Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 21 Mei 2012

Spiritualitas Kristen


 PENGEMBANGAN KARAKTER DAN SPIRITUALITAS KRISTEN MASA KINI
(Sebuah Tradisi yang Relevan bagi Masyarakat Kristen)
Pdt. Tjandra Tan, M.Th.
 
A.        Pendahuluan
            a.         Arti Karakter Spiritual Kristen
Karakter seseorang menyatakan siapa diri orang yang sebenarnya dibalik penampilan lahiriah yang memungkinkan untuk bersandiwara. Karakter tentulah berbeda spiritual, meskipun diletakkan dalam pembicaraan tentang kualitas hubungan pribadi dengan Tuhan. Namun, kedua hal ini tidak terpisahkan; Allah sangat menaruh perhatian pada karakter, dan pastilah ada sesuatu yang tidak beres bila seorang yang rohani tidak memiliki watak atau karakter yang baik.
Dalam tindakan yang lebih konkret, hubungan yang erat antara karakter dan kerohanian yang sehat akan menghasilkan hal-hal yang baik. Suatu perbuatan baik yang dikerjakan secara tetap dan terus menerus dilakukan sebagai kecenderungan batiniah dari karakter spiritual kristen yang benar. Ia tidak hanya secara kebetulan sekali-kali melakukan perbuatan yang baik. Ia selalu siap sedia untuk melakukan yang baik; ia terdorong untuk berbuat baik dalam berbagai macam situasi. Orang mulai mengandalkan karakter spiritual yang baik, sama seperti mereka yang mengharapkan perbuatan berbohong dan menipu dari karakter kedagingan seorang yang jahat. Tuhan Yesus berkata, “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka“ (Mat 7:20; 12:33-37).
Sifat yang baik pada zaman Yunani dapat memiliki arti “keunggulan, mutu yang baik” yang dalam katalogus Yunani ada empat hal utama didalamnya.[1] Pertama adalah kemampuan membedakan.       Jika kita tidak bisa membedakan apa yang sedang terjadi dalam suatu situasi, apa perasaan orang, dan apa yang penting, maka kita akan selalu mengambil keputusan yang keliru. Boleh dikata bahwa berbagai perselisihan moral yang terbesar pada setiap zaman bukanlah perselisihan dalam teori moral, tetapi pada kemampuan untuk membedakan masalah yang sebenarnya. Karakter spiritual yang baik merupakan inti nasihat Paulus yang berbunyi, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rm 12:2).
Sifat baik yang kedua adalah keberanian. Ini merupakan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan baik pada waktu keadaan kacau dan sulit. Karakter spiritual yang baik memiliki keberanian bekerja dengan baik pada saat pencobaan menimpa, dan keadaan tidak menyenangkan. Keberanian adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik sementara menghadapi ancaman dalam kehidupan, gangguan keamanan, tantangan masa depan, dan tuntutan pengorbanan atas sesuatu yang sangat dikasihi. Perjanjian Lama merupakan sebuah simfoni yang banyak variasinya mengenai tema keberanian.
Penguasaan diri merupakan sifat baik yang ketiga. Penguasaan diri ini berarti menguasai hidup kita sendiri. Artinya mengelola, mengendalikan, mampu mengatur segala sesuatu yang sedang terjadi didalam diri kita. Dengan pertolongan Roh Allah, karakter spiritual orang kristen yang telah menyerahkan hidupnya pada Kristus akan menguasai dirinya sedemikian rupa tanpa membiarkan keadaan, barang apa pun atau siapa pun yang menguasainya. Seperti karunia Roh lainnya, penguasaan diri perlu dilatih sebab jika tidak maka akan kehilangan karunia itu.
Sifat baik yang keempat adalah keadilan. Karakter spiritual orang kristen yang membuahkan keadilan selalu memutuskan untuk bertindak adil dan tidak memperlakukan seseorang berbeda dengan orang lain. Berarti juga harus menolak pertanyaan seperti, siapa yang paling besar pengaruhnya? Atau siapa yang paling banyak memberikan hadiah padaku? Para nabi menuntut keadilan, serta mengemukakan perkara Tuhan melawan Israel, “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan daripadamu; selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati dihadapan Allahmu? (Mikha 6:8).
Masih banyak sisi lain dibalik karakter spiritual kristen yang melibatkan karya Roh Kudus setelah lahir baru. Sebagian besar karakter spiritual kristen dapat dikatakan buah Roh (Gal 5:22-23), disamping hal lain seperti kejujuran dan kesediaan untuk mengadakan serta mempertahankan penyerahan hidup pada Kristus sebagai kebutuhan pokok yang tidak begitu mencolok dibandingkan dengan buah Roh.

            b.         Dinamika Kehidupan Spiritual Kristen
Spiritual kristen merupakan relasi antara pribadi yang utuh dengan Roh Allah yang meneguhkan pengakuan dan pernyataan perjanjiannya di dalam Yesus Kristus sebagai Jalan Kebenaran dan Hidup yang baru dimulai setelah pembebasan dari kuasa dosa dan maut.[2] Telah berjalan berabad-abad sejak berdirinya kekristenan sampai kini, bahwa kerohanian orang percaya tidak hanya ‘tindakan instan sekali selamanya oleh pekerjaan Roh Kudus’ yang menghasilkan pertobatan dan lahir baru. Kerohanian itu ibarat benih yang memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang dalam pengenalan akan Kristus sampai “kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef 4:13).
Roh Kudus –dengan memberi diri-Nya menjadi kehidupan rohani orang percaya, memungkinkan orang percaya itu mengalami kehidupan Kristus yang bangkit dalam dirhnya. Roh adalah Pencipta, Sumber dan Penata kekuatan sepanjang hidup dalam proses pertumbuhan spiritual, dan hanya dengan Roh maka orang percaya dapat memperoleh kemenangan melawan dosa. Roh melepaskan orang kudus dari belenggu ketergantungan mutlak pada hukum secara harfiah; Roh adalah Roh Kristus Pembebas, dan yang mengubah orang berdosa, yang menyesuaikannya dengan citra Kristus (2 Kor 3:17,18). Roh Kudus ialah Roh Kerajaan Allah yang mengutamakan kebenaran, damai sejahtera dan sukacita di atas makanan dan minuman (Rm 14:17). Di atas segala-galanya, Roh-lah sumber kasih kudus yang mengungguli iman dan pengharapan, yang paling pertama dan utama dalam daftar buah Roh hasil spontan dari pekerjaan-Nya (Gal 5:22,23). Dalam rangka itu maka karunia-Nya kepada gereja harus dihargai dan digunakan (1 Kor 12, 13). Roh-lah yang mempersatukan, dan apabila Ia membagikan karunia yang berbeda Ia berusaha memelihara kesatuan dalam ikatan damai sejahtera (Ef 4:3). Janganlah memadamkan Roh karena tidak bersandar pada-Nya, dan janganlah mendukakan-Nya dengan mengandalkan-Nya secara salah (1 Tes 5:19; Ef 4:30).[3]
Dinamika kehidupan spiritual Kristen oleh rasul Paulus diuraikan berkenaan langsung dengan peranan Roh Kudus dalam perkembangan watak kristiani. Roh yang melampaui batas-batas alamiah akan mendorong dan mengarahkan pada pertumbuhan rohani yang dinamis dan makin dewasa dalam pengenalan akan Yesus Kristus. Paulus sadar bahwa untuk perkembangan watak spiritual membutuhkan dorongan adikodrati dan hal ini nampak jelas dalam penggunaan istilah buah berbentuk tunggal (Gal 5:22) untuk memperlihatkan bahwa semua sifat yang disebutkannya merupakan suatu keseluruhan yang padu, yaitu suatu watak yang dipenuhi Roh.[4]

B.        PENGEMBANGAN KARAKTER SPIRITUAL KRISTEN
Melihat dinamika kebutuhan rohani yang tidak mungkin dibendung oleh manusia, apalagi Roh-Nya menghendaki semakin dalam dan diperkaya melalui pengalaman pribadi maupun komunal, tentulah amat disayangkan terjadinya penghambatan karena ketidakmengertian dan atau pembebasan spiritualitas tanpa kendali yang jelas. Daniel J. Adams mengatakan, “Unsur penting, tetapi yang sering dilalaikan dalam usaha teologia ialah pembentukan, pengertian dan praktik spiritualitas Kristen. Umat Kristen Asia sangat sensitif terhadap hal-hal rohani sebab itu merupakan bagian dari kemajemukan agama yang ada di Asia. Walau konteks Asia itu khas adanya, hal mencari bentuk-bentuk spiritual baru terdapat dalam masyarakat-masyarakat agama di seluruh dunia.”[5]
Spiritualitas Kristen harus diberi tempat yang memadai di kehidupan orang percaya dalam kerangka pertumbuhan dan pengembangan manusia batiniah yang sudah diselamatkan. Rasul Paulus menggunakan frase ho eso anthropos dalam dua cara yang berbeda: tentang manusia yang belum diselamatkan, dan manusia yang telah diselamatkan. Dalam Roma 7:22, “diri yang terdalam” digunakan sebagai sinonim “pikiran”, yang dapat menyetujui Hukum Allah dan ingin menaatinya, namun tidak berdaya melaksanakannya. Behm menjelaskan hal ini sebagai “sisi rohaniah manusia, atau manusia itu sendiri sepanjang ia berpikir, berkehendak, dan merasa”.[6] Dalam 2 Korintus 4:16, manusia batiniah dibedakan dengan “manusia lahiriah” –manusia sebagai pribadi duniawi yang akan binasa. Meskipun manusia lahiriah akan mati, manusia batiniah diperbarui setiap hari. Manusia batiniah adalah diri yang nyata, yang beralih dari tubuh daging ke tubuh kebangkitan. Dalam dua contoh ini, “manusia batiniah” merupakan diri yang esensial dan lebih tinggi, yang ditebus atau dapat ditebus, diciptakan untuk Allah dan melawan dosa.[7]
Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan kerohanian patulah diperhatikan dan itu tidak hanya bersifat personal, komunitas bersama antar orang percaya termasuk dalam bagian penting yang berpautan. Orang-orang yang telah percaya harus dimuridkan, diberi pengajaran rohani yang mendasar, berdisiplin diri, dilatih untuk optimalisasi karunia-karunia Rohani dan pelayanan, dan pada akhirnya dapat bersaksi kepada dunia.

a.         Pemuridan
Setiap pembaruan yang terjadi dalam sejarah gereja mempunyai tindakan lanjut dalam bentuk pemuridan bersama. Pengikut Wesley, misalnya, menyelenggarakan “pertemuan-pertemuan kelompok jemaat” (class meetings); para pengikut Pietist di Jerman pada abad 17 juga mengadakan kelompok-kelompok pendalaman Alkitab; dan gerakan-gerakan pembaruan dewasa ini juga mengadakan pertemuan-pertemuan kelompok kecil. Pemuridan bersama merupakan pertemuan orang-orang beriman, entah itu hubungan perseorangan ataupun dalam kelompok kecil dengan orang beriman lainnya, sehingga mereka dapat saling bertanggung jawab satu sama lain, saling membangun, dan saling mendorong bagi pertumbuhan iman bersama.
Gereja masa kini telah memasuki suatu zaman yang tidak tertib dengan semboyan-semboyan tidak tertulis “uruslah kepentinganmu sendiri”, “kerjakannlah menurut caramu”, dan “kalau rasanya benar, kerjakanlah.” Itu semua bukanlah pandangan yang terdapat dalam Alkitab. Kitab Suci mengajarkan bahwa “Kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain’ (Rm 12:5). Kita dibebani tanggung jawab, bukan hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada satu terhadap yang lain karena hubungan kita dengan Tuhan. Kita perlu terlibat dalam berbagai hubungan yang bertanggung jawab yang tidak hanya bergantung pada apa yang kita rasakan hari demi hari.
Saling membangun dan saling memberi dorongan merupakan aspek-aspek utama lainnya dari pemuridan bersama. Penulis kitab Ibrani menolong kita untuk melihat bagaimana kedua apek tersebut menolong kita untuk bertumbuh, “Nasihatilah seorang akan yang lain setiap hari, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini’, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar karena tipu daya dosa” (3:13). Ini menunjukkan bahwa jika kita tidak saling memberi dorongan dan saling membangun, kita sebenarnya akan ditipu oleh dosa.
Penulis Ibrani juga mengatakan, ”Marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihato” (10:24,25). Disini ada tercakup prinsip rohani dan prinsip alkitabiah yang mendasar. Allah telah menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kita memerlukan disiplin rohani, bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk hubungan satu sama lain. Allah bekerja dengan kuasa Roh-Nya bila kita berkumpul bersama-sama.

b.         Disiplin  Rohani
Tahap yang terpenting dalam kehidupan rohani jemaat di gereja adalah mengajar mereka untuk memiliki disiplin rohani yang kuat agar mereka menjadi umat Tuhan yang berkemenangan.  Disiplin rohani sebagai aplikasi akan kemampuan jemaat untuk taat kepada Allah dan FirmanNya sebagai orang-orang yang telah ditebus Kristus. Tujuan dari disiplin rohani yang dimiliki jemaat yaitu untuk membawa mereka hidup dalam pengenalan akan Kristus dengan baik.
Beberapa tahap pengajaran untuk jemaat dapat bertumbuh dalam disiplin rohani dengan pola dari II Petrus 1:5-7  yaitu:
1.      Menambah iman dengan kebajikan (virtue)
Kebajikan adalah tekad yang kuat untuk melaksanakan iman. (I Kor. 13:13) Gereja mengkonseling dan membimbing agar jemaat dapat melakukan iman dan perbuatan dengan baik. (kelompok konseling, kelompok doa yang saling menguatkan agar jemaat mempraktekan iman).
2.      Menambahkan kebajikan dengan pengetahuan (knowledge).
Pertumbuhan iman jemaat dapat terjadi dengan pengetahuan Firman Tuhan yang baik (Ef. 5:6). Program pemahaman Alkitab secara pribadi/saat teduh maupun kelompok dalam gereja.
3.      Menambahkan pengetahuan dengan penguasaan diri (temperance).
Penguasaan diri adalah bagian penting untuk menjadikan semua karunia dan talenta yang ada dapat dipakai bagi kemuliaan Tuhan (Gal. 5:23 -program kelompok doa dan kebaktian kesaksian).
4.      Menambahkan penguasan diri dengan kesabaran (patience).
Kesabaran atau ketekunan adalah sebagai unsur penting untuk dapat bertahan dalam masa yang sukar (I Tim. 1:12 -kebaktian-kebaktian untuk menguatkan iman dengan kesaksian dari jemaat-jemaat, ucapan syukur).
5.      Menambahkan kesabaran dengan kesalehan (godliness)
Kesalehan adalah hidup takut akan Tuhan yang teraplikasikan dalam pola hidup beriman dan beribadah (pelayanan diakonia dan pemberitaan Injil).
6.      Menambahkan kesalehan dengan kasih akan saudara-saudara (brotherly kindness).
Kesalehan yang murni adalah tidak membeda-bedakan saudara seiman, dan mendahului dalam memberi hormat (kebaktian keluarga dengan semua jemaat, doa antar keluarga).
7.      Menambahkan kasih akan saudara-saudara dengan kasih akan semua orang (charity). Jemaat menjadi berkat tidak hanya untuk gereja sendiri, tetapi bagi orang lain sebagai kesaksian murid Kristus yang telah diselamatkan (program diakonia, sekolah, klinik kesehatan).
c.         Ibadah

Ibadah dalam gereja terdiri dari kebaktian perorangan, bersama, secara berkelompok, dan seorang diri kepada Tuhan yang dinyatakan dengan penghormatan serta penaklukan diri kepada Dia yang sungguh-sungguh layak menerima semua itu. Ibadah yang benar harus di dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24) dengan pengertian bahwa:
“Dalam roh memiliki arti bahwa ibadah dapat dan harus dilakukan dimana dan kapan saja, karena roh tidak dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Ibadah itu berasal dari roh manusia (Ibr 4:12) yang tidak sekadar upacara gereja secara lahiriah, dan merupakan pengalaman seseorang dengan Allah dalam bentuk penghormatan atas penyataan diri-Nya melalui Yesus Kristus. Sedangkan di dalam kebenaran artinya sifat dari ibadah itu harus murni dan tidak berpura-pura dimana Allah sangat menentang ketidaktulusan dan kepalsuan (Yes 1:10-17; Mal 1:7-14; Mat 15:8,9).“ [8]

Adapun isi dari ibadah yang dipakai sebagai sarana untuk mengembangkan karakter spiritual Kristen yaitu:
1.    Firman Tuhan
Sarana Allah yang paling unggul untuk memperbarui umat-Nya menurut citra Kristus adalah firman-Nya (Yoh 17:17; bnd. II Tim 3:16-17), karena pengajaran firman adalah sentral dalam pekerjaan hamba-hamba-Nya (II Tim 4:2) sebagaimana terlihat dalam contoh Paulus sendiri (Kis 20:20-21). Sama seperti Roh Kudus menggunakan firman untuk membawa orang kepada iman dalam Kristus (Ef 1:13), begitu juga Ia memakainya untuk pengudusan (Ef 5:26-27).
Sejak awal gereja sangat memperhatikan pentingnya pengajaran atau doktrin (Kis 2:42) yang digunakan untuk membangun jemaat maupun dalam pemberitaan Injil (Kis 4:2; 13:5; 17:2). Dalam semua surat kiriman menunjukkan jenis pengajaran yang harus dibiasakan dalam gereja-gereja dan itu menyangkut semua aspek pengajaran doktrin dengan penerapan.
Mengenai pelayanan firman Tuhan, yang perlu diperhatikan hanyalah bahwa kutipan-kutipan dari Kitab Suci sering dipergunakan oleh Paulus dalam surat-suratnya mengisyaratkan bahwa para pembacanya yang bukan Yahudi sudah mengenal isi kitab LXX. Karena itu, cukup beralasan untuk menganggap bahwa pembacaan kitab Suci secara teratur merupakan suatu bagian penting dalam pertemuan-pertemuan ibadah kristen. Satu-satunya keterangan langsung mengenai hal ini adalah I Timotius 4:13, di situ Timotius didorong untuk “bertekun dalam membaca kitab-kitab suci, dalam membangun dan dalam mengajar”.
Tidak mungkin untuk mengatakan kapan waktunya dalam perkembangan ibadah kristen, bahan-bahan kristen yang lainnya (selain PL) dimasukkan ke dalam pembacaan umum. Paulus sendiri minta dengan sangat agar surat-suratnya dibacakan kepada orang-orang di dalam jemaat-jemaat yang dikirimi surat-suratnya itu (I Tes 5:27). Di samping itu ia meminta juga agar diadakan pertukaran surat-suratnya di antara jemaat-jemaat (Kol 4:16). Ia mengharapkan agar orang-orang kristen memegang ajaran-ajaran yang telah diajarkan oleh rasul-rasul, baik secara lisan maupun tertulis (II Tes 2:15). Ia tidak memberikan petunjuk tentang termasuknya ajaran-ajaran tentang kehidupan dan pengajaran Yesus, walaupun dalam I Timotius 5:18 nampaknya ia menggolongkan suatu ucapan Yesus (yang dicatat oleh Lukas) sebagai kitab suci. Kelihatannnya jemaat bukan hanya beribadah tetapi juga menangani tugas untuk menyampaikan kepada anggota-anggotanya suatu pegangan iman yang masuk akal, dengan cara pembacaan kitab Suci di depan umum dan pengajaran yang meliputi:
a.         Khotbah (Pemberitaan Firman)
Pembacaan dan penjelasan Alkitab oleh kuasa Roh Kudus mempunyai arti yang tak berhitung nilainya bagi pembaruan dan pertumbuhan umat Allah. Sesungguhnya kehidupan gereja setempat bergandengan dengan penjelasan firman yang ditrimanya, dalam hal ini khotbah-khotbah yang mengupas ajaran Alkitab dan menerapkannya secara relevan.
b.         Penelaahan Alkitab secara Pribadi
Orang kristen yang teguh harus belajar disiplin untuk menelaah Alkitab setiap hari secara pribadi sebagai cara pertumbuhan rohani yang nyata dan diberkati Tuhan. Membaca dan merenungkan firman Tuhan secara pribadi dapat membawa berkat-berkat yang tak terhitung banyaknya.
Sikap yang benar terhadap Alkitab perlu diperhatikan pada bagian-bagian yang dipelajari tanpa lepas konteks walau sewaktu-waktu Allah membuat firman-Nya menjadi luar biasa relevan saat keadaan khusus. Seluruh Alkitab adalah firman Allah untuk manusia sepanjang waktu dan kebenaran yang terkandung di dalam setiap ayat adalah bagian dari seluruh kebenaran dalam konteks alkitabiah dan teologis. Prinsip-prinsip penafsiran yang tepat harus dipakai dalam usaha pribadi untuk mengerti Alkitab, bukan hanya dalam usaha di depan umum.
Ada anggapan yang tidak benar bahwa kita layak menerima berkat Tuhan karena sudah memenuhi kewajiban sehari-hari untuk belajar Alkitab atau sebaliknya merasa bersalah di hari ini karena tidak sempat mempelajari Alkitab. Untuk itu perlu di ingat akan Allah yang berdaulat dalam kemuliaan tidak bergantung pada usaha kita yang lemah. Dia sanggup memberlakukan maksud-Nya untuk melindungi dan memberkati menurut kemurahanNya, akan tetapi mempelajari firman Allah setiap hari merupakan kebiasaan yang tak ternilai manfaatnya.
c.         Penelaahan Alkitab Berkelompok
Penelaahan Alkitab dalam kelompok informal (Kis 17:11) mempunyai peran penting dalam pertumbuhan gereja. Dalam penelaahan kelompok perlu adanya kepemimpinan yang tangguh dan keuletan untuk menghindari kecenderungan penyimpangan dari pokok pembicaraan, menonjolkan pendapat sendiri, atau tukar menukar kesaksian yang tidak jelas hubungannya dengan bagian Alkitab yang sedang dipelajari.[9]

2.         Pengakuan Iman
Memikirkan tentang pentingnya pengakuan-pengakuan iman yang dipergunakan jemaat mula-mula akan mempengaruhi bentuk jemaat-jemaat di kemudian hari. Paulus sendiri mengakui “Yesus sebagai Tuhan” (Rm 10:9; Flp 2:11) dan mengakui adanya suatu kumpulan tradisi kristen. Ia menyatakan sendiri telah menerima penjelasan yang diberitakan kepadanya (I Kor 15:1 dst.) dan bahwa orang-orang kristen di Roma telah menerima suatu “pengajaran yang diteruskan kepadamu” yang mereka taati (Rm 6:17). Ia mendorong orang-orang Filipi untuk “berpegang pada firman kehidupan” (Flp 2:16). Pengungkapan-pengungkapan yang bermacam ini tentu telah menunjuk pada suatu kumpulan ajaran kristen yang umum diakui dalam jemaat-jemaat.  Karena itu, tidaklah mengherankan apabila ditemukan istilah-istilah “memelihara iman” atau “contoh ajaran yang sehat” dalam surat-surat penggembalaan. Terdapat juga banyak contoh tentang cara Paulus menggunakan ungkapan “iman”, dengan memaksudkan lebih daripada hal percaya saja (misalnya Flp 1:27; Ef 3:5; Kol 2:6,7). Hal yang sama dapat dikatakan juga mengenai ungkapan “kebenaran” (misalnya 1:5; II Tes 2:12).
Dengan jelas Paulus memperhatikan bahwa jemaat-jemaat Kristen bukan hanya harus mengetahui, tetapi juga harus tetap mempertahankan dasar dari penyerahan mereka sebagai orang kristen. Terdapat suatu keadaan yang dapat disebut “injilku”, sebagai perbandingan dengan segala injil lain yang dianggap khilaf (bnd. Gal 1:18) sehingga timbul pendapat tentang tradisi yang ditulis dalam I Korintus 15:3 dst. adalah suatu pengakuan iman kristen yang mendasar, sebagai pengukur bagi ajaran yang bersifat kristen dan yang bukan. Dengan kata lain, penekanan ialah kematian dan kebangkitan Kristus dan penafsiran kematian itu “sesuai dengan Kitab Suci”. Kita dapat menarik kesimpulan bahwa suatu bentuk pernyataan iman pada zaman dahulu telah diterima oleh Paulus sebagai dasar yang otentik bagi keanggotaan dalam jemaat-jemaat yang berkembang.
3.         Doa
Dalam Perjanjian Lama terdapat sejumlah besar contoh tentang Allah yang memberkati bangsa-Nya sebagai jawaban atas doa mereka (Kej 18:16-33; Kel 3:7-10; Bil 21:4-10; Bil 21:4-9; I Raj 18:20-39; Neh 1:1-11). Lagi pula doa diberikan tempat yang sangat penting dan teratur dalam pelayanan Yesus (Luk 3:21; 5:16; 9:28-29; Ibr 5:7) dan murid-murid dengan tekun mengikuti teladan-Nya baik secara bersama maupun secara individual (Kis 1:14; 2:42; 4:4-6, 23-31; Ef 1:16; Flp 4). Yesus tidak hanya memberi contoh. Ia juga mengajar murid-murid untuk selalu berdoa dan juga tentang bagaimana melakukannya (Mat 5:44; Luk 1:1-13; 18:1-8).
Doa dilakukan secara perorangan maupun bersama-sama (Kis 4:24; 6:4; 10:9; I Tim 2:1-8). Pentingnya doa nampak dalam pertemuan-pertemuan jemaat-jemaat Kristen dan Paulus sendiri memasukkan banyak doa ke dalam surat-suratnya. Ia memperhatikan doa mengenai keperluan-keperluaannya sendiri (2 Kor 12:8) dan mengakui nilai dari doa bersama. Orang-orang Kristen dapat digambarkan sebagai “semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita” (1 Kor 1:2). Doa Paulus sendiri dalam Efesus 1:3-14 dapat diambil sebagai contoh yang menggambarkan isi doa-doa dari orang-orang Kristen mula-mula, dan memang bukanlah tidak mungkin bahwa ia mengulang bahasa yang telah dikenalnya melalui pengalaman yang nyata dari ibadah yang dilakukan dalam jemaat. Dalam penyembahannya kepada Allah, ia memperkenalkan beberapa gagasan teologis yang dalam, yang mengingatkan kita bahwa doa orang-orang Kristen tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip iman Kristen. Jemaat di Kolose didorong untuk terus berdoa, secara khusus bagi Paulus dan orang-orang yang membantunya (Kol 4:2; bnd.juga 1 Tes 5:25).
Salah satu segi doa yang dikemukakan oleh Paulus adalah pentingnya “mengucap syukur”. Ia memberikan contoh dalam doa-doanya sendiri dan mendorong agar para pembaca suratnya melakukan hal yang sama (Kol 4:2; Flp 4:6; bnd.1 Kor 14:16).
4.         Puji-pujian
Perjanjian Baru menekankan pujian perorangan maupun bersama sebagai salah satu sisi ibadah. Kalau ada seseorang yang berbahagia biarlah ia menyanyi (Yak 5:13). Paulus dan Silas menyanyikan kidung pujian di dalam penjara (Kis 16:25). Menyanyi juga merupakan bagian dalam ibadah umum (I Kor 14:26; Kol 3:16). Walaupun ada perbedaan antara mazmur, pujian, dan nyanyian rohani, namun perbedaan itu tidak untuk dipertahankan secara kaku. Mazmur mungkin dimaksudkan mazmur dalam Perjanjian Lama, walau mungkin mendapat tambahan dari jemaat. Pujian dapat disampaikan langsung kepada Allah (namun mungkin juga menggunakan mazmur, Kis 16:25). Nyanyian rohani mungkin mencakup berbagai tema yang lebih luas. Musik merupakan bagian yang penting dalam ibadah di banyak gereja masa kini.
5.         Persembahan
Perjanjian Baru lebih banyak membicarakan soal persembahan dibandingkan dengan aspek lainnya dalam kehidupan gereja. Memberi kepada orang lain merupakan bukti kasih seseorang terhadap Allah (Yak 2:15-17; I Yoh 3:17,18). Hal itu harus berasal dari kehidupan yang terlebih dahulu telah dipersembahkan kepada Dia (II Kor 8:5), harus dilakukan dengan sukarela (ay 11, 12; 9:7), dengan bebas sekalipun dalam kekurangan (ayat 12), dengan sukacita (9:7), dan sesuai dengan ukuran kemakmuran yang diberikan Allah (I Kor 16:2).
6.         Persekutuan
Jemaat mula-mula terus bersekutu (Kis 2:42) dalam keeratan yang mendalam diantara sesama anggota jemaat karena ketekunan dalam pengajaran, kemauan untuk saling membagi harta milik, pengalaman persekutuan dalam perjamuan Tuhan dan saling mendoakan.

d.         Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus
Sakramen (Lat.sacramentum) secara secara sederhana dapat disebut “ungkapan lahir dan nyata dari anugerah batin dan tidak nyata.” (Katekismus gereja Anglikan). Istilah ini dibatasi pada perintah Kristus yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus.
Tiga unsur utama dalam sakramen yaitu tanda, anugerah dan hubungan antara kedua-duanya. Tanda yang dilihat berupa air pada baptisan dan roti serta anggur pada perjamuan kudus. Anugerah yang tidak dilihat berupa jaminan/pemateraian anugerah bagi orang percaya. Dalam hal baptisan, anugerah ini adalah “pemandian kelahiran kembali” (Tit 3:5), pengampunan dosa (Kis 2:28), penyatuan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan (Rm 6:1) serta keanggotaan dalam tubuh Kristus (I Kor 12:12). Dalam hal perjamuan kudus, anugerah adalah penerimaan manfaat pengurbanan Kristus (I Kor 10:16), semacam makanan rohani dari tubuh Kristus (I Kor 11:24) dan persekutuan dengan umat Allah (I Kor 10:17).
Ayat-ayat utama yang menyatakan bahwa Kristus menetapkan baptisan dan perjamuan kudus juga menyebut hal mengajar (Mat 28:20) dan memberitakan (I Kor 11:26). Sakramen-sakramen tersebut adalah sakramen Injil, yang menunjuk kepada Kristus, kematian dan kebangkitan-Nya bagi orang berdosa. Para reformis ketika mengoreksi penyalahgunaan sakramen oleh gereja yang bersifat takhyul dan menekankan perlunya memberitakan firman pada waktu melaksanakan sakramen. Mereka mendukung Agustinus yang melukiskan sakramen sebagai “kata-kata Allah yang nyata.” Ini prinsip yang penting, karena hanya dalam terang firman sakramen itu dapat berperan secara tepat, yaitu sebagai penegasan dan dukungan yang mengantar kepada Kristus dan menegaskan iman kepada Dia.[10] Louis Berkof melihatnya sebagai alat-alat anugerah dalam arti khusus bagi orang percaya, yang bermanfaat bagi pengembangan spiritual dari tindakan Roh Kudus, secara terus menerus dikerjakan-Nya di hati kita melalui pemberitaan Injil yang kudus dan meneguhkannya melalui pemakaian sakramen yang kudus, dan merupakan sarana resmi dari Gereja Yesus Kristus.[11]

C.        PENUTUP
Tuhan menghendaki semua orang percaya untuk menghasilkan buah sesuai dengan pertobatannya, “Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api” (Luk 3:8,9). Rohani yang bertumbuh menjadi perhatian yang serius baik secara pribadi maupun kehidupan bersama saudara seiman. Berbahagialah Jemaat yang didapati Allah menang dalam pertandingan iman dan tetap setia kepadaNya (Why 2:10-11).


DAFTAR PUSTAKA


Adams,Daniel J. Teologi Lintas Budaya -Refleksi Barat di Asia
Jakarta: Gunung Mulia, 1992

Berkhof, Louis. Teologi Sistematika. Vol.5.
Surabaya: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997.

Guthrie, Donald . Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2
 Jakarta: Gunung Mulia, 1993.

____. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 3
Jakarta: Gunung Mulia, 1993.


Milne, Bruce. Mengenali Kebenaran.
Jakarta: Gunung Mulia, 1993.


Ryrie, Charles C. Teologi Dasar. Vol.2.
Yogyakarta: Andi, 1992.

J.Behm, Theological Dictionary of the New Testament. Vol. II
Grand Rapids: William B.Eerdmans, 1985

Ladd,George E. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2
Bandung: Kalam Hidup, 1999

Smedes, Lewis. Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen
Malang: Gandum Mas, 1990

J.D.Dauglas,ed. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini . Jilid 2 M-Z
Jakarta: Bina Kasih, 2000

Ferguson, Sinclair B & Wright, David F (editor). New Dictionary of Theology.
England: Inter-Varsity, 1997.



[1] Pokok pikiran yang diambil dari karya Lewis Smedes “Sifat-sifat Moral yang Mendasar” Penerapan Praktis Pola Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas, 1990) 736-737
[2] Topik tentang Spiritualitas merupakan mode masa kini yang oleh Giovanni Scaramelli (1687-1752) dari Society of Jesus bahwa pengetahuan kehidupan spiritual meliputi asketik dan mistik. Definisi spiritual Kristen di ambil dari “New Dictionary of Theology” yang editornya adalah Sinclair B.Ferguson dan David F.Wright.
[3] J.D.Dauglas,ed. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini ( Jakarta: Bina Kasih, 2000) 2:320-321
[4] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru ( Jakarta: Gunung Mulia, 1993 ) 2:197-198.
[5] Daniel J.Adams, Teologi Lintas Budaya -Refleksi Barat di Asia    ( Jakarta:.Gunung Mulia, 1992) 24.
[6] J.Behm, Theological Dictionary of the New Testament ( Grand Rapids: William B.Eerdmans, 1985) 2:699
[7] George E.Ladd, Teologi Perjanjian Baru (Bandung: Kalam Hidup, 1999) 2:243
[8] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar  (Yogyakarta: Andi, 1992) 2: 234
[9] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran ( Jakarta: Gunung Mulia, 1993 ) 316-317
[10] Ibid, 319
[11] Louis Berkhof, Teologi Sistematika ( Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1997 ) 5:103-104.