Kristologi dalam
Ibrani 1
Kajian
teologis dalam Ibrani 1 tentang Yesus sebagai Anak Allah
Kitab Ibrani mengandung
Kristologi yang sangat tinggi dan mendalam. Pra-eksistensi Kristus disebutkan
pada awal kitab ini. Allah menciptakan dunia ini oleh Kristus (1:2). Kata
“zaman” yang dipakai secara literal memiliki arti segala yang terkandung dalam
waktu berasal dari Allah. Ia adalah penguasa waktu dan penentu waktu baik. Baik
dahulu, sekarang, maupun yang akan datang, kesemuanya berada dalam pengetahuan
Allah. Secara tepat John Calvin berkata, “Bagi Allah tidak ada masa lalu atau
yang akan datang, dihadapan-Nya jelas terlihat kekinian.[1]”
Dengan firman yang penuh kuasa, Kristus
menopang dunia (1:3). Ia merefleksikan kemuliaan Allah dan sifat-Nya (1:3).
Kita tidak menemukan pembahasan mengenai inkarnasi, namun pokok ini jelas dalam
pemikiran penulis ketika ia berbicara tentang kedatangan Kristus ke dalam dunia
(10:5; bnd. 2:9).[2]
Sebutan yang paling
tentang Kristus dalam kitab Ibrani adalah “Anak Allah” (1:2, 5; 4:14; 5:5; 6:6;
7:3). Sebagai Anak, Ia adalah ahli waris segala sesuatu (1:2) yang turut ikut
ambil bagian dalam sifat keilahian. Para malaikat menyembah-Nya (1:6), bahkan
dalam kitab Ibrani Yesus disebut Allah dengan mengacu pada Mazmur 45,
“Takhta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya” (1:7). Keilahian
Kristus juga terlihat dalam penggunaan istilah Tuhan (Yun. Kurios).
Beberapa bagian dari Perjanjian Lama tentang Allah sebagai Tuhan dikutip
berulang kali (7:21; 8:8, 11; 10:16, 30) dan Yesus adalah Tuhan. Kesejarahan
Yesus dalam kitab Ibrani disebut dua kali (2:3; 7:14); dan satu kali dalam
bagian Perjanjian Lama yang menunjukkan Allah dikenakan kepada Kristus (1:10).
Dalam pengertian yang lebih luas, Yesus adalah Allah.[3]
Bila menelaah lebih
dalam kitab Ibrani 1:2-3 merupakan pernyataan yang lebih ringkas, tetapi
penting, karena mengemukakan pandangan tentang Kristus yang sama tingginya
dengan Filipi 2 dan Kolose 1. Di dalam ayat-ayat ini, penulis menggabungkan dua
pertimbangan, yaitu hubungan Kristus (yang diperkenalkan sebagai Anak) dengan
ciptaan, dan hubungan-Nya dengan Allah.
Dalam pertimbangan
hubungan Kristus dengan ciptaan disebutkan dua hal yang penting. Pertama,
Kristus dikatakan “ditetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa apa yang telah diciptakan adalah milik Kristus,
sesuai dengan pernyataan dalam Kolose 1:16 bahwa segala sesuatu diciptakan
“untuk Dia.” Peranan Kristus dalam penciptaan ditekankan di sini dengan sama
jelasnya dengan pernyataan dalam surat Filipi dan Kolose, walaupun terdapat
satu perbedaan yang perlu diperhatikan. Dalam Ibrani dipakai istilah “alam
semesta” (Yun. aiones), bukan dunia (Yun. kosmos).[4]
Istilah alam semesta mencakup lebih daripada istilah dunia. Kedua, dalam surat
Ibrani, Kristus digambarkan sebagai penopang segala yang ada dengan firman-Nya
yang penuh kekuasaan, yang memperlihatkan pekerjaan-Nya dalam penciptaan yang
terus menerus.
Pertimbangan hubungan
Kristus dengan Allah ditemukan dalam gabungan dua kata yang menggambarkannya
yaitu apaugasma dan kharakter. Pengertian kata yang pertama
berbicara tentang cahaya yang memancar dari sumber yang cemerlang. Kiasan ini sangat baik namun terbatas karena
pada dasarnya tidak berpribadi. Dalam kitab Kebijaksanan Salomo 7:26 kata ini
digunakan untuk menggambarkan Hikmat yang dianggap mempunyai pribadi tetapi
bukan sebagai makhluk manusia. Kata ini juga digunakan oleh Philo untuk
menggambarkan logos namun sekali lagi tidak dianggap sebagai pribadi
manusia. Penggunaan istilah apaugasma untuk Kristus dalam Ibrani 1:3
harus dimengerti dalam arti bahwa kemuliaan Allah dapat dilihat secara sempurna
di dalam Yesus Kristus, gagasan ini persis sama dengan gagasan tentang ‘gambar’
dalam Kolose 1:15. Kita juga dapat menghubungkan gagasan ini dengan Yohanes
1:14 yang menyatakan bahwa kemuliaan Allah dapat dilihat di dalam Anak. Semua
ayat ini menyatakan bahwa Yesus Kristus ialah penyataan yang sempurna dari
Allah.
Kata kedua, kharakter,
mengungkapkan gagasan mengenai stempel di atas cap, yang digunakan untuk
memperlihatkan adanya persesuaian yang tepat antara Anak dan Bapa. Disamping itu, persesuaian tersebut dihubungkan dengan hakikat
(Yun. hupostasis) dari pribadi itu. Stempel menghasilkan bentuk cetakan
yang persis sesuai dengan bentuknya sendiri. Apa yang tidak ada pada stempel tidak akan
terdapat pada cetakan. Tetapi sekali lagi penggunaan kiasan ini terbatas karena
pada dasarnya tidak berkepribadian dan dapat menimbulkan kesan bahwa Anak
berbeda dengan Bapa seperti cap cetakan berbeda dengan stempel, padahal tidak
demikian.
Cukup beralasan bila
menduga bahwa kedua kiasan ini mungkin mengambil gagasan tentang Adam yang
dijadikan menurut “gambar” Allah dari Kejadian 1:26, dan juga menerima sesuatu
dari gagasan Paulus yang terdapat dalam surat Roma dan 1 Korintus, yaitu
mengenai Kristus sebagai Adam yang Akhir. Mengingat kegagalan Adam, maka agak
membesarkan hati bila kita mengetahui bahwa Kristus dengan sempurna telah
menggenapi tugas mencerminkan Allah.
Dalam Ibrani 1:3
ditegaskan bahwa Anak “duduk di sebelah kanan Yang Maha Besar, di tempat yang
tinggi.” Pengaruh dari Mazmur 110:1 dapat dilihat di sini karena tidak ada
keraguan bahwa Mazmur ini memberikan pengaruh yang kuat pada penulis surat
Ibrani. Nama bagi Allah yang penuh penghormatan ini juga digunakan dalam Ibrani
8:1 dan menggarisbawahi sikap hormat dan takut kepada-Nya (bnd. Ibr 12:28-29).
Kedudukan Anak di sebelah kanan Allah ditekankan sebagai persiapan untuk uraian
tentang Imam Besar (bnd. Ibr 8:1).
Tetapi antara pandangan ini dengan apa yang disebut pengagungan Yesus dalam
Filipi 2:10-11 terdapat perbandingan yang jelas. Dalam Ibrani 1:3 dijelaskan
bahwa pengagungan menyusul setelah tindakan penyucian dosa, ajaran ini juga
tercakup dalam surat Filipi dalam penjelasan secara tidak langsung mengenai
ketaatan Yesus sampai mati di kayu salib. Penulis kitab Ibrani memulai
tulisannya dengan memperkenalkan Imam Besar dalam keadaan yang dipermuliakan.
Hal ini sangat mengesankan mengingat kitab ini mengemukakan kemanusiaan yang
sempurna dari Imam Besar kita. Kitab Ibrani melakukan pendekatan kepada Yesus
sebagai manusia dari sudut pandang Anak Allah yang dipermuliakan.[5]
Serangkaian
kutipan Perjanjian Lama dalam Ibrani 1 erat hubungannya dengan pernyataan
pembukaan dalam Ibrani 1:1-3 yang memberi pengertian baru tentang pribadi
Kristus. Mazmur 2:7 dikutip untuk menyampaikan gagasan mengenai Kristus sebagai
Anak yang dilahirkan dari kekal. Gagasan ini menyinggung soal keberadaan-Nya
sebelum segala sesuatu ada. Ajaran yang terakhir itu juga terdapat dalam uraian
tentang Melkisedek (Ibr 7:1-10). Kutipan 2 Samuel 7:14 menyatakan keadaan-Nya
sebagai Anak yang kekal, yang langsung membedakan Dia dari malaikat-malaikat.
Kutipan dari Ulangan 32:43 (terjemahan LXX) didahului dengan suatu pernyataan
mengenai “yang sulung” (prototokos) yang memiliki arti yang sama dengan
“Anak” dalam ayat-ayat sebelumnya. Istilah ini terdapat juga dalam Kolose 1:15,
18 dan Roma 8:29 yang dalam masing-masing ayat dinyatakan keunggulan Kristus.
Meskipun dalam Ibrani 1:6 kurang ditekankan, namun kebenaran itu termasuk dalam
keseluruhan penyajian tentang Kristus dalam kitab Ibrani.
Keterangan
lain dalam kitab Ibrani dicatat bahwa para malaikat menyembah Yesus saat
kelahiran-Nya yang dapat dibandingkan dengan Injil Lukas. Kutipan dari Ulangan
32:43 (yang sejajar dengan Mzm 97:7) cukup mencolok, karena dalam kutipan itu
apa yang semula ditujukan pada Allah diterapkan pada Kristus. Dengan
menggabungkan Mazmur 104:4 dengan Mazmur 45:7-8 (menurut terjemahan LXX), kitab
Ibrani membandingkan asal usul malaikat-malaikat (yang ‘dijadikan’) dengan
keberadaan Anak yang kekal. Yang lebih mencolok lagi, Anak dipanggil dengan
kata-kata “Ya, Allah;” hal ini merupakan suatu penunjukan langsung akan
keilahian. Ayat ini dalam penerapan semula dari kitab Mazmur ditujukan pada
raja Israel yang berkemungkinan diartikan
‘Allah adalah takhta-Mu,’ tetapi kitab Ibrani memandangnya dengan
pengertian lain saat digunakan pada Yesus. Kutipan penutup yang diambil dari Mazmur
102:26-28 jelas ditujukan pada Yesus, walaupun sekali lagi dalam konteks
aslinya Mazmur ini berbicara mengenai Allah. Yesus dipandang sebagai pencipta
(Ibr 1:3), tetapi juga sebagai hakim. Lagi pula, kutipan ini secara tidak
langsung menunjuk pada keadaan Anak yang tidak berubah yang sangat berbeda
dengan ciptaan-Nya yang dapat rusak.
Dari
segi perjanjian dengan Kristus yang terdapat dalam kitab Ibrani, terdapat
penggabungan sifat ilahi Yesus dalam Pasal 1 dengan kesempurnaan-Nya sebagai
manusia dalam Pasal 2. Penilaian yang benar akan sifat ilahi Kristus harus
disejajarkan dengan kemanusiaan-Nya. Dalam keadaan sementara, Yesus lebih
rendah dari malaikat-malaikat (2:6-9) sebagaimana yang dikutip dalam Mazmur
8:4-6. Sifat sementara memang berlawanan dengan Ibrani 1, tetapi penderitaan
dan kematian yang diakibatkan inkarnasi dilihat sebagai penahbisan dengan
kemuliaan dan hormat (2:9). Sifat kehidupan inkarnasi Yesus dinyatakan dalam
Ibrani 2:17, “Dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya.”
Manusia yang sejati merupakan pemenuhan syarat sebagai Imam Besar yang menaruh
belas kasihan dan setia. Lagi pula, karena mereka yang menjadi tujuan pelayanan
Yesus dalam kedatangan-Nya (2:14) adalah “anak-anak dari darah dan daging,”
maka Ia juga harus mempunyai sifat kehidupan yang sama. Dapat dikatakan bahwa
seluruh uraian Ibrani bergantung pada kesamaan Yesus dengan manusia, karena
kemanusiaan-Nya yang sejati sama pentingnya dengan keilahian-Nya.
Kemanusiaan
Yesus tidak luput dari pencobaan (2:18) hanya Ia tidak berdosa (4:1-5).[6] Ini
bisa berarti meskipun Ia dicobai namun tidak berdosa, atau Ia mengenal segala
macam pencobaan kecuali pencobaan yang timbul sebagai akibat dosa. Dalam hal
yang mana pun, pencobaan ditandaskan sebagai sesuatu yang nyata. Pentingnya
kemanusiaan Yesus guna keimaman ditegaskan dalam Ibrani 2. Pengalaman Yesus di
Taman Getsemani dilukiskan sebagai bentuk ketaatan yang sempurna dari Anak
kepada Bapa. Tema ketaatan ini diulangi lebih lanjut dalam Ibrani 10:9 yang
mana kata-kata dari Mazmur 40:7-9 diterapkan pada Yesus dan dipakai sebagai
keterangan misi-Nya, yaitu ‘ketaatan’ pada kehendak Bapa. Hal ini merupakan
kunci untuk mengerti persembahan diri Yesus guna keselamatan manusia.
Dengan
cara mengagumkan, kitab Ibrani memperlihatkan aspek ganda dari pribadi Yesus.
Penulisnya menganggap penting untuk menetapkan bahwa Yesus adalah Anak Allah
dan juga manusia sejati, sebagai prasyarat untuk dapat menjelaskan misi-Nya dan
apa yang dicapai-Nya. Ia tidak melakukan pendekatan pada Kristus dengan cara
yang spekulatif, juga tidak mendahulukan perdebatan kristologis yang terjadi
kemudian. Kristus yang hidup dalam dunia ini merupakan Yesus yang bangkit dan
dimuliakan. Bagi penulis, Orang yang berteriak dengan keras dan mencucurkan air
mata pada waktu penderitaan-Nya adalah sama dengan Orang yang sekarang
mengambil tempat di sebelah kanan Yang Maha Besar, di tempat yang tinggi (bnd.
Ibr 12:2). Rasul Paulus meskipun mengungkapkan pemikirannya dengan cara
berbeda, sangat setuju dengan pandangan mengenai Kristus yang diungkapkan di
sini.
Ketaatan
sampai mati, bahkan mati di kayu salib, yang disebut dalam Filipi 2:8 merupakan
pendekatan yang sama seperti yang terdapat dalam Ibrani saat berbicara tentang
penderitaan Yesus. Di dalam keduanya, penderitaan di kayu salib dipandang sebagai
suatu kehinaan. Boleh dikata, Kristus itu selalu sempurna dalam arti Ia selalu
siap untuk menderita dan bahwa pada waktunya Ia mencapai kesempurnaan karena
sudah benar-benar menderita.[7]
Yesus
adalah manusia sempurna tanpa dosa sebagaimana disebutkan dalam Ibrani 4:15
merupakan tema khusus dalam kitab Ibrani. Karena Yesus tidak berbuat dosa, maka
Ia sebagai contoh bagi kita menjalani kehidupan yang benar. Kita dapat hidup
bebas dari pemberontakan yang bersifat dosa terhadap Allah saat kita hidup di dalam
Kristus. Gagasan ini agak mirip dengan gagasan Paulus tentang ‘Adam yang
Akhir’, yang menyatakan ketaatan Kristus yang sempurna dibandingkan
ketidaktaatan Adam yang berdosa (Rm 5:12, 19).
DAFTAR PUSTAKA
Bruce, F.F. The
Epistle to the Hebrews: The New International Commentary on the New Testament. Grand
Rapids: Eerdmans, 1964.
Cullmann, Oscar. The Christology of the New Testament. London:
SCM, 1959.
Guthrie, Donald. Teologi
Perjanjian Baru. Jakarta: Gunung Mulia, 1993.
Ladd, George Eldon. Teologi
Perjanjian Baru. Jilid 2. Bandung: Kalam Hidup, 1999.
Milne, Bruce. Mengenali Kebenaran. Jakarta: Gunung
Mulia, 1996.
Morris, Leon. Teologi Perjanjian Baru. Malang: Gandum
Mas, 1986.
[1]
Bruce Milne, Mengenali Kebenaran (Jakarta: Gunung Mulia, 1996) 56.
[2]
George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru (Bandung: Kalam Hidup, 1999)
2:381.
[3]
Oscar Cullmann, The Christology of the New Testament (London: SCM, 1959)
310-311.
[4]
F.F. Bruce, The Epistle to the Hebrews: The New International Commentary on
the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1964) 4.
[5]
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 1993)
1:410-411.
[6]
Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1986) 421.
[7]
Ibid, 421.