) dan realita itu tak terpungkiri bila
melihat negara Indonesia dengan komponen-komponen yang ada dengan kerusakan
yang semakin memburuk di tatanan pribadi
maupun sosial. Dunia tidak mengenal Allah dalam arti pemahaman yang
sesungguhnya (Yoh 17:25), sulit untuk memperkatakan kebenaran, keadilan,
kekudusan, pengampunan dan pendamaian dalam kegelepan malam negeri
Indonesia. Dasar pijak bersama, falsafah atau ideologi bangsa Indonesia pun
dapat diragukan, di rong-rong dan berusaha di ganti dengan ideologi golongan.
Memang dalam tingkat “cita-cita” atau tahapan emosional, belum sampai
“konsensus nasional” tentang ideologi Pancasila, segala sesuatu mungkin diubah.[5]
Namun amat disayangkan bila pekerjaan
pembangunan negeri terhenti hanya karena kepentingan-kepentingan pribadi,
golongan, partai, interes sosial-politik, yang jelas-jelas soal fondasi bangun
sebuah negara sudah dimatangkan sebelum kemerdekaan diproklamirkan.
Di dalam lapangan hukum
yang kena-mengena dengan istilah “kebenaran dan keadilan”, boleh dikata berbeda
konsepsinya antara Islam moderat dengan tradisional, terlebih lintas agama ke
Kristen misalnya.[6]
Banyak yang dapat dipersoalkan dalam pendefinisian “kekudusan, pengampunan, dan
pendamaian” tanpa ketundukan di bawah landasan idiil dan konstitusional bangsa
Indonesia (Pancasila dan UUD 1945). Dalam ketundukan pada pemerintah sebagai
hamba Allah yang mendatangkan kebaikan (Rm 13:1, 4-5), persepsi kristiani
berbicara tentang “kebenaran, keadilan, kekudusan, pengampunan dan pendamaian”
non-fisikal, non-revolusioner, tidak anarkis, atau tindak-tindak yang melampaui
desakan reformasi moral dan spiritual.
Pikiran manusia
sudah dibutakan oleh ilah zaman ini (2 Kor 4:4). Sesuatu yang sama sekali asing
sudah dimasukkan ke dalam lingkungan manusia, yang bertentangan langsung dengan
berkat-berkat keselamatan yang dibawa oleh Injil, lalu menimbulkan pertentangan
antara terang dan gelap, kebenaran dan kekeliruan, pengetahuan dan ketidaktahuan,
kasih dan benci. Kehidupan manusia seutuhnya telah dipengaruhi dosa, secara
perorangan maupun secara kelompok, termasuk kehidupan keluarga sebagai kelompok
sosial yang paling akrab. Hal ini menjelaskan mengapa Yesus menyebut orang tua
insani itu “jahat” (Mat 7:11) kalau dibandingkan dengan keinginan Allah yang
murni. Lingkungan manusia tercemar oleh sifat manusia yang cenderung berpusat
pada diri sendiri (bnd. Mat 17:17).
Berdasarkan hal
itu, disepanjang Alkitab ajaran etisnya senantiasa mengingatkan sifat manusia
yang pada hakikatnya berdosa. PB memperhatikan kejahatan-kejahatan sosial yang
nyata pada waktu itu (misalnya Rm 1:24 dst.; Kol 3:5 dst.; 1 Ptr 4:3 dst.) dan
bila Firman itu relevan juga pada masa kini di Indonesia, maka terkesan bahwa
penyelesaian masalah-masalah yang bersifat sosial lebih terfokus di akar
persoalan yang bersifat rohani.
Ajaran mengenai
penebusan dan pendamaian merupakan pusat seluruh amanat Kristen dan mencakup
robohnya sikap memusatkan diri dan permusuhan manusia dengan Tuhan. Orang
Kristen ialah ciptaan baru (2 Kor 5:17) dan hidup pada taraf baru (Kol 3:1) dan
memiliki nilai-nilai baru, walaupun dia masih berada dalam lingkungan lama.
Pasti langsung timbul pertentangan antara cara lama dalam menanggapi tanggung
jawab sosialnya dan prinsip barunya dalam Kristus. PB memusatkan perhatian pada
unsur baru itu, dan menuntut sikap dan perbuatan yang baru pula. Inilah
prioritas bagi manusia yang baru saja meninggalkan latar belakang kekafiran.[7]
Orang Kristen
tidak dapat lepas dari kewajiban dan tanggung jawab sosial dalam tatanan
nilai-nilai baru. Gereja berada di dalam dunia. Gereja diutus oleh Tuhan ke
dalam dunia. Tuhan tidak mengutus gereja ke wilayah yang “asing”. Sebab Tuhan
itu adalah Tuhannya dunia. Dia bekerja dalam dunia. Tugas Gereja ialah untuk
hidup sebagai Gereja yang taat kepada Tuhan yang tidak berubah, “baik kemarin,
hari ini dan selama-lamanya” (Ibr 13:8). Namun tugas yang tidak berubah itu di
setiap tempat harus dipahami secara baru di tengah-tengah dunia yang senantiasa
berubah.
Dunia dalam arti
umat manusia dengan kebudayaannya, dengan hidup politik, sosial dan ekonominya,
dengan sejarahnya, ideologi dan agamanya, ilmu dan teknologinya,
harapan-harapan dan kekuatiran-kekuatirannya. Inilah isi dunia yang dikasihi oleh
Allah (Yoh 3:16), termasuk situasi pasca Pemilu 2004 di negeri Indonesia. Tidak
ada kejadian dalam dunia ini yang berada di luar rencana penyelamatan Allah
dengan kedatanganNya, kematian dan kebangkitan Anak-Nya serta kedatangan-Nya
kembali untuk “mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu,
baik yang di surga maupun yang di bumi”(Ef 1:10). Ke dalam dunia inilah gereja
diutus. Di dalam dunia inilah gereja melalui hidup, perbuatan dan perkataannya
menjadi tanda dan saksi akan kasih dan rencana Allah itu. Sebab dalam memenuhi
bumi serta menaklukkannya, “maka manusia sekaligus harus mengasihi Allah dengan
sebulat hatinya dan mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri” (Mrk
12:30-31).
Dalam memahami
tugasnya dalam dunia ini, gereja menjalankan pergumulan rangkap. Pada satu
pihak gereja bergumul “dengan Tuhannya, dalam arti menghayati kebenaran dan
anugerah Allah di dalam Yesus Kristus.” Di pihak lain, gereja sekaligus
bergumul “dengan kebudayaan dan masyarakat, di tengah-tengah mana gereja itu
hidup.” Gereja tidak “menurut teladan orang di dunia ini” (Rm 12:2), namun
tidak dapat memisahkan dirinya dari dunia. Di dalam dunia ini dengan
harapan-harapan dan kekecewaan-kekecewaannya, gereja terpanggil untuk
mendemonstrasikan, mengkomunikasikan “Apa kehendak Allah, yaitu hal yang baik
dan yang berkenan dan yang sempurna” (Rm 12:2).[8]
Ajaran
PB tentang Allah juga mempengaruhi pandangan Kristen tentang masyarakat. Umat
yang ditebus tak dapat dipisahkan dari Allah yang menebusnya. PB menekankan kasih
Allah bagi isi dunia (Yoh 3:16), yang bertahan sekalipun di hadapan permusuhan
(Rm 5:8). Lagi pula, kasih Allah itu merupakan pola bagi kasih manusia (1 Yoh
4:7; Yoh 15:9), dan bila ada perhatian kepada orang lain, masyarakat, bangsa
dan negara, berarti di situ ada kasih.
Karya
pendamaian Allah melalui Kristus mendasari tanggung jawab sosial. Seseorang
yang sudah didamaikan dengan Allah tentu tidak dapat mendukung usaha
memperbarui masyarakat yang akan menyebabkan keretakan antar manusia. Ajaran
Alkitab mengenai Allah dan sikap-Nya terhadap manusia akan mengesampingkan
segala upaya untuk mencapai tujuan sosial dengan kekerasan. Injil membawa
perdamaian bukan perselisihan. Walaupun beberapa orang pernah berpendapat bahwa
keretakan serta kekerasan kadang-kadang dapat dibenarkan sebagai pilihan paling
ringan antara dua jenis kejahatan, namun pendapat ini tidak dapat didukung
dalam tulisan Paulus.
Perlu
diperhatikan bahwa menurut Paulus pendamaian itu melampaui batas-batas manusia
sampai pada seluruh makhluk. Seluruh makhluk “dengan sangat rindu” menantikan
saat kemerdekaannya dari kesia-siaan (Rm 8:19 dst.). Kenyataan ini mencerminkan
sikap Paulus terhadap lingkungan dan mungkin memberikan petunjuk mengenai
jawabannya atas masalah lingkungan hidup modern, meskipun dia tidak membahas
masalah tanggapan manusia terhadap lingkungan. Manusia bertanggung jawab atas
pencemaran lingkungannya. Menggangu keseimbangan alam demi kepentingan diri,
kelompok atau golongan tertentu, sudah pasti tidak dapat dibenarkan menurut
pemahaman Kristen. Membudayakan perilaku yang benar dapat berdampak luas sampai
masalah-masalah sosial lainnya.
Unsur
lain tentang tanggung jawab sosial ialah batas-batas pengaruh orang Kristen.
Kadang-kadang akan terjadi benturan antara harapan sosial manusia bukan Kristen
dengan patokan yang ditetapkan Allah. Yesus dengan jelas menyatakan bahwa
ketaatan pada Allah harus diutamakan lebih daripada ketaatan pada negara
meskipun kedua-duanya seharusnya berjalan bersama. Memberi kepada Kaisar apa
yang wajib diberikan kepadanya dan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada
Dia (Mat 22:21) berarti mengutamakan kehendak Allah. Orang harus mengikuti
suara nuraninya, dan sewaktu-waktu secara terbuka atau terselubung, dia harus
melawan masyarakatnya dalam hal moral. Peringatan keras yang dilontarkan PB
terhadap ketunasusilaan seksual, misalnya, menyuarakan tuduhan terhadap patokan
masyarakat pada waktu itu.
Tanggung
jawab orang percaya terhadap sosial tidak dapat dielakkan dari tuntutan Alkitab
walau melayani antar orang Kristen juga ditekankan (Gal 6:10). Bagian terbesar
dari tanggung jawab sosial ialah keadilan. Apa yang dikejar oleh masyarakat
tidak selalu benar secara moral. Namun demikian dalam Alkitab, ada patokan
keadilan yang baku dan dapat membedakan dengan jelas antara apa yang benar dan
apa yang salah. Pandangan PL tentang keadilan sosial bergema dalam PB, misalnya
dalam kutukan Yakobus atas penindasan. Sikap PB terhadap hukum tidak dapat
dipisahkan dari Hukum Taurat, yang menetapkan keadilan sosial. Yesus menjunjung
tinggi Hukum Taurat dan berkata bahwa tidak satu iota atau titik pun akan
ditiadakan darinya (Mat 5:17-18). Walaupun Paulus berpendapat bahwa hukum tak
dapat menyelamatkan orang, namun ia menganggapnya sebagai yang “kudus, benar
dan baik” (Rm 7:12). Hukum menyediakan dasar kokoh untuk tindakan sosial. Dalam
suatu masyarakat yang mantap, hukum-hukum mutlak perlu, meskipun demikian hukum
tidak boleh bersifat menindas. Tuntutan Alkitab akan keadilan berdasarkan sikap
Allah yang benar akan mencegah penindasan serta menjamin bahwa yang adil itu
benar-benar baik untuk masyarakat.
Pengadilan
atas Yesus digambarkan dalam PB sebagai pelaksanaan keadilan yang salah. Upaya
Pilatus untuk membebaskan dirinya dari tanggung jawab atas keadilan hanya membuktkan
bahwa hal itu mustahil. Meskipun orang-orang Kristen segera menangkap makna
teologis dari ketidakadilan itu, yaitu bahwa yang tidak bersalah mati untuk
yang bersalah (1 Ptr 3:18), namun peristiwa penyesatan keadilan itu tetap
tertanam dalam pemikiran PB. Apabila pengadilan itu dianggap benar, maka
mustahil untuk mempertahankan pandangan bahwa Yesus tidak berdosa. Karena itu
PB menganggap keadilan insani sangat lemah. Diperlukan patokan penghakiman yang
lebih objektif untuk mempertahankan patokan-patokan sosial, dan justru inilah
yang disajikan oleh PB.
Tentu
saja hukum dilihat sebagai kendali. Para hakim bertugas untuk menyingkirkan
unsur-unsur kejahatan dalam masyarakat serta mendorong adanya kebaikan (Rm
13:2-3). Alkitab tidak mendukung adanya kekuasaan anarki, yang merupakan musuh
keadilan sosial dan yang menempatkan masyarakat dalam genggaman orang-orang
oportunis yang untuk sementara waktu demikian berkuasa sehingga dapat
memaksakan kehendaknya atas bagian terbesar masyarakat.
Ketidakadilan
dewasa ini di Indonesia sudah hampir sampai pada tingkat puncaknya. Namun,
karena berbagai pertimbangan dan tekanan sosio-psiko-politis, misalnya, karena
takut dilabelisasi atau karena kuatir “diamankan” atau menjadi babak belur,
bersedia untuk sementara menutup mulut mereka. Kebenaran sejarah mengungkapkan,
bahwa rakyat acapkali menjadi tidak sabar kalau beban ketidakadilan itu terus
mengimpitnya. Dan kalaupun rakyat berusaha bersabar atau karena secara
sosio-politis ia tidak mempunyai alternatif lain, seperti di Uni Soviet selama
tiga generasi, maka akan datang semacam pemicu di siang hari bolong, entah itu
dari arah mana datangnya, mungkin demikian sudah dikehendaki Tuhan, maka
hancurlah Uni Soviet secara berkeping-keping.[9]
Lanjut
dari perkataan Sahetapy, kebenaran tentu tidak mungkin dilepaskan dari
keadilan. Dan keadilan itu sendiri tidak mungkin ditegakkan tanpa kebenaran.
Keadilan yang ditegakkan di atas ketidakbenaran adalah kemunafikan. Keadilan
yang diucapkan berdasarkan kebohongan atau atas dasar rekayasa atau karena
manipulasi, karena suap atau disebabkan pemerasan terselubung, atau apa pun
yang tidak didasarkan atas hati nurani yang sudah bertobat, adalah mendesavoueer
rahmat dan kasih Tuhan. Keadilan yang demikian adalah pembusukan keadilan itu
sendiri. Keduanya, keadilan dan kebenaran begitu saling menyatu, ibarat dua
sisi dari satu mata uang.[10]
Jemaat
Kristen tidak bersifat demokratis, juga tidak otokrasi, tetapi teokratik. Bahwa
contoh satu-satunya dalam PB tentang seseorang yang ingin menjadi terkemuka
dalam Jemaat dianggap sangat tercela (3 Yoh 9-10). Pengertian PB tentang Jemaat
ialah masyarakat yang kepalanya adalah Kristus bukan seorang manusia (Kol 1:18;
Ef 1:22) dan kehendak Allah mengatur ketertibannya (bnd. 1 Kor 5:3-5). Dilihat
dari segi ini Jemaat tidak mungkin menjadi patokan bagi suatu masyarakat yang
tidak mengakui pemerintahan ilahi, kecuali dalam arti ideal. Namun, kenyataan
bahwa hakim-hakim sekular pun dianggap pelayan-pelayan Allah, merupakan bukti
bahwa orang Kristen tidak mengabaikan hubungannya dengan masyarakat. Kebiasaan
jemaat Korintus yang mengadili rekan-rekan seiman Kristen di pengadilan kafir,
dikecam bukan atas dasar bahwa hakim yang kafir tidak mampu mengadili orang
Kristen, melainkan karena adanya kejanggalan jika orang kafir menengahi dua
orang Kristen yang sedang bertikai (1 Kor 6).
Cara
menjalankan kekuasaan adalah bagian dari keadilan. Harus ada pihak berkuasa dan
pihak bawahan, apakah itu dalam rumah tangga atau dalam pemerintahan negara.
Anak-anak harus menaati orang tuanya, hamba-hamba harus patuh kepada
tuan-tuannya (Kol 3:20 dst.), tiap warganegara harus tunduk pada pemerintahnya
(Rm 13:1). Dengan perkataan lain, hak kekuasaan tidak dipersoalkan. Namun,
kekuasaan itu harus dijalankan dengan adil. Kaum ayah jangan menyakiti hati
anak-anak mereka, hamba-hamba harus memperlakukan budak mereka dengan adil dan
jujur (Kol 3:21; 4:1). Karena kekuasaan mutlak datang dari Allah, maka
pelaksanaannya harus sesuai dengan sifat-Nya. Hal ini secara tidak langsung
dimengerti pada waktu diterapkan pada pemerintahan. Kalau pemerintah menetapkan
undang-undang yang bertentangan dengan suara hati orang Kristen, maka PB tidak
mengharuskan orang itu untuk menaatinya.[11]
Negara
berdiri seharusnya tidak untuk menandingi Allah. Warganegara Kristen wajib
setia kepada pemerintah (Rm 13:1 dst.) yang sah sesuai konstitusi dan hasil
Pemilu 2004, khususnya di Indonesia. Mereka harus berdoa untuk seluruh
pejabatnya (1 Tim 2:2), menteri-menteri dan petinggi-petinggi struktural maupun
fungsional, “agar kita dapat hidup dalam tenang dan tenteram”. Diakui bahwa
para pemimpin negara sebenarnya diangkat untuk menghukum para pelanggar dan
menghormati warga yang berbuat baik (1 Ptr 2:13): ini adalah dasar pemerintahan
yang baik. Namun, Alkitab mengakui bahwa tidak semua pemerintah itu baik, Kitab
Wahyu menggambarkan negara sebagai penanding umat Allah, sekutu musuh-Nya, “si
binatang” itu. Jelaslah diperlukan kebijaksanaan untuk menentukan batas-batas
kesetiaan kepada negaranya yang dapat diharapkan dari orang Kristen.
Tanggung
jawab kemasyarakatan erat hubungannya dengan masalah perpajakan. Yesus tidak
menolak membayar bea Bait Allah, walaupun Dia tidak wajib membayarnya (Mat
17:24 dst.). Paulus mencantumkan perintah khusus bagi orang-orang Kristen di
Roma untuk membayar pajak dengan alasan bahwa para pembesar yang mengurusnya
adalah pelayan-pelayan Allah (Rm 13:6-7). Tidak ada larangan pula bagi orang
Kristen untuk turut bekerja dalam jajaran penguasa atau berpolitik dalam arti
bahwa mereka adalah “pelayan Allah.”
Satu
hal yang belum disinggung dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan
bernegara adalah membudayakan pengampunan walau tidak bisa lepas dari
pendamaian, kekudusan, kebenaran dan keadilan. Sebagaimana kebanyakan orang
mempertanyakan tentang relevansi nasihat Yesus “untuk mengasihi musuhmu” dalam
kerangka nasional (Mat 5:43 dst.), demikian juga pengampunan yang diletakkan
dari segi yuridis (menyangkut kebenaran dan keadilan) maupun kualitas rohani
(pendamaian dan kekudusan). Memang Yesus berbicara tentang sikap pribadi, namun
karena suatu masyarakat terdiri atas pribadi-pribadi, maka tak diragukan lagi
bahwa kasih Kristen akan mengurangi pertikaian politik jika sejumlah besar
orang dalam masyarakat didorong olehnya. Pengampunan menjadi efektif bila
disadari oleh orang-orang Kristen bahwa mereka telah dibebaskan dan
dihapuskan utang sepuluh ribu talenta, dan amat mungkin untuk mengerjakan
itu terhadap sesamanya yang berutang seratus dinar (Mat 18:23-30).
Realita dari perumpamaan yang Yesus katakan memang berbalik, banyak orang
Kristen yang sulit mengampuni sesama orang percaya, juga orang lain dalam
kehidupan kebersamaan. Orang yang telah menerima pengampunan diharapkan secara ipso
facto (sendiri) harus melakukan pengampunan sebagai penghargaan terhadap
tuannya.[12]
Pengampunan
yang diberikan Allah sebagai “anugerah” kepada manusia yang tidak berdaya atas
kuasa dosa dan maut, harus dipahami pula dari segi hukum dimana “penggantian”
terjadi, pemenuhan hukum terlaksana, kebenaran dan keadilan tidak dikorbankan,
lebih dari itu Allah terpuaskan oleh kesempurnaan kurban Yesus Kristus. Manusia
dan tatarannya pasti tidak dapat mengerjakan itu. Namun dalam kelemahan dan
kekurangan yang ada, hukum-hukum insani tidak boleh menyimpang jauh dari
hukum-hukum ilahi. Hukum di Indonesia harus ditegakkan, sekali lagi kebenaran
dan keadilan berbicara lantang bukan sebagai komoditi perdagangan dalam
berbagai bentuk yang tidak bisa dikatakan “pengampunan”.
Hakim-hakim
yang berulah harus ditindak tegas, berbagai upeti dan dana siluman dari dan
bagi orang-orang tertentu, pastilah menyalahi kebenaran dan berada dalam
penghukuman. Pengampunan dapat dipahami dalam kesadaran penuh akan kesalahan,
rela berpaling dan meninggalkan kehidupan lama, tidak mementingkan diri tapi
peduli sesama, lapar dan haus akan Kebenaran. Tanpa arti di atas, kepalsuan
hidup terlihat dimana-mana bahkan manusia lebih menyukai kegelapan dari pada
terang (Yoh 3:19).
C. Kesimpulan
Kehidupan
baru bagi umat Kristen merupakan anugerah Allah di dalam Yesus Kristus.
Kerajaan Allah telah hadir dalam diri orang percaya, Allah memerintah atas
umat-Nya dan bekerja di dalam serta melalui mereka. Peran orang-orang Kristen
dalam kehidupan bergereja telah kedapatan begitu besar, bahkan memberi tekanan
miring pada denominasi tertentu ketimbang arti kesatuan tubuh Kristus
secara rohaniah.
Dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, nampak kekurangan di sana-sini meski untuk itu
gereja di utur. Kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pengampunan,
merupakan nilai-nilai kristiani yang melekat pada gereja sebagai kualitas
mutlak juga pembeda dengan yang duniawi. Gereja harus tampil mewakili Yesus
sebagai juruselamat bagi dunia, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam
konteks ini. Ia mesti berseru-seru seperti Yohanes Pembaptis atau Yesus yang
mengutusnya: “Bertobatlah, Kerajaan Allah sudah dekat!” (Mrk 1:4, 15), tanpa
lupa citra diri dan mengenakan busana kebenaran, keadilan, kekudusan,
pendamaian dan pegampunan.
Bangsa Indonesia
membutuhkan Terang dalam kegelapan alam demokrasi yang diperjuangkan pasca
Pemilu 2004. Dalam pemerintahan Allah (teokrasi) atas alam semesta, seluruh
umat manusia, bangsa-bangsa dan negara-negara, khususnya orang-orang percaya
yang masuk dalam Kerajaan-Nya meski tinggal di Indonesia, harus dapat melihat visi ilahi bagi bangsa
Indonesia. Allah pasti memerintah atas bumi Pertiwi dan anak-anak-Nya
seharusnya tahu bagaimana Ia melangsungkan pemerintahan-Nya di alam demokrasi
berbasis Pancasila dan UUD 1945.
Allah memakai
falsafah bangsa Indonesia untuk memayungi kebersamaan rakyat Indoensia yang
terintegrasi dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Kita harus mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dari gangguan dan ancaman yang bersifat
pribadi, golongan, atau ekspansi dan eksploitasi bangsa manapun dalam
batas-batas tertentu setidak-tidaknya tatanan moral, etik, dan spiritual yang
fundamental. Tanpa melemahkan panggilan ilahi untuk restorasi jiwa, budaya,
perilaku dan kehidupan berbangsa dan bernegara, orang-orang Kristen mesti
mendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
Pola atau
kebiasaan yang dihidupi orang-orang percaya (bukan lagi “cita-cita” untuk
membudayakan kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pengampunan) patut
diwariskan pada anak-cucu mereka. Mereka harus tahu bagaimana orang harus hidup
sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan
dasar kebenaran (1 Tim 3:15). Keturunan orang-orang percaya harus kokoh, tegar
dan kuat dalam Injil walau menghadapi berbagai cobaan, lalu bersamaan dengan
itu menularkan kebenaran, keadilan, kekudusan, pendamaian dan pengampunan yang
dialaminya. Pemberitaan tanpa perubahan dari dalam diri, kepemimpinan tanpa
teladan, beriman tanpa bertindak, kesemuanya itu tidak menambah karya pembangunan
masyarakat dan bangsa Indonesia justru kemunduran dan keterbelakangan. “Jika
garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya
selain dibuang dan diinjak orang” (Mat 5:13).
DAFTAR BACAAN
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2
Jakarta: Gunung Mulia, 1993
___ Teologi Perjanjian Baru. Jilid 3
Jakarta: Gunung Mulia, 1993
Sahetapy. J.E, “Demi Keadilan” bagian dari kumpulan penulis-penulis yang di
edit di bawah judul Keadilan dalam Kemajemukan
Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998
Majalah Gatra No. 49 Tahun Ke-X, Tanggal 23 Oktober 2004, tentang bursa
calon-calon menteri dengan tajuk “Berebut kursi modal reputasi”
Majalah Tempo edisi 4-10 Oktober 2004 dengan judul DPR Baru: Penyeimbang
atau Pengganjal
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia
Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995
Simatupang,T.B. Dari Revolusi ke Pembangunan.
Jakarta: Gunung
Mulia, 1987
[1] Lihat Majalah Gatra No. 49
Tahun Ke-X, Tanggal 23 Oktober 2004, tentang bursa calon-calon menteri dengan tajuk
“Berebut cursi modal reputasi” pada halaman 28-31.
[2] Bahasa opini dalam majalah
Tempo edisi 4-10 Oktober 2004 dengan judul DPR Baru: Penyeimbang atau
Pengganjal. Berita utama edisi tersebut juga membahas masalah di seputar DPR
baru dibawa pimpinan Agung Laksono sebagai Ketua DPR.
[3] Kutipan opini Majalah Tempo
bertajuk “Ujian Kepemimpinan Presiden Baru” , edisi 4-10 Oktober 2004 pada
halaman 24.
[4] Ibid., .65-76. Dengan keruwetan
masalah-masalah yang ada di Indonesia, reformasi di Indonesia akan membawa pada
demokrasi seperti di Filipina, Thailand atau Amerika Latin? Nampaknya masih menjadi tanda tanya besar
seperti pasca Pemilu 2004 yang diragukan akan mengantar Indonesia memasuki
babak baru yang lebih demokratis. Banyak penumpang gelap di berbagai bidang,
bahkan menjadi aktor-aktor dominan di lembaga “demokrasi”. Pola pemanfaatan
jalar-jalur dan prosedur demokrasi tampaknya menjadi modus utama para pembajak.
Dalam Pemilu 2004, yang berlangsung lebih demokratis ketimbang pemilu 1999,
lagi-lagi kita menyaksikan sejumlah tokoh lama yang masuk ke jajaran elite
partai, atau mendirikan partai baru untuk bertarung merebut dukungan publik.
Kelompok itu juga masuk dalam jeringan koalisi yang mendukung pencalonan
pemimpin nasional dalam pemilu presiden putaran kedua. Analisa ini
memperlihatkan kemungkinan konflik-konflik yang semakin besar di kemudian hari
antara koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan.
[5] Nasikun, Sistem Sosial
Indonesia (Jakarta: .Raja Grafindo Persada, 1995) 3-4.
[6] Ibid., 71-72.
[7] Donald Guthrie, Teologi
Perjanjian Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 1993) 3:298.
[8] T.B. Simatupang, Dari
Revolusi ke Pembangunan (Jakarta: Gunung Mulia, 1987) 268.
[9] J.E. Sahetapy, “Demi Keadilan”
sebagai bagian dari kumpulan penulis-penulis yang di edit di bawah judul Keadilan
dalam Kemajemukan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998) 291.
[10]
Ibid., 293.
[11]
Donald Guthrie, Teologi PB, 3: 308-309.
[12]
Donald Guthrie, Teologi PB (Jakarta: Gunung Mulia, 1993) 2:219-220.