Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 11 Mei 2015

Kontemplasi


Pembaruan Budi

Pengantar

Seorang mistikus India menceritakan sesuatu tentang dirinya, “Saya adalah seorang revolusioner ketika masih muda, dan doa saya waktu itu adalah Tuhan berilah saya tenaga untuk mengubah dunia.” Ketika saya hampir berusia setengah abad dan merasa bahwa setengah hidup saya sudah berlalu tanpa saya berhasil mengubah satu orang pun, saya mengubah doa saya demikian: “Tuhan, berilah saya rahmat untuk mengubah orang yang berhubungan dengan saya, yakni keluarga dan sahabat-sahabat saya, maka saya akan puas.” Sekarang, saya sudah tua dan hidup saya tidak akan lama lagi, dan saya pun mulai melihat betapa bodohnya saya. Maka doa saya sekarang adalah demikian: “Tuhan, berilah saya rahmat untuk mengubah diriku sendiri, seandainya saya sudah berdoa seperti ini sejak dahulu, maka hidup saya tidak akan menjadi sia-sia.”                                                                                                                     -  De Mello
Apakah kisah di atas bisa diulangi oleh kita? Mengapa Allah memanggil kita untuk mengalami pembaruan diri?

Perenungan



            Bagi orang-orang Yunani, akal budi (Bhs.Yun. nous) mempunyai arti dengan konotasi yang jelas, namun waktu Paulus menggunakan kata tersebut ia memakai cara yang khas Ibrani (Bhs.Ibr. leb). Ia tidak memikirkan ‘akal budi’ sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia atau salah satu indra yang istimewa. Dalam pemikiran Ibrani, manusia itu utuh sebagai makhluk yang mampu mengerti dengan akal budi. Akal budi manusia berhubungan dengan bagian-bagian lain dan ia menjangkau seluruh kegiatan mental manusia, bukan hanya sebuah pemikiran.
Dalam perkataan Paulus bahwa, “Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Flp 4:7) tersirat suatu segi yang universal dari akal budi manusia. Segi yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia itu tergantung pada pihak mana yang menguasainya, Roh Allah atau daging. Apabila akal budi tidak mengakui Allah, maka timbul tingkah laku yang tidak pantas (Rm 1:28). Ia menimbulkan pengaruh yang merugikan dan sulit menerima kebenaran firman Allah. Bahkan lebih dari itu, ketidakpercayaan manusia memberi tempat bagi ilah-ilah dunia untuk bekerja dan  membutakan pikiran mereka (2 Kor 4:4). Mereka semakin jauh dari Tuhan, karena pikiran mereka dikuasai daging dan ilah-ilah dunia.
Bukan demikian halnya dengan kita yang percaya pada Allah. Akal budi kita diberi cahaya (2 Kor 4:6) dan  dapat diperbarui (Rm 12:2). Sudah seyogianya bahwa kita diciptakan oleh Allah untuk selaras dengan Dia. Akal budi kita harus sesuai dengan akal budi Allah (1 Kor 2:16). Akal budi kita akan berfungsi sebagaimana mestinya hanya kalau memenuhi kehendak Allah. Melalui pembaruan akal budi, kita dapat mengetahui perbuatan tangan Allah yang ajaib atas alam semesta dan mengenal kehendak Allah dalam hidup kita. Pembaruan akal budi akan menghasilkan daya tanggap yang lebih tajam dibandingkan keadaan sebelumnya. Kita dapat membedakan manakah kehendak Allah dan yang bukan kehendak-Nya, apa yang baik dan berkenan kepada Allah dengan yang tidak dikenan-Nya, hanya ketika akal budi kita diperbarui (Rm 12:2).
Pembaruan akal budi merupakan tindakan Allah yang penuh dengan kemurahan. Ia mau menjadikan kita manusia baru dengan akal budi yang telah diperbarui. Dengan mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah (Rm 12:1), secara tidak langsung sebenarnya kita meletakkan seluruh akal budi kepada Allah. Allah mau kita mengasihi Dia dengan segenap akal budi (Mat 22:37), karena itu penyerahan akal budi menjadi mutlak. Tidak ada pembaruan budi yang menyeluruh bila penyerahan diri tidak sepenuh hati. Akal budi kita harus takluk pada Sang Pencipta. Segala rencana dan rancangan yang dihasilkan oleh akal budi  kita tidaklah boleh berlawanan dengan prakarsa Allah. Bukan apa yang kita anggap baik adalah baik dalam pikiran Allah. Allah tahu rancangan-rancangan apa yang ada pada-Nya mengenai kita. Ia merancangkan damai sejahtera dan memberikan hari depan yang penuh harapan (Yer 29:11). Bila kita tahu bahwa dalam pemikiran Allah segala yang dikerjakan mendatangkan kebaikan bagi kita, maukah kita memikirkan seperti yang Ia pikirkan?
Menaklukkan pikiran kita dan menyerahkannya pada Allah berarti memberi tempat bagi pekerjaan Roh Allah. Roh Allah mau menjadikan kita manusia baru dengan pikiran ilahi. Pikiran yang sejalan dengan pikiran Allah dan hanya bermaksud memenuhi kehendak-Nya, bisa terjadi dalam kehidupan kita. Bila kehidupan orang Kristen dikuasai oleh Roh Kudus, maka Roh Kudus akan mengendalikan akal budinya. Ia akan mendapati bahwa pikirannya semakin sepadan dengan pikiran Roh. Karena itu tidak heran kalau rasul Paulus berkata, “Kami memiliki pikiran Kristus” (1 Kor 2:16) yaitu pikiran Allah pada diri orang-orang yang percaya pada Yesus yang telah diterangi  oleh Roh Kudus (1 Kor 2:10). Biarlah Roh Kudus memimpin hidup kita dengan mengarahkan pikiran kita kepada apa yang Allah pikirkan bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga bagi sesama manusia.
 
Penerapan
·         Adakah sesuatu yang kita pikirkan dan tidak diketahui oleh Allah (Luk 5:22)?
·         Perubahan apakah yang sulit dialami oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (Luk 5:21) sehingga kuasa pengampunan Kristus tidak berlaku atas mereka (ay 23-24)?

Ayat emas:
“Ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!”
(Mazmur 139:23-24)


cd
“Cacat hanya akan menghambat kita jika kita biarkan. Ini benar bukan saja dalam soal fisik, melainkan juga dalam soal emosional serta intelektual...
Saya percaya bahwa keterbatasan yang nyata serta kekal tercipta dalam pikiran kita, bukannya tubuh kita”
·        Roger Crawford
ba


Tidak ada komentar: