Wikipedia

Hasil penelusuran

Kamis, 13 November 2014

Kristologi

Kristologi dalam Ibrani 1
Kajian teologis dalam Ibrani 1 tentang Yesus sebagai Anak Allah

            Kitab Ibrani mengandung Kristologi yang sangat tinggi dan mendalam. Pra-eksistensi Kristus disebutkan pada awal kitab ini. Allah menciptakan dunia ini oleh Kristus (1:2). Kata “zaman” yang dipakai secara literal memiliki arti segala yang terkandung dalam waktu berasal dari Allah. Ia adalah penguasa waktu dan penentu waktu baik. Baik dahulu, sekarang, maupun yang akan datang, kesemuanya berada dalam pengetahuan Allah. Secara tepat John Calvin berkata, “Bagi Allah tidak ada masa lalu atau yang akan datang, dihadapan-Nya jelas terlihat kekinian.[1]
            Dengan firman yang penuh kuasa, Kristus menopang dunia (1:3). Ia merefleksikan kemuliaan Allah dan sifat-Nya (1:3). Kita tidak menemukan pembahasan mengenai inkarnasi, namun pokok ini jelas dalam pemikiran penulis ketika ia berbicara tentang kedatangan Kristus ke dalam dunia (10:5; bnd. 2:9).[2]
            Sebutan yang paling tentang Kristus dalam kitab Ibrani adalah “Anak Allah” (1:2, 5; 4:14; 5:5; 6:6; 7:3). Sebagai Anak, Ia adalah ahli waris segala sesuatu (1:2) yang turut ikut ambil bagian dalam sifat keilahian. Para malaikat menyembah-Nya (1:6), bahkan dalam kitab Ibrani Yesus disebut Allah dengan mengacu pada Mazmur 45, “Takhta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya” (1:7). Keilahian Kristus juga terlihat dalam penggunaan istilah Tuhan (Yun. Kurios). Beberapa bagian dari Perjanjian Lama tentang Allah sebagai Tuhan dikutip berulang kali (7:21; 8:8, 11; 10:16, 30) dan Yesus adalah Tuhan. Kesejarahan Yesus dalam kitab Ibrani disebut dua kali (2:3; 7:14); dan satu kali dalam bagian Perjanjian Lama yang menunjukkan Allah dikenakan kepada Kristus (1:10). Dalam pengertian yang lebih luas, Yesus adalah Allah.[3]
            Bila menelaah lebih dalam kitab Ibrani 1:2-3 merupakan pernyataan yang lebih ringkas, tetapi penting, karena mengemukakan pandangan tentang Kristus yang sama tingginya dengan Filipi 2 dan Kolose 1. Di dalam ayat-ayat ini, penulis menggabungkan dua pertimbangan, yaitu hubungan Kristus (yang diperkenalkan sebagai Anak) dengan ciptaan, dan hubungan-Nya dengan Allah.
            Dalam pertimbangan hubungan Kristus dengan ciptaan disebutkan dua hal yang penting. Pertama, Kristus dikatakan “ditetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada.” Pernyataan ini menegaskan bahwa apa yang telah diciptakan adalah milik Kristus, sesuai dengan pernyataan dalam Kolose 1:16 bahwa segala sesuatu diciptakan “untuk Dia.” Peranan Kristus dalam penciptaan ditekankan di sini dengan sama jelasnya dengan pernyataan dalam surat Filipi dan Kolose, walaupun terdapat satu perbedaan yang perlu diperhatikan. Dalam Ibrani dipakai istilah “alam semesta” (Yun. aiones), bukan dunia (Yun. kosmos).[4] Istilah alam semesta mencakup lebih daripada istilah dunia. Kedua, dalam surat Ibrani, Kristus digambarkan sebagai penopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan, yang memperlihatkan pekerjaan-Nya dalam penciptaan yang terus menerus.
            Pertimbangan hubungan Kristus dengan Allah ditemukan dalam gabungan dua kata yang menggambarkannya yaitu apaugasma dan kharakter. Pengertian kata yang pertama berbicara tentang cahaya yang memancar dari sumber yang cemerlang. Kiasan ini sangat baik namun terbatas karena pada dasarnya tidak berpribadi. Dalam kitab Kebijaksanan Salomo 7:26 kata ini digunakan untuk menggambarkan Hikmat yang dianggap mempunyai pribadi tetapi bukan sebagai makhluk manusia. Kata ini juga digunakan oleh Philo untuk menggambarkan logos namun sekali lagi tidak dianggap sebagai pribadi manusia. Penggunaan istilah apaugasma untuk Kristus dalam Ibrani 1:3 harus dimengerti dalam arti bahwa kemuliaan Allah dapat dilihat secara sempurna di dalam Yesus Kristus, gagasan ini persis sama dengan gagasan tentang ‘gambar’ dalam Kolose 1:15. Kita juga dapat menghubungkan gagasan ini dengan Yohanes 1:14 yang menyatakan bahwa kemuliaan Allah dapat dilihat di dalam Anak. Semua ayat ini menyatakan bahwa Yesus Kristus ialah penyataan yang sempurna dari Allah.
            Kata kedua, kharakter, mengungkapkan gagasan mengenai stempel di atas cap, yang digunakan untuk memperlihatkan adanya persesuaian yang tepat antara Anak dan Bapa. Disamping itu, persesuaian tersebut dihubungkan dengan hakikat (Yun. hupostasis) dari pribadi itu. Stempel menghasilkan bentuk cetakan yang persis sesuai dengan bentuknya sendiri. Apa yang tidak ada pada stempel tidak akan terdapat pada cetakan. Tetapi sekali lagi penggunaan kiasan ini terbatas karena pada dasarnya tidak berkepribadian dan dapat menimbulkan kesan bahwa Anak berbeda dengan Bapa seperti cap cetakan berbeda dengan stempel, padahal tidak demikian.
            Cukup beralasan bila menduga bahwa kedua kiasan ini mungkin mengambil gagasan tentang Adam yang dijadikan menurut “gambar” Allah dari Kejadian 1:26, dan juga menerima sesuatu dari gagasan Paulus yang terdapat dalam surat Roma dan 1 Korintus, yaitu mengenai Kristus sebagai Adam yang Akhir. Mengingat kegagalan Adam, maka agak membesarkan hati bila kita mengetahui bahwa Kristus dengan sempurna telah menggenapi tugas mencerminkan Allah.
            Dalam Ibrani 1:3 ditegaskan bahwa Anak “duduk di sebelah kanan Yang Maha Besar, di tempat yang tinggi.” Pengaruh dari Mazmur 110:1 dapat dilihat di sini karena tidak ada keraguan bahwa Mazmur ini memberikan pengaruh yang kuat pada penulis surat Ibrani. Nama bagi Allah yang penuh penghormatan ini juga digunakan dalam Ibrani 8:1 dan menggarisbawahi sikap hormat dan takut kepada-Nya (bnd. Ibr 12:28-29). Kedudukan Anak di sebelah kanan Allah ditekankan sebagai persiapan untuk uraian tentang Imam Besar (bnd. Ibr 8:1). Tetapi antara pandangan ini dengan apa yang disebut pengagungan Yesus dalam Filipi 2:10-11 terdapat perbandingan yang jelas. Dalam Ibrani 1:3 dijelaskan bahwa pengagungan menyusul setelah tindakan penyucian dosa, ajaran ini juga tercakup dalam surat Filipi dalam penjelasan secara tidak langsung mengenai ketaatan Yesus sampai mati di kayu salib. Penulis kitab Ibrani memulai tulisannya dengan memperkenalkan Imam Besar dalam keadaan yang dipermuliakan. Hal ini sangat mengesankan mengingat kitab ini mengemukakan kemanusiaan yang sempurna dari Imam Besar kita. Kitab Ibrani melakukan pendekatan kepada Yesus sebagai manusia dari sudut pandang Anak Allah yang dipermuliakan.[5]
            Serangkaian kutipan Perjanjian Lama dalam Ibrani 1 erat hubungannya dengan pernyataan pembukaan dalam Ibrani 1:1-3 yang memberi pengertian baru tentang pribadi Kristus. Mazmur 2:7 dikutip untuk menyampaikan gagasan mengenai Kristus sebagai Anak yang dilahirkan dari kekal. Gagasan ini menyinggung soal keberadaan-Nya sebelum segala sesuatu ada. Ajaran yang terakhir itu juga terdapat dalam uraian tentang Melkisedek (Ibr 7:1-10). Kutipan 2 Samuel 7:14 menyatakan keadaan-Nya sebagai Anak yang kekal, yang langsung membedakan Dia dari malaikat-malaikat. Kutipan dari Ulangan 32:43 (terjemahan LXX) didahului dengan suatu pernyataan mengenai “yang sulung” (prototokos) yang memiliki arti yang sama dengan “Anak” dalam ayat-ayat sebelumnya. Istilah ini terdapat juga dalam Kolose 1:15, 18 dan Roma 8:29 yang dalam masing-masing ayat dinyatakan keunggulan Kristus. Meskipun dalam Ibrani 1:6 kurang ditekankan, namun kebenaran itu termasuk dalam keseluruhan penyajian tentang Kristus dalam kitab Ibrani.
            Keterangan lain dalam kitab Ibrani dicatat bahwa para malaikat menyembah Yesus saat kelahiran-Nya yang dapat dibandingkan dengan Injil Lukas. Kutipan dari Ulangan 32:43 (yang sejajar dengan Mzm 97:7) cukup mencolok, karena dalam kutipan itu apa yang semula ditujukan pada Allah diterapkan pada Kristus. Dengan menggabungkan Mazmur 104:4 dengan Mazmur 45:7-8 (menurut terjemahan LXX), kitab Ibrani membandingkan asal usul malaikat-malaikat (yang ‘dijadikan’) dengan keberadaan Anak yang kekal. Yang lebih mencolok lagi, Anak dipanggil dengan kata-kata “Ya, Allah;” hal ini merupakan suatu penunjukan langsung akan keilahian. Ayat ini dalam penerapan semula dari kitab Mazmur ditujukan pada raja Israel yang berkemungkinan diartikan  ‘Allah adalah takhta-Mu,’ tetapi kitab Ibrani memandangnya dengan pengertian lain saat digunakan pada Yesus. Kutipan penutup yang diambil dari Mazmur 102:26-28 jelas ditujukan pada Yesus, walaupun sekali lagi dalam konteks aslinya Mazmur ini berbicara mengenai Allah. Yesus dipandang sebagai pencipta (Ibr 1:3), tetapi juga sebagai hakim. Lagi pula, kutipan ini secara tidak langsung menunjuk pada keadaan Anak yang tidak berubah yang sangat berbeda dengan ciptaan-Nya yang dapat rusak.
            Dari segi perjanjian dengan Kristus yang terdapat dalam kitab Ibrani, terdapat penggabungan sifat ilahi Yesus dalam Pasal 1 dengan kesempurnaan-Nya sebagai manusia dalam Pasal 2. Penilaian yang benar akan sifat ilahi Kristus harus disejajarkan dengan kemanusiaan-Nya. Dalam keadaan sementara, Yesus lebih rendah dari malaikat-malaikat (2:6-9) sebagaimana yang dikutip dalam Mazmur 8:4-6. Sifat sementara memang berlawanan dengan Ibrani 1, tetapi penderitaan dan kematian yang diakibatkan inkarnasi dilihat sebagai penahbisan dengan kemuliaan dan hormat (2:9). Sifat kehidupan inkarnasi Yesus dinyatakan dalam Ibrani 2:17, “Dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya.” Manusia yang sejati merupakan pemenuhan syarat sebagai Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan setia. Lagi pula, karena mereka yang menjadi tujuan pelayanan Yesus dalam kedatangan-Nya (2:14) adalah “anak-anak dari darah dan daging,” maka Ia juga harus mempunyai sifat kehidupan yang sama. Dapat dikatakan bahwa seluruh uraian Ibrani bergantung pada kesamaan Yesus dengan manusia, karena kemanusiaan-Nya yang sejati sama pentingnya dengan keilahian-Nya.
            Kemanusiaan Yesus tidak luput dari pencobaan (2:18) hanya Ia tidak berdosa (4:1-5).[6] Ini bisa berarti meskipun Ia dicobai namun tidak berdosa, atau Ia mengenal segala macam pencobaan kecuali pencobaan yang timbul sebagai akibat dosa. Dalam hal yang mana pun, pencobaan ditandaskan sebagai sesuatu yang nyata. Pentingnya kemanusiaan Yesus guna keimaman ditegaskan dalam Ibrani 2. Pengalaman Yesus di Taman Getsemani dilukiskan sebagai bentuk ketaatan yang sempurna dari Anak kepada Bapa. Tema ketaatan ini diulangi lebih lanjut dalam Ibrani 10:9 yang mana kata-kata dari Mazmur 40:7-9 diterapkan pada Yesus dan dipakai sebagai keterangan misi-Nya, yaitu ‘ketaatan’ pada kehendak Bapa. Hal ini merupakan kunci untuk mengerti persembahan diri Yesus guna keselamatan manusia.
            Dengan cara mengagumkan, kitab Ibrani memperlihatkan aspek ganda dari pribadi Yesus. Penulisnya menganggap penting untuk menetapkan bahwa Yesus adalah Anak Allah dan juga manusia sejati, sebagai prasyarat untuk dapat menjelaskan misi-Nya dan apa yang dicapai-Nya. Ia tidak melakukan pendekatan pada Kristus dengan cara yang spekulatif, juga tidak mendahulukan perdebatan kristologis yang terjadi kemudian. Kristus yang hidup dalam dunia ini merupakan Yesus yang bangkit dan dimuliakan. Bagi penulis, Orang yang berteriak dengan keras dan mencucurkan air mata pada waktu penderitaan-Nya adalah sama dengan Orang yang sekarang mengambil tempat di sebelah kanan Yang Maha Besar, di tempat yang tinggi (bnd. Ibr 12:2). Rasul Paulus meskipun mengungkapkan pemikirannya dengan cara berbeda, sangat setuju dengan pandangan mengenai Kristus yang diungkapkan di sini.
            Ketaatan sampai mati, bahkan mati di kayu salib, yang disebut dalam Filipi 2:8 merupakan pendekatan yang sama seperti yang terdapat dalam Ibrani saat berbicara tentang penderitaan Yesus. Di dalam keduanya, penderitaan di kayu salib dipandang sebagai suatu kehinaan. Boleh dikata, Kristus itu selalu sempurna dalam arti Ia selalu siap untuk menderita dan bahwa pada waktunya Ia mencapai kesempurnaan karena sudah benar-benar menderita.[7]
            Yesus adalah manusia sempurna tanpa dosa sebagaimana disebutkan dalam Ibrani 4:15 merupakan tema khusus dalam kitab Ibrani. Karena Yesus tidak berbuat dosa, maka Ia sebagai contoh bagi kita menjalani kehidupan yang benar. Kita dapat hidup bebas dari pemberontakan yang bersifat dosa terhadap Allah saat kita hidup di dalam Kristus. Gagasan ini agak mirip dengan gagasan Paulus tentang ‘Adam yang Akhir’, yang menyatakan ketaatan Kristus yang sempurna dibandingkan ketidaktaatan Adam yang berdosa (Rm 5:12, 19).

DAFTAR PUSTAKA

Bruce, F.F. The Epistle to the Hebrews: The New International Commentary on the New Testament. Grand Rapids: Eerdmans, 1964.

Cullmann, Oscar.  The Christology of the New Testament. London: SCM, 1959.

Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru. Jakarta: Gunung Mulia, 1993.

Ladd, George Eldon. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2. Bandung: Kalam Hidup, 1999.

Milne, Bruce.  Mengenali Kebenaran. Jakarta: Gunung Mulia, 1996.

Morris, Leon.  Teologi Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas, 1986.




[1] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran (Jakarta: Gunung Mulia, 1996) 56.
[2] George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru (Bandung: Kalam Hidup, 1999) 2:381.
[3] Oscar Cullmann, The Christology of the New Testament (London: SCM, 1959) 310-311.
[4] F.F. Bruce, The Epistle to the Hebrews: The New International Commentary on the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1964) 4.
[5] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 1993) 1:410-411.
[6] Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1986) 421.
[7] Ibid, 421.