Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 04 Februari 2013

Teologi Perjanjian Lama


RESENSI BUKU 
TEOLOGI PERJANJIAN LAMA
Karangan Prof. Dr. Christoph Barth
(Pdt.Tjandra Tan, M.Th)


A.                Pengantar

Christoph Barth (1917-1986) adalah anak dari Karl Barth yang telah menyelesaikan studi di Basel dan Leiden untuk gelar Doktor Teologianya pada tahun 1947. Sebagai tenaga pengajar yang berpengalaman di berbagai Sekolah Teologia di Indonesia, beliau mengembangkan bahan perkuliahan yang diajarkan pada mahasiswa menjadi buku Teologi Perjanjian Lama.
Buku Teologia Perjanjian Lama yang di tulis dalam bahasa Indonesia itu terbagi dalam empat jilid dan telah melalui rentangan waktu panjang. Edisi perdana buku Teologia PL jilid 1, diterbitkan oleh BPK.Gunung Mulia tahun 1970; dua belas tahun kemudian baru muncul jilid 2 (1982); tahun 1985 jilid 3; dan dengan harapan besar dapat menyelesaikan jilid 4 walau dalam bentuk ‘draft ‘ yang pada akhirnya dirampungkan sang istri, Marie-Claire Barth-Frommel, pada tahun 1988 setelah dia meninggal.
Keempat jilid Teologia Perjanjian Lama telah rampung dengan segala kerumitan, dinamika pergumulan dan perjuang penulis, kerinduan yang dipenuhi pada Sekolah-sekolah Teologia sampai masa kini, meskipun penuh kontroversial dalam bentuk dan isi. Pembacaan secara cepat tidaklah memadai untuk mengenal isi atau inti pikiran penulis, paling tidak ada beberapa pendekatan yang telah dipegang dan diakui penulis dimana kemudian mulai di bangun serta dikembangkan sedemikian rupa. Pembacaan, analisa, internalisasi dalam bentuk pemahaman yang tidak lepas dari penafsiran pembaca, mau tidak mau akan nampak dalam resensi buku ini. Harapan penulis kiranya makin mendekati ‘kebenaran’ sebagaimana yang dituliskan penulis kitab-kitab PL.
Karena argumentasi pendekatan yang dipakai penulis tidak berubah, pembaca akan meresensi keempat jilid buku Teologia Perjanjian Lama dalam satu kesatuan, bukan satu per satu. Memang ada kelemahan berdasarkan rentangan waktu yang sangat panjang dalam penulisan, penambahan dan atau pengurangan pengetahuan dari segi usia, faktor pemikiran yang terus mengalami perubahan, dan lagi kelemahan-kelemahan badani lainnya; namun paling tidak ada “parameter” yang diungkapkan penulis secara jujur (tentang konsistensinya menjadi tugas pengamatan pembaca) dimana dapat dipakai oleh siapapun. Dengan berpijak dari “parameter” penulis, resensi akan melangkah tahap demi tahap, kemudian akan diakhiri dalam sebuah kesimpulan.

B.                 Pokok Bahasan

1.      Bentuk Penulisan

Ada keruwetan di sepanjang penulisan Teologia Perjanjian Lama; khususnya jilid 1 dan makin berkurang sesudah itu, yang ingin diungkapkan penulis tentang kesukaran-kesukaran dari segi perjalanan historis (sampai abad 19 baru serius studi Theologia PL; Jilid I hlm.17), membangun dan menggunakan pendekatan lewat keteganggan era, pengakuan-pengakuan (Credo) yang perlu dicermati, masalah teks dan konteks, belum termasuk lagi relevansi dan aplikatif di balik terang Perjanjian Lama (Jilid I; hlm.13-15). Diantara keragaman masalah dalam Teologia PL, penulis memberi perhatian bagaimana menata-ulang kejadian-kejadian historis secara kronologis dibalik teks yang tidak mesti berasal dari satu sumber dan berupaya sedekat mungkin sampai pada pemahaman semula.
Konsentrasi pada penataulangan peristiwa historis, mau tidak mau terjadi pembongkaran dan pemasangan ulang yang dianggap tepat oleh penulis. Alur penulisan secara acak ditemui di sepanjang tulisan. Boleh dikata ketika penulis mengingat sesuatu maka ia mengajak pembaca berhenti sejenak sebelum melanjutkan pembicaraan, memberi keterangan atau informasi baru/tambahan, lalu disambung kembali mengikuti judul atau sub judul yang diberi tekanan khusus (Jilid I, hlm. 214; Jilid II, hlm.20; Jilid III, hlm.28,39; Jilid IV, hlm.10-12).
Tidak ada pola yang baku dalam bentuk penulisan; sesekali nampak seperti kajian historis dengan komparasi interkultur dan agama, mirip narasi ulang yang disertai beberapa komentar, dan bagian tertentu seperti eksposisi kitab-kitab PL (jilid III dan IV lebih mengarah kesana). Agak membigungkan bila membaca pertopik atau tema-tema yang dimunculkan; selain tidak menggunakan metode tematis, penulis mencampurkan beberapa bahan dari dalam dan luar teks alkitab menjadi bersinggungan walau bukan inti berita. Selingan-selingan itu sering muncul agak mendekati topik yang ingin disampaikan namun tidak sedikit ada yang cukup jauh keterkaitannya.
Dapat dimengerti permasalahan yang dikatakan diatas, karena bentuk penulisan yang sebelumnya dipakai sebagai bahan kuliah, kemudian hari menjadi buku pegangan umum. Ada perbedaan mendasar antara bahan yang dikonsumsi mahasiswa thelogia dengan masyarakat awam. Penulis mengalamatkan (tepatnya mengharapkan) tulisan tangannya kepada jemaat atau pembaca luas (jilid I, hlm.8), namun sayang tidak diubah bentuk penulisan yang berorientasi non akademik / diluar tembok pembatas Sekolah Alkitab atau Seminari.  Kesulitan ini tidak dapat dipungkiri bukan hanya bagi umat Kristen awam, para mahasiswa theologia sendiri mengalaminya.
Sukar mendaratkan pemikiran penulis dalam alam PB boleh dikata hampir murni bentuk tulisan PL, tanpa terang PB untuk menghasilkan Theologia PL. Meskipun tulisan akhir dari jilid IV berupaya menjembati kedua Perjanjian (hlm.143-146) sebagaimana yang diharapkan penulis dalam jilid II halaman 5, nampaknya sudah terlalu lebar jurang pemisah yang tidak dapat diatasi hanya dengan tiga halaman saja. Kemungkinan besar bentuk tulisan akhir tersebut mengarah pada sumbangsih istri (Marie Claire Barth -Frommel) dalam menggenapi amanat suami yang telah meninggal.
Bila studi Theologia PL hanya menggunakan bahan-bahan PL, dapat diramalkan bentuk tulisan penulis yang sulit menjembati PB apalagi dikatakan berguna bagi umat Kristen dan Katolik di Indonesia (jilid I, hlm.8) dari segi relevansi maupun kegunaannya. Pastilah berguna bagi penambahan pengetahuan, memperkaya kazanah pola berpikir kritis, mengenal salah satu pendekatan yang dapat dipakai dalam studi PL, namun demi pengembangan iman dan spiritual perlu ekstra hati-hati. Penulis sendiri mengatakan mungkin tulisannya dapat dianggap berbahaya (jilid I, hlm.8) entah disadari atau tidak.
Memang terasa begitu aneh ketika penulis mengatakan kesatuan, ketakterpisahan, keunikan antara PL dan PB (pada awal bukunya; jilid I, hlm.13-14) bila tanpa melihat kedalaman isi dan maksud dibalik setiap konklusi. Tidak mungkin bila dua pernyataan negatif yang saling berhubungan akan menghasilkan kesimpulan positif. Bentuk penulisan dalam hukum logika (Silogisme) menghasilkan demikian (jilid I, hlm.36; bnd.hlm.54, 72-73, dst):
Premis mayor:       “Tubir-raya/samudra” adalah terjemahan kita untuk bahasa Ibrani ‘tehom’, suatu sebutan dari kesusastraan lama yang mungkin pernah menjadi nama makhluk raksasa, atau malahan nama suatu dewi (Tiamat di Mesopotamia)”.
Premis minor:        “Umat Israel teringat kepada cerita-cerita kuno mengenai binatang-binatang raksasa yang buas, cerita-cerita dan mite-mite yang diwarisi dari nenek moyangnya sendiri ataupun dari bangsa-bangsa tetangganya.”
Konklusi penulis:  “Umat Israel tak berkeberatan memakai bahan-bahan dari cerita kuno bangsa-bangsa asing sebagai ‘alat’ untuk kesaksiannya sendiri, asalkan Pemenang di dalam pertempuran raksasa ini adalah benar-benar Allahnya orang Israel, dan bukan dewa-dewa sembahan bangsa-bangsa itu”.
Bangsa Israel (premis minor negatif) merupakan bagian dari bangsa-bangsa yang tinggal di Mesopotamia (premis mayor negatif) yang mewarisi cerita-cerita kuno mengenai makhluk raksasa (konklusi tidak mungkin positif). Kesimpulan negatif tidak memungkinkan umat Israel tampil begitu istimewa, unggul, pilihan Allah, yang sebenarnya sama seperti bangsa-bangsa lain hanya kali ini “Allah Israel” menjadi Pemenang. Ilah-ilah bangsa lain juga adalah Pemenang bagi mereka.
Bentuk tulisan yang menyesatkan menurut kaidah logika[1] makin menjadi-jadi tatkala berbicara tentang “penyataan”. Apakah yang dimaksud penulis dengan penyataan Allah (jilid I, hlm.102, 105, 106):
Premis mayor:       “Allah menyatakan diri pada waktu Keluaran dari Mesir (Bab III), dan di dalam pokok Gunung Sinai pun terdapat segi penyataan ilahi (Bab V),… kita menyaksikan kesatuan Allah di dalam segala perbuatanNya dan di dalam segala penyataan diriNya; kita hanya menekankan kekayaanNya yang membuka segi-segi baru yang mengajaibkan, setiap kali Ia bertindak.”
Premis minor:        “Daripada mengatakan “Allah menyatakan diri”, seharusnyalah mengatakan ‘Allah menampakkan diri’ atau ‘memperlihatkan diri’. Justru disinilah mulai menyimpang suara-suara para pengarang itu satu sama lain (paragraf terakhir).”
Konklusi penulis:  “Kemungkinan-kemungkinan yang telah kita daftarkan ini dapat diatur menurut “aliran-aliran” atau “golongan-golongan” pengarang, yang suka mempergunakan cara bercerita yang ini atau yang itu.”

Ada kontradiksi antara premis mayor yang benar dengan premis minor yang benar dan salah (kaidah logika tidak mengizinkan adanya alternatif), kemudian menghasilkan “bisa diatur”. Bila kesatuan dalam penyataan Allah dipertahankan (premis mayor) dan ‘Allah yang menampakkan diri atau memperlihatkan diri’ itu benar (premis minor), maka konklusinya pengarang mendapat penyataan Allah dan itu tidak mempersoalkan ‘aliran-aliran’ atau ‘golongan-golongan’.
Permasalahan bentuk tulisan memiliki dampak yang berarti bagi pembaca yang mengira bahwa penulis “injili” atau “liberal”. Hal ini bisa membinggungkan dalam pengamatan, namun setidaknya dari kaidah logika sudah tentulah menyesatkan. Dalam analisa isi tulisan penulis, barulah kita mengetahui dasar theologia PL yang dibangun dan dikembangkan sedemikian rupa hingga melampaui batas-batas kepercayaan tradisional terhadap Alkitab.

2.      Metodologi Penulisan

Penulis dengan terang-terangan menyebut nama Gerhard von Rad yang mempengaruhinya dalam penulisan Theologia Perjanjian Lama (Jilid I, hlm.19; II, hlm.13; III, hlm.49). Gerhard von Rad memakai pendekatan diakronis[2] dalam dua volume bukunya “Old Testament Theology” yang mewakili pemikiran kritis modern. Metode diakronis itu sendiri telah mengalami kemajuan dimana G. von Rad telah mempelajari dan mengembangkannya.[3]
Christoph Barth nampaknya telah mengritisi karya Von Rad dalam tulisannya “Grundprobleme einer Theologie des AT,” EvTh,23 (1963), 342-372. Meskipun bukan kali pertama dari beberapa sajana Perjanjian Lama yang meninjau dan membicarakan masalah yang diajukan Von Rad (Hasel, Teologi PL (terj), hlm.74, dibawah catatan kaki), namun paling tidak beliau telah memahami dan memodifikasi.
Bila Astruc (1753) yang mengemukakan teori “Documentary Hypothesis” dalam kitab-kitab Pentateuch yang memuat beberapa sumber dokumen, lalu Eichorn (1780-) yang memperjelas sumber yang dimaksud adalah Jehovah dan Elohim. Sudah dapat di kira bahwa Ilgen (1798), DeWette (1805), Hupfield (1853) dalam “Modified Documentary Hypothesis”, Graf (1860) dan puncaknya Wellhausen (1876),[4] akan tergoda untuk menelusuri masalah sumber (source criticism).


3.      Analisis Isi

Bila Gerhald von Rad menekankan ‘kerygmatis’ dalam PL yang digali untuk membangun theologianya, seperti istilah “logos” yang memiliki arti berbeda bagi kalangan Yunani dengan pemahaman Israel[5], nampaknya demikian juga berusaha dilakukan Christoph Barth walau terjadi perubahan-perubahan. Pendekatan sejarah agama-agama disekitar bangsa Israel, mendapat perhatian lebih guna memahami konteks yang terjadi.
Bahasa personifikasi dari orang-orang Mesir dikaitkan dengan penciptaan manusia dan binatang-binatang (jilid I,hlm.34), nama dewi ‘Tiamat’ dari Mesopotamia berhubungan dengan “kekacauan” (jilid I, hlm.36), Raja Hammurabi yang memerintah Sumer dan Akkad di kota Babel dengan kata-kata bijaknya yang mendekati hukum-hukum Israel (jilid II, hlm.89), kesemuanya merupakan contoh agama-agama non Yahudi yang sedikit-banyak mempengaruhi atau bahkan sering kedapatan diadopsi bangsa Israel. Segala upaya yang mengarah pada arti mendasar (original meaning) dikerjakan penulis sedemikian rupa walau mendekati kerawanan.
Penelitian yang rumit untuk menemukan, mengumpulkan, dan menempatkan secara berurut tradisi-tradisi bangsa Israel seperti Priestly, Elohistis, Jahwehistis, dan Deuteronomistis, mau tidak mau dibawa sampai ke zaman raja-raja bahkan beberapa teks kitab-kitab nabi-nabi PL diselidiki dan kedapatan sangat dipengaruhi tradisi-tradisi tersebut. Kisah Penciptaan mendominasi campuran tradisi-tradisi tersebut yang membuat kabur arti penyataan Allah. Analogi penciptaan yang ‘belum berbentuk dan kosong’ dengan keadaan padang gurun dalam peristiwa Keluaran (jilid I, hlm.36), memberi arti bahwa seakan-akan Allah menginspirasikan kepada ‘para penulis’ Pentateukh dengan latar-belakang kehidupan umat yang telah melalui padang gurun. Penyataan Allah melalui historisitas penulis, dan tanpa itu Allah tidak menyingkapkan sesuatu yang pada akhirnya tidak memberikan arti atau makna, sangat kental diseluruh karya penulis. Pengalaman riil penulis harus dimasukkan dalam pengembangan teologis (jilid III, hlm.30).
Sesuatu yang baru, yang datangnya dari Allah, nampak begitu sukar diterima. Ada kesejajaran cerita diantara agama-agama Timur Dekat Kuno dengan agama Israel walau memuat kandungan yang berbeda. Pengalaman sebelum dan sesudah tinggal di tanah Kanaan, memberi pelajaran yang berharga tentang keterlibatan Allah dalam sejarah Israel tanpa mengesampingkan tradisi Jahwehistis, Elohistis, Deuteronomistis, dan Priestly yang dipegang teguh penulis. Tradisi tertua adalah Jahwehistis dan Elohistis, sumber Imamat (Priestly) mengutip dan mengolah rumus-rumus yang tua pada zaman sesudah pembuangan, sedangkan tradisi Deuteronomistis merupakan hasil penggumpulan contoh-contoh penggunaan sebuah rumus ucapan dengan pelbagai variasi yang berfungsi sebagai penyadaran umat Yahudi sejak zaman pembuangan (Jilid II, hlm.36).
Dengan asumsi demikian, sudah tentu terdapat perbedaan diantara kalangan ‘historisisme’ atau paling tidak pendekatan ‘diakronis’ yang dipakai. Bila dibandingkan dengan Gerhard von Rad, perbedaan itu nampak begitu jauh dari segi kronologis histories, tradisi ‘kerugmatis’ yang dimaksud, isi berita yang berusaha disampaikan dari penulis PL melalui mereka yang menafsirkan. Misalnya, dalam tulisan von Rad, kitab Rut merupakan bagian dari tradisi Jahwehistis yang disejajarkan dengan kisah Yusuf di Kitab Kejadian 45:5-8 ( Rad, Vol I, hlm.52 ); berbeda dengan Barth yang menempatkannya sejajar dengan Trito-Yesaya, Yunus, Yoel dan Maleakhi (Tradisi Deuteronomistis, Jilid IV,hlm.122). Lain dari itu, Barth berhenti sampai di Deutro-Zakharia (Jilid IV, hlm.132-134), sedangkan Rad menambahnya menjadi Trito-Zakharia dalam pengaruh tradisi Priestly (Rad, Vol II, hlm.297).
Bila Barth dan Rad sudah berbeda pandangan walau dibawah payung ‘diakronis’, lebih dari itu Walter C. Kaiser. Pendekatan ‘diakronis’ telah dipadukan dengan pendekatan ‘struktural’ yang tidak keluar dari pandangan konservatif. Sejak awal pembicaraan tentang bahan teologi PL, Kaiser mempertahankan kesatuan penulis dan wahyu progresif yang unik di setiap periode atau masa dalam penyataanNya. Tidak dibicarakan tentang berbagai sumber dari penulisan Pentateukh, tidak dikenal beberapa pengarang kitab Yesaya (Kaiser, hlm.261) dan ketunggalan penulisan kitab Zakharia (Hlm.320-321). Dalam perspektif Injili, metode yang digunakan Kaiser dapat dilihat sebagai parameter representatif walau kurang lengkap.
Barth nampaknya telah mempersulit pemahaman PL dengan membangun teologinya berdasarkan berbagai sumber tentang kepenulisan bahan-bahan PL yang tidak ada keseragaman sekalipun diantara kalangan ‘diakronis’. Harapan untuk mendapatkan “kerugmatis” dari pemilahan dan pemahaman sumber-sumber kepenulisan PL, semakin tak tergapai karena polemik yang bertaburan disekitar bahan-bahan yang masih dipertanyakan keotentikannya. Inti berita yang ingin disampaikan menjadi kabur, tidak jelas, karena bagian permukaan yang keruh tidak memungkinkan melihat kedalaman kekayaan rohani.
Kesederhanaan PL yang di tulis penulis agar dapat ditangkap dengan mudah oleh iman yang murni, menjadi ruwet dan tak beraturan. Kesatuan Alkitab ada dibawah ancaman. Rekonstruksi historis, telah menghancurkan kontinuitas sejarah suci PL (Jilid II,hlm.6). Rentangan waktu panjang dalam “penyataanNya” dapat dipersingkat atau didekatkan dan disejajarkan peristiwa kejadiannya, lagi dengan mudahnya diperjauh (contohnya kepenulisan Pentateukh) sampai beberapa periode. Agak sulit dipertanggungjawabkan, apalagi menyangkut unsur adikodrati; penyataan, mukjizat, nubuatan (Jilid III, hlm.9) yang meluluh diartikan harus melibatkan kesadaran dan pemahaman orang-orang yang dipakai Tuhan (Jilid III, hlm.30) atau penerima berita tersebut.

4.      Sistematika Penulisan

Keseragaman di kalangan ‘diakronis’ adalah mengawali tulisan dengan peristiwa sejarah Penciptaan, sebelum para bapak leluhur dan sesudahnya, peristiwa keluaran sampai masuk tanah Kanaan, pengangkatan raja-raja dan diakhiri dengan pengutusan nabi-nabi. Christoph Barth mengikuti pola demikian, walau sebelum dan isi topiknya berbeda, demikian juga diakhir penulisan.
C. Barth berasumsi bahwa pembaca bukunya telah mengenal pendekatan ‘diakronis’ atau setidaknya setelah mengikuti rangkaian penyampaian pesan-pesan dibalik karyanya akan memahami arti dan cara pendekatan itu digunakan. Saya merasa asumsi demikian sulit dipertanggungjawabkan dari berbagai sudut pandang.
Pertama, buku C. Barth adalah pengejawantahan dari bahan-bahan kuliah teologi PL dalam lingkup civitas akademika. Pengalihan orientasi tulisan pada khalayak ramai tanpa merubah dan memberi penjelasan mendasar tentang pendekatan yang dipakai, sangatlah sukar dimengerti bukan hanya bagi jemaat; mahasiswa teologi, pengajar dan pemimpin rohani pun belum tentu mampu mencernanya. Harapan penulis bagi orang-orang Kristen supaya diperkaya oleh teologi PL (Jilid I, hlm.8), mungkin terlalu tinggi bila berpijak pada “asumsi”.
Kedua, jauh dari keinginan penulis bahwa antara jilid pertama ke jilid berikut akan memakan waktu panjang. Asumsi pemahaman yang terbentuk dalam rangkaian tulisannya, akan menghabiskan banyak waktu hanya karena sistematika yang belum permanen atau disorientasi seperti disebutkan diatas. Alangkah baiknya bila diperkenalkan secara sekilas walau hal itu memakan berlembar-lembar halaman karena proses yang sudah berjalan lama.
Ketiga, penjelasan awal sebelum masuk isi topik yang akan dibicarakan sangat menolong agar tidak terjadi pengulangan berita atau tumpang-tindih penyampaian pesan-pesan penulis. Masuk dalam buku jilid kedua, ketiga, dan keempat, penulis sering mengutip tulisannya yang lalu dengan maksud mengingatkan dan menambahkan informasi. Bisa dimaklumi bahwa waktu penulisan yang lama akan membuat pembaca melupakan tulisan awal yang telah diterbitkan, namun kurang efektif dan efisien. Sangat dihargai untuk karya beliau sampai akhir hayat yang belum rampung, meski hal itu menyangkut pula sistematis penjadwalan kerja yang molor.
Bagian yang berbeda berkenan dengan isi dan pengembangannya melalui metode ‘diakronis’, sudah panjang-lebar dibicarakan dalam analisa isi hanya di akhir penulisan yang perlu diperhatikan. Berkenaan dengan sistematika penulisan yang seharusnya mendapat proporsi yang berimbang dari segi isi, bentuk, maupun pendekatan yang digunakan; penulis menyisihkan tiga halaman untuk menjembatani pengomunikasian dengan PB. Nampak begitu ringan muatan didalamnya, jilid 3 dan 4 hampir mendekati eksposisi kitab-kitab PL dan diakhiri tanpa ada kesimpulan dari teologi PL yang dikembangkan.
Kisah akhir yang kurang mengesankan dijumpai dalam jilid keempat walau berusaha di dekat-dekatkan dengan teks PB, tapi amat kurang memadai keterkaitan PL dan PB. Teologi PL benar-benar murni menggunakan bahan-bahan PL dan temuan-temuan zaman yang sejajar dengan peristiwa yang dimaksud atau pemikiran abad 19 tentang “Modified Documentary Hypothesis” namun dilihat dalam terang PB amatlah tabu. Alangkah baiknya bila Alkitab (keterkaitan PL dengan PB) mengartikan dan menafsirkan apa yang dikatakannya sendiri. Kekurangan daging pada kerangka sistematika diakhir tulisan tetap tak tertutupi dan itulah realita yang diperlihatkan penulis.

C.        Kesimpulan

Prof. Dr.Christoph Barth telah menghasilkan karya yang mengungkapkan pemahaman beliau tentang PL yang harus dibaca dengan memakai kacamata ‘diakronis’, suatu alat bantu berdasarkan intisari (kerugmatis) berita PL yang ingin disampaikan penulis pertama kepada penerima berita mula-mula dalam perjalanan dan perkembangan sejarah. Sementara proses sejarah berlangsung, tanpa terkecuali agama Israel, pesan-pesan Allah disampaikan pada orang-orang tertentu yang tidak mesti penerima langsung. Orang-orang yang mengumpulkan dan menyusunnya dikemudian hari, mereka juga “dipakai Tuhan” untuk memberi arti dan kesan khusus walau diharapkan tidak jauh berbeda dari tradisi yang lebih tua. Perbandingan antara tradisi yang lebih tua dan yang lebih muda, hal-hal demikian sangat menarik perhatian penulis.
Waktu berjalan, sejarah berlalu, muda telah menjadi tua, yang tua telah tiada, itulah kisah hidup penulis dengan sebuah karya “Theologia Perjanjian Lama”, buku yang mengundang kontroversial bukan hanya di kalangan konsevatif injili. Beliau telah bekerja sampai akhir hayat, memberi suatu warna tertentu, paling tidak “Theologia PL dalam bahasa Indonesia” dapat dipelajari dengan sikap kritis sebagai salah satu cara pandang terhadap PL. Pengaruh historis kritis tidak dapat dipungkiri telah memasuki benua Asia. Sebuah pengaruh dengan dampak-dampak yang dihasilkan dimana bukan untuk dihindari, namun bagaimana kita menyikapinya dengan belajar memahami pola berpikir dan pendekatan yang dipakai walau sama-sama menggunakan teks Alkitab konteks PL khususnya.
Jauh dari harapan penulis bila dibaca dalam alam pemikiran dan kultur Indonesia, meskipun untuk itu penulis mengupayakan sedemikian rupa. Telah ditulis dalam bahasa Indonesia, namun terlampau dini untuk mengatakan pribumisasi (indigenous) PL yang kontekstual. Rekonstruksi ulang peristiwa historis PL dengan menarik “kaidah kencana” (golden rules) dari bahan-bahan PL, mungkin itu dapat dikatakan demikian dalam karya C. Barth. Perjalanan panjang telah berakhir dan kita bersyukur untuk Theologia Perjanjian Lama-nya.



[1] Sukadijo, R.G,                   “Logika Dasar” Tradisional, Simbolik, dan Induktif
                                                Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm.7
[2] Hasel, Gerhard F,              “Teologi Perjanjian Lama”
                                                Malang, Penerbit Gandum Mas, 1992, hlm.73
[3] Rad, Gerhard von,            “Old Testament Theology” Vol 1
                                                Edinburgh & London, Oliver and Boyd, 1962
Rad menyebut Wellhausen dimana dia mengikuti polanya (hlm.3) dan berterima kasih padanya (hlm.113). Wellhausen sendiri dipengaruhi filsafat Hegel, kemudian berlanjut pada B.Duhm yang berkecimpung di theologia-filosofika (hlm.113,114).
[4] Green, Denis,                      “Pembimbing pada Pengenalan Perjanjian Lama”
                                                Malang, Penerbit Gandum Mas, 1994, hlm.41-42
[5] Rad, Gerhard von,            “Old Testament Theology” Vol 1
                                                Edinburgh & London, Oliver and Boyd, 1962, hlm.115-116