TEOLOGI PERJANJIAN LAMA
Karangan Prof. Dr. Christoph Barth
(Pdt.Tjandra Tan, M.Th)
A.
Pengantar
Christoph Barth (1917-1986)
adalah anak dari Karl Barth yang telah menyelesaikan studi di Basel dan Leiden untuk gelar Doktor Teologianya pada
tahun 1947. Sebagai tenaga pengajar yang berpengalaman di berbagai Sekolah
Teologia di Indonesia, beliau mengembangkan bahan perkuliahan yang diajarkan
pada mahasiswa menjadi buku Teologi Perjanjian Lama.
Buku Teologia Perjanjian
Lama yang di tulis dalam bahasa Indonesia itu terbagi dalam empat jilid dan
telah melalui rentangan waktu panjang. Edisi perdana buku Teologia PL jilid 1,
diterbitkan oleh BPK.Gunung Mulia tahun 1970; dua belas tahun kemudian baru
muncul jilid 2 (1982); tahun 1985 jilid 3; dan dengan harapan besar dapat
menyelesaikan jilid 4 walau dalam bentuk ‘draft ‘ yang pada akhirnya
dirampungkan sang istri, Marie-Claire
Barth-Frommel, pada tahun 1988 setelah dia meninggal.
Keempat jilid Teologia
Perjanjian Lama telah rampung dengan segala kerumitan, dinamika pergumulan dan
perjuang penulis, kerinduan yang dipenuhi pada Sekolah-sekolah Teologia sampai
masa kini, meskipun penuh kontroversial dalam bentuk dan isi. Pembacaan secara
cepat tidaklah memadai untuk mengenal isi atau inti pikiran penulis, paling
tidak ada beberapa pendekatan yang telah dipegang dan diakui penulis dimana
kemudian mulai di bangun serta dikembangkan sedemikian rupa. Pembacaan,
analisa, internalisasi dalam bentuk pemahaman yang tidak lepas dari penafsiran
pembaca, mau tidak mau akan nampak dalam resensi buku ini. Harapan penulis
kiranya makin mendekati ‘kebenaran’ sebagaimana yang dituliskan penulis
kitab-kitab PL.
Karena argumentasi
pendekatan yang dipakai penulis tidak berubah, pembaca akan meresensi keempat
jilid buku Teologia Perjanjian Lama dalam satu kesatuan, bukan satu per satu.
Memang ada kelemahan berdasarkan rentangan waktu yang sangat panjang dalam
penulisan, penambahan dan atau pengurangan pengetahuan dari segi usia, faktor
pemikiran yang terus mengalami perubahan, dan lagi kelemahan-kelemahan badani
lainnya; namun paling tidak ada “parameter” yang diungkapkan penulis secara
jujur (tentang konsistensinya menjadi
tugas pengamatan pembaca) dimana dapat dipakai oleh siapapun. Dengan
berpijak dari “parameter” penulis, resensi akan melangkah tahap demi tahap,
kemudian akan diakhiri dalam sebuah kesimpulan.
B.
Pokok Bahasan
1.
Bentuk
Penulisan
Ada keruwetan di
sepanjang penulisan Teologia Perjanjian Lama; khususnya jilid 1 dan makin
berkurang sesudah itu, yang ingin diungkapkan penulis tentang
kesukaran-kesukaran dari segi perjalanan historis (sampai abad 19 baru serius
studi Theologia PL; Jilid I hlm.17), membangun dan menggunakan pendekatan lewat
keteganggan era, pengakuan-pengakuan (Credo) yang perlu dicermati, masalah teks
dan konteks, belum termasuk lagi relevansi dan aplikatif di balik terang
Perjanjian Lama (Jilid I; hlm.13-15). Diantara keragaman masalah dalam Teologia PL ,
penulis memberi perhatian bagaimana menata-ulang kejadian-kejadian historis
secara kronologis dibalik teks yang tidak mesti berasal dari satu sumber dan
berupaya sedekat mungkin sampai pada pemahaman semula.
Konsentrasi pada
penataulangan peristiwa historis, mau tidak mau terjadi pembongkaran dan
pemasangan ulang yang dianggap tepat oleh penulis. Alur penulisan secara acak
ditemui di sepanjang tulisan. Boleh dikata ketika penulis mengingat sesuatu
maka ia mengajak pembaca berhenti sejenak sebelum melanjutkan pembicaraan,
memberi keterangan atau informasi baru/tambahan, lalu disambung kembali
mengikuti judul atau sub judul yang diberi tekanan khusus (Jilid I, hlm. 214;
Jilid II, hlm.20; Jilid III, hlm.28,39; Jilid IV, hlm.10-12).
Tidak ada pola
yang baku dalam
bentuk penulisan; sesekali nampak seperti kajian historis dengan komparasi
interkultur dan agama, mirip narasi ulang yang disertai beberapa komentar, dan
bagian tertentu seperti eksposisi kitab-kitab PL (jilid III dan IV lebih
mengarah kesana). Agak membigungkan bila membaca pertopik atau tema-tema yang
dimunculkan; selain tidak menggunakan metode tematis, penulis mencampurkan
beberapa bahan dari dalam dan luar teks alkitab menjadi bersinggungan walau
bukan inti berita. Selingan-selingan itu sering muncul agak mendekati topik
yang ingin disampaikan namun tidak sedikit ada yang cukup jauh keterkaitannya.
Dapat dimengerti
permasalahan yang dikatakan diatas, karena bentuk penulisan yang sebelumnya
dipakai sebagai bahan kuliah, kemudian hari menjadi buku pegangan umum. Ada perbedaan mendasar
antara bahan yang dikonsumsi mahasiswa thelogia dengan masyarakat awam. Penulis
mengalamatkan (tepatnya mengharapkan)
tulisan tangannya kepada jemaat atau pembaca luas (jilid I, hlm.8), namun
sayang tidak diubah bentuk penulisan yang berorientasi non akademik / diluar
tembok pembatas Sekolah Alkitab atau Seminari. Kesulitan ini tidak dapat dipungkiri bukan
hanya bagi umat Kristen awam, para mahasiswa theologia sendiri mengalaminya.
Sukar mendaratkan
pemikiran penulis dalam alam PB boleh dikata hampir murni bentuk tulisan PL,
tanpa terang PB untuk menghasilkan Theologia PL. Meskipun tulisan akhir dari
jilid IV berupaya menjembati kedua Perjanjian (hlm.143-146) sebagaimana yang
diharapkan penulis dalam jilid II halaman 5, nampaknya sudah terlalu lebar
jurang pemisah yang tidak dapat diatasi hanya dengan tiga halaman saja.
Kemungkinan besar bentuk tulisan akhir tersebut mengarah pada sumbangsih istri
(Marie Claire Barth -Frommel) dalam
menggenapi amanat suami yang telah meninggal.
Bila studi Theologia PL hanya
menggunakan bahan-bahan PL, dapat diramalkan bentuk tulisan penulis yang sulit
menjembati PB apalagi dikatakan berguna bagi umat Kristen dan Katolik di Indonesia
(jilid I, hlm.8) dari segi relevansi maupun kegunaannya. Pastilah berguna bagi
penambahan pengetahuan, memperkaya kazanah pola berpikir kritis, mengenal salah
satu pendekatan yang dapat dipakai dalam studi PL, namun demi pengembangan iman
dan spiritual perlu ekstra hati-hati. Penulis sendiri mengatakan mungkin
tulisannya dapat dianggap berbahaya (jilid I, hlm.8) entah disadari atau tidak.
Memang terasa
begitu aneh ketika penulis mengatakan kesatuan, ketakterpisahan, keunikan
antara PL dan PB (pada awal bukunya;
jilid I, hlm.13-14) bila tanpa melihat kedalaman isi dan maksud dibalik setiap
konklusi. Tidak mungkin bila dua pernyataan negatif yang saling berhubungan
akan menghasilkan kesimpulan positif. Bentuk penulisan dalam hukum logika (Silogisme) menghasilkan demikian (jilid
I, hlm.36; bnd.hlm.54, 72-73, dst):
Premis mayor: “Tubir-raya/samudra”
adalah terjemahan kita untuk bahasa Ibrani ‘tehom’, suatu sebutan dari
kesusastraan lama yang mungkin pernah menjadi nama makhluk raksasa, atau
malahan nama suatu dewi (Tiamat di Mesopotamia)”.
Premis minor: “Umat
Israel
teringat kepada cerita-cerita kuno mengenai binatang-binatang raksasa
yang buas, cerita-cerita dan mite-mite yang diwarisi dari nenek moyangnya
sendiri ataupun dari bangsa-bangsa tetangganya.”
Konklusi penulis: “Umat
Israel tak berkeberatan memakai bahan-bahan dari cerita kuno bangsa-bangsa asing
sebagai ‘alat’ untuk kesaksiannya sendiri, asalkan Pemenang di dalam
pertempuran raksasa ini adalah benar-benar Allahnya orang Israel, dan bukan
dewa-dewa sembahan bangsa-bangsa itu”.
Bangsa Israel (premis
minor negatif) merupakan bagian dari bangsa-bangsa yang tinggal di Mesopotamia (premis mayor negatif) yang mewarisi
cerita-cerita kuno mengenai makhluk raksasa (konklusi tidak mungkin positif).
Kesimpulan negatif tidak memungkinkan umat Israel tampil begitu istimewa,
unggul, pilihan Allah, yang sebenarnya
sama seperti bangsa-bangsa lain hanya kali ini “Allah Israel” menjadi Pemenang. Ilah-ilah bangsa lain juga adalah Pemenang
bagi mereka.
Bentuk tulisan
yang menyesatkan menurut kaidah logika[1]
makin menjadi-jadi tatkala berbicara tentang “penyataan”. Apakah yang dimaksud
penulis dengan penyataan Allah (jilid I, hlm.102, 105, 106):
Premis mayor: “Allah
menyatakan diri pada waktu Keluaran dari Mesir (Bab III), dan di dalam pokok
Gunung Sinai pun terdapat segi penyataan ilahi (Bab V),… kita menyaksikan kesatuan
Allah di dalam segala perbuatanNya dan di dalam segala penyataan diriNya; kita
hanya menekankan kekayaanNya yang membuka segi-segi baru yang mengajaibkan,
setiap kali Ia bertindak.”
Premis minor: “Daripada
mengatakan “Allah menyatakan diri”, seharusnyalah mengatakan ‘Allah menampakkan
diri’ atau ‘memperlihatkan diri’. Justru disinilah mulai menyimpang
suara-suara para pengarang itu satu sama lain (paragraf terakhir).”
Konklusi
penulis: “Kemungkinan-kemungkinan yang telah kita daftarkan ini dapat diatur
menurut “aliran-aliran” atau “golongan-golongan” pengarang, yang suka
mempergunakan cara bercerita yang ini atau yang itu.”
Permasalahan
bentuk tulisan memiliki dampak yang berarti bagi pembaca yang mengira bahwa
penulis “injili” atau “liberal”. Hal ini bisa membinggungkan dalam pengamatan,
namun setidaknya dari kaidah logika sudah tentulah menyesatkan. Dalam analisa
isi tulisan penulis, barulah kita mengetahui dasar theologia PL yang dibangun
dan dikembangkan sedemikian rupa hingga melampaui batas-batas kepercayaan
tradisional terhadap Alkitab.
2.
Metodologi
Penulisan
Penulis dengan
terang-terangan menyebut nama Gerhard von Rad yang mempengaruhinya dalam
penulisan Theologia Perjanjian Lama (Jilid I, hlm.19; II, hlm.13; III, hlm.49).
Gerhard von Rad memakai pendekatan diakronis[2]
dalam dua volume bukunya “Old Testament
Theology” yang mewakili pemikiran kritis modern. Metode diakronis itu
sendiri telah mengalami kemajuan dimana G. von Rad telah mempelajari dan
mengembangkannya.[3]
Christoph Barth
nampaknya telah mengritisi karya Von Rad dalam tulisannya “Grundprobleme einer Theologie des AT,” EvTh,23 (1963), 342-372.
Meskipun bukan kali pertama dari beberapa sajana Perjanjian Lama yang meninjau
dan membicarakan masalah yang diajukan Von Rad (Hasel, Teologi PL (terj),
hlm.74, dibawah catatan kaki), namun paling tidak beliau telah memahami dan
memodifikasi.
Bila Astruc
(1753) yang mengemukakan teori “Documentary
Hypothesis” dalam kitab-kitab Pentateuch yang memuat beberapa sumber
dokumen, lalu Eichorn (1780-) yang memperjelas sumber yang dimaksud adalah
Jehovah dan Elohim. Sudah dapat di kira bahwa Ilgen (1798), DeWette (1805),
Hupfield (1853) dalam “Modified Documentary
Hypothesis”, Graf (1860) dan puncaknya Wellhausen (1876),[4]
akan tergoda untuk menelusuri masalah sumber (source criticism).
3.
Analisis Isi
Bila Gerhald von
Rad menekankan ‘kerygmatis’ dalam PL
yang digali untuk membangun theologianya, seperti istilah “logos” yang memiliki
arti berbeda bagi kalangan Yunani dengan pemahaman Israel[5],
nampaknya demikian juga berusaha dilakukan Christoph Barth walau terjadi perubahan-perubahan.
Pendekatan sejarah agama-agama disekitar bangsa Israel , mendapat perhatian lebih
guna memahami konteks yang terjadi.
Bahasa
personifikasi dari orang-orang Mesir dikaitkan dengan penciptaan manusia dan
binatang-binatang (jilid I,hlm.34), nama dewi ‘Tiamat’ dari Mesopotamia
berhubungan dengan “kekacauan” (jilid I, hlm.36), Raja Hammurabi yang
memerintah Sumer dan Akkad di kota Babel dengan kata-kata bijaknya yang
mendekati hukum-hukum Israel (jilid II, hlm.89), kesemuanya merupakan contoh
agama-agama non Yahudi yang sedikit-banyak mempengaruhi atau bahkan sering
kedapatan diadopsi bangsa Israel. Segala upaya yang mengarah pada arti mendasar
(original meaning) dikerjakan penulis
sedemikian rupa walau mendekati kerawanan.
Penelitian yang
rumit untuk menemukan, mengumpulkan, dan menempatkan secara berurut
tradisi-tradisi bangsa Israel seperti Priestly, Elohistis, Jahwehistis, dan
Deuteronomistis, mau tidak mau dibawa sampai ke zaman raja-raja bahkan beberapa
teks kitab-kitab nabi-nabi PL diselidiki dan kedapatan sangat dipengaruhi
tradisi-tradisi tersebut. Kisah Penciptaan mendominasi campuran tradisi-tradisi
tersebut yang membuat kabur arti
penyataan Allah. Analogi penciptaan yang ‘belum berbentuk dan kosong’
dengan keadaan padang gurun dalam peristiwa Keluaran (jilid I, hlm.36), memberi
arti bahwa seakan-akan Allah menginspirasikan kepada ‘para penulis’ Pentateukh
dengan latar-belakang kehidupan umat yang telah melalui padang gurun. Penyataan
Allah melalui historisitas penulis, dan tanpa itu Allah tidak menyingkapkan
sesuatu yang pada akhirnya tidak memberikan arti atau makna, sangat kental
diseluruh karya penulis. Pengalaman riil penulis harus dimasukkan dalam
pengembangan teologis (jilid III, hlm.30).
Sesuatu yang
baru, yang datangnya dari Allah, nampak begitu sukar diterima. Ada kesejajaran cerita diantara agama-agama
Timur Dekat Kuno dengan agama Israel
walau memuat kandungan yang berbeda. Pengalaman sebelum dan sesudah tinggal di
tanah Kanaan, memberi pelajaran yang berharga tentang keterlibatan Allah dalam
sejarah Israel
tanpa mengesampingkan tradisi Jahwehistis, Elohistis, Deuteronomistis, dan Priestly
yang dipegang teguh penulis. Tradisi tertua adalah Jahwehistis dan Elohistis,
sumber Imamat (Priestly) mengutip dan mengolah rumus-rumus yang tua pada zaman
sesudah pembuangan, sedangkan tradisi Deuteronomistis merupakan hasil
penggumpulan contoh-contoh penggunaan sebuah rumus ucapan dengan pelbagai
variasi yang berfungsi sebagai penyadaran umat Yahudi sejak zaman pembuangan
(Jilid II, hlm.36).
Dengan asumsi
demikian, sudah tentu terdapat perbedaan diantara kalangan ‘historisisme’ atau
paling tidak pendekatan ‘diakronis’ yang dipakai. Bila dibandingkan dengan
Gerhard von Rad, perbedaan itu nampak begitu jauh dari segi kronologis
histories, tradisi ‘kerugmatis’ yang dimaksud, isi berita yang berusaha
disampaikan dari penulis PL melalui mereka yang menafsirkan. Misalnya, dalam tulisan von Rad, kitab Rut merupakan bagian dari tradisi
Jahwehistis yang disejajarkan dengan kisah Yusuf di Kitab Kejadian 45:5-8 (
Rad, Vol I, hlm.52 ); berbeda dengan
Barth yang menempatkannya sejajar dengan Trito-Yesaya, Yunus, Yoel dan
Maleakhi (Tradisi Deuteronomistis, Jilid IV,hlm.122). Lain dari itu, Barth
berhenti sampai di Deutro-Zakharia (Jilid
IV, hlm.132-134), sedangkan Rad menambahnya menjadi Trito-Zakharia dalam pengaruh tradisi Priestly (Rad, Vol II,
hlm.297).
Bila Barth dan Rad sudah berbeda pandangan walau dibawah payung
‘diakronis’, lebih dari itu Walter C. Kaiser. Pendekatan ‘diakronis’ telah
dipadukan dengan pendekatan ‘struktural’ yang tidak keluar dari pandangan
konservatif. Sejak awal pembicaraan tentang bahan teologi PL, Kaiser
mempertahankan kesatuan penulis dan wahyu progresif yang unik di setiap periode
atau masa dalam penyataanNya. Tidak dibicarakan tentang berbagai sumber dari
penulisan Pentateukh, tidak dikenal beberapa pengarang kitab Yesaya (Kaiser,
hlm.261) dan ketunggalan penulisan kitab Zakharia (Hlm.320-321). Dalam
perspektif Injili, metode yang digunakan Kaiser dapat dilihat sebagai parameter
representatif walau kurang lengkap.
Barth nampaknya
telah mempersulit pemahaman PL dengan membangun teologinya berdasarkan berbagai
sumber tentang kepenulisan bahan-bahan PL yang tidak ada keseragaman sekalipun
diantara kalangan ‘diakronis’. Harapan untuk mendapatkan “kerugmatis” dari
pemilahan dan pemahaman sumber-sumber kepenulisan PL, semakin tak tergapai
karena polemik yang bertaburan disekitar bahan-bahan yang masih dipertanyakan
keotentikannya. Inti berita yang ingin disampaikan menjadi kabur, tidak jelas,
karena bagian permukaan yang keruh tidak memungkinkan melihat kedalaman
kekayaan rohani.
4.
Sistematika
Penulisan
Keseragaman di
kalangan ‘diakronis’ adalah mengawali tulisan dengan peristiwa sejarah
Penciptaan, sebelum para bapak leluhur dan sesudahnya, peristiwa keluaran
sampai masuk tanah Kanaan, pengangkatan raja-raja dan diakhiri dengan
pengutusan nabi-nabi. Christoph Barth mengikuti pola demikian, walau sebelum dan
isi topiknya berbeda, demikian juga diakhir penulisan.
C. Barth
berasumsi bahwa pembaca bukunya telah mengenal pendekatan ‘diakronis’ atau
setidaknya setelah mengikuti rangkaian penyampaian pesan-pesan dibalik karyanya
akan memahami arti dan cara pendekatan itu digunakan. Saya merasa asumsi demikian
sulit dipertanggungjawabkan dari berbagai sudut pandang.
Pertama, buku C. Barth adalah pengejawantahan dari
bahan-bahan kuliah teologi PL dalam lingkup civitas akademika. Pengalihan
orientasi tulisan pada khalayak ramai tanpa merubah dan memberi penjelasan
mendasar tentang pendekatan yang dipakai, sangatlah sukar dimengerti bukan
hanya bagi jemaat; mahasiswa teologi, pengajar dan pemimpin rohani pun belum
tentu mampu mencernanya. Harapan penulis bagi orang-orang Kristen supaya
diperkaya oleh teologi PL (Jilid I, hlm.8), mungkin terlalu tinggi bila
berpijak pada “asumsi”.
Kedua, jauh dari keinginan penulis bahwa antara jilid
pertama ke jilid berikut akan memakan waktu panjang. Asumsi pemahaman yang
terbentuk dalam rangkaian tulisannya, akan menghabiskan banyak waktu hanya
karena sistematika yang belum permanen atau disorientasi seperti disebutkan
diatas. Alangkah baiknya bila diperkenalkan secara sekilas walau hal itu
memakan berlembar-lembar halaman karena proses yang sudah berjalan lama.
Ketiga, penjelasan awal sebelum masuk isi topik yang akan
dibicarakan sangat menolong agar tidak terjadi pengulangan berita atau
tumpang-tindih penyampaian pesan-pesan penulis. Masuk dalam buku jilid kedua,
ketiga, dan keempat, penulis sering mengutip tulisannya yang lalu dengan maksud
mengingatkan dan menambahkan informasi. Bisa dimaklumi bahwa waktu penulisan
yang lama akan membuat pembaca melupakan tulisan awal yang telah diterbitkan,
namun kurang efektif dan efisien. Sangat dihargai untuk karya beliau sampai
akhir hayat yang belum rampung, meski hal itu menyangkut pula sistematis
penjadwalan kerja yang molor.
Bagian yang
berbeda berkenan dengan isi dan pengembangannya melalui metode ‘diakronis’,
sudah panjang-lebar dibicarakan dalam analisa isi hanya di akhir penulisan yang
perlu diperhatikan. Berkenaan dengan sistematika penulisan yang seharusnya
mendapat proporsi yang berimbang dari segi isi, bentuk, maupun pendekatan yang
digunakan; penulis menyisihkan tiga halaman untuk menjembatani pengomunikasian
dengan PB. Nampak begitu ringan muatan didalamnya, jilid 3 dan 4 hampir
mendekati eksposisi kitab-kitab PL dan diakhiri tanpa ada kesimpulan dari
teologi PL yang dikembangkan.
Kisah akhir yang
kurang mengesankan dijumpai dalam jilid keempat walau berusaha di
dekat-dekatkan dengan teks PB, tapi amat kurang memadai keterkaitan PL dan PB. Teologi PL
benar-benar murni menggunakan bahan-bahan PL dan temuan-temuan zaman yang
sejajar dengan peristiwa yang dimaksud atau pemikiran abad 19 tentang “Modified Documentary Hypothesis” namun
dilihat dalam terang PB amatlah tabu. Alangkah baiknya bila Alkitab (keterkaitan PL dengan PB) mengartikan dan menafsirkan apa yang
dikatakannya sendiri. Kekurangan daging pada kerangka sistematika diakhir
tulisan tetap tak tertutupi dan itulah realita yang diperlihatkan penulis.
C. Kesimpulan
Prof. Dr.Christoph Barth
telah menghasilkan karya yang mengungkapkan pemahaman beliau tentang PL yang
harus dibaca dengan memakai kacamata ‘diakronis’, suatu alat bantu berdasarkan intisari
(kerugmatis) berita PL yang ingin
disampaikan penulis pertama kepada penerima berita mula-mula dalam perjalanan
dan perkembangan sejarah. Sementara proses sejarah berlangsung, tanpa
terkecuali agama Israel ,
pesan-pesan Allah disampaikan pada orang-orang tertentu yang tidak mesti
penerima langsung. Orang-orang yang mengumpulkan dan menyusunnya dikemudian
hari, mereka juga “dipakai Tuhan” untuk memberi arti dan kesan khusus walau
diharapkan tidak jauh berbeda dari tradisi yang lebih tua. Perbandingan antara
tradisi yang lebih tua dan yang lebih muda, hal-hal demikian sangat menarik
perhatian penulis.
Waktu berjalan, sejarah
berlalu, muda telah menjadi tua, yang tua telah tiada, itulah kisah hidup
penulis dengan sebuah karya “Theologia Perjanjian Lama”, buku yang mengundang kontroversial
bukan hanya di kalangan konsevatif injili. Beliau telah bekerja sampai akhir
hayat, memberi suatu warna tertentu, paling tidak “Theologia PL dalam bahasa
Indonesia” dapat dipelajari dengan sikap kritis sebagai salah satu cara pandang
terhadap PL. Pengaruh historis kritis tidak
dapat dipungkiri telah memasuki benua Asia. Sebuah pengaruh dengan
dampak-dampak yang dihasilkan dimana bukan untuk dihindari, namun bagaimana
kita menyikapinya dengan belajar memahami pola berpikir dan pendekatan yang
dipakai walau sama-sama menggunakan teks Alkitab konteks PL khususnya.
Jauh dari harapan penulis
bila dibaca dalam alam pemikiran dan kultur Indonesia , meskipun untuk itu
penulis mengupayakan sedemikian rupa. Telah ditulis dalam bahasa Indonesia ,
namun terlampau dini untuk mengatakan pribumisasi (indigenous) PL yang kontekstual. Rekonstruksi ulang peristiwa
historis PL dengan menarik “kaidah kencana” (golden rules) dari bahan-bahan PL, mungkin itu dapat dikatakan
demikian dalam karya C. Barth. Perjalanan panjang telah berakhir dan kita
bersyukur untuk Theologia Perjanjian Lama-nya.
[1] Sukadijo,
R.G, “Logika Dasar”
Tradisional, Simbolik, dan Induktif
[2] Hasel,
Gerhard F, “Teologi
Perjanjian Lama”
[3] Rad,
Gerhard von, “Old Testament
Theology” Vol 1
Rad menyebut Wellhausen
dimana dia mengikuti polanya (hlm.3) dan berterima kasih padanya (hlm.113).
Wellhausen sendiri dipengaruhi filsafat Hegel, kemudian berlanjut pada B.Duhm
yang berkecimpung di theologia-filosofika (hlm.113,114).
[4] Green,
Denis, “Pembimbing
pada Pengenalan Perjanjian Lama”
[5] Rad,
Gerhard von, “Old Testament
Theology” Vol 1