Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 08 Februari 2008

Pendekatan Teologi PL

DIAKRONIS,

SEBUAH PENDEKATAN BARU DALAM TEOLOGI PERJANJIAN LAMA ?

(Pdt.Tjandra Tan, M.Th.)


A. Fenomena Era Modern

Diantara banyak faktor yang menandai peralihan dari kurun waktu pramodern menuju era modern dalam dunia teologi, mungkin hal yang terpenting adalah penerimaan metodologi penelitian kritis dalam mempelajari Alkitab. Sejak lama, tugas seorang penafsir ialah berusaha menjelaskan secara lengkap makna Alkitab itu. Berbagai kitab dalam Alkitab dianggap telah ditulis oleh tokoh-tokoh yang oleh tradisi dihubungkan dengannya, dan pada tanggal yang telah ditetapkan oleh tradisi. Kebanyakan orang kristen percaya bahwa Alkitab mengisahkan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi. Ada pendapat bahwa suatu kronologi Alkitab dapat dibuat, dan memang hal ini telah dilakukan oleh Uskup Agung James Ussher yang menetapkan bahwa penciptaan terjadi pada tahun 4004 Sebelum Masehi. Keempat kitab Injil ditata secara selaras dengan tujuan memberikan suatu biografi tentang Yesus.

Sekalipun demikian secara perlahan-lahan pendekatan terhadap penelitian Alkitab berubah. Bidang studi historiografi telah mengembangkan metodologi-metodologi yang baru. Salah satu di antaranya ialah penelitian sejarah yang antara lain berusaha untuk memastikan keaslian atau ketidakaslian beberapa dokumen tertentu. Metode ini pertama kali dipakai oleh Laurentius Valla pada tahun 1440 yang berhasil membuktikan kebenaran pendapat Nicholas dari Cusa yang menyatakan sebuah dokumen berjudul “donation of Constantine” itu tidak asli.Dikatakan bahwa dokumen tersebut berasal dari kaisar Konstantinus Agung kepada Paus Sylvester I, yang telah dipakai oleh gereja Katolik Roma untuk mendukung pernyataannya bahwa gereja diberi kuasa untuk memerintah Italia Tengah. Namun penelitian kritis yang dilakukan oleh Valla, dan secara terpisah oleh Reginald Pecock pada tahun 1450, serta banyak sarjana lainnya setelah itu, telah berhasil membuktikan kepalsuan dokumen tersebut.

Bila metode ini dapat berhasil digunakan untuk memastikan keaslian atau kepalsuan dokumen tadi, maka dirasakan cukup masuk akal bahwa metode tersebut juga dapat dipakai untuk memeriksa kitab-kitab dalam Alkitab. Benarkah Musa menulis kelima kitab yang secara tradisional dianggap telah ditulis olehnya? Benarkah peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam Alkitab itu benar-benar terjadi? Penelitian sejarah telah diterapkan pada Pentateukh dan pada pertengahan abad ke-19 “hipotesis dokumen-dokumen” sudah dikembangkan sepenuhnya. Hipotesis tersebut mencantumkn ajaran-ajaran berikut:

1. Pentateukh merupakan kumpulan berbagai bukti. Dokumen-dokumen tersebut disebut J, D, E, dan P. Bukti-bukti bagi adanya dokumen-dokumen ini antara lain berupa penggunaan nama ilahi yang berbeda-beda ketika menyebutkan Allah, adanya kisah-kisah yang ulung atau yang tumpang tindih, serta berbagai variasi yang kurang penting dalam kosa kata dan gaya.

2. Pentateukh disusun jauh sesudah masa hidup Musa.

3. Banyak kisah sejarah yang tidak akurat. Beberapa bagian bahkan jelas sekali bersifat khayalan serta merupakan dogeng.

4. Menurut beberapa bentuk teori, bagian-bagian terkemudian dalam Pentateukh dapat dibedakan dari bagian-bagian yang terdahulu berdasarkan perkembangan agama yang diyakini pasti telah terjadi.

Bila hipotesa di atas benar adanya, maka Alkitab tidak dapat dipercayai seluruhnya dan dikutip begitu saja hanya karena dianggap dapat dipercaya. Agaknya Alkitab harus diperiksa dengan teliti untuk mengetahui mana yang asli dan mana yang palsu. Dari permulaan yang awal ini, penelitian kritis terhadap Alkitab kemudian berkembang menjadi suatu prosedur yang canggih, bahkan sampai melibatkan penggunaan komputer.[1]

B. Sejarah Metode Diakronis di Abad Modern

Tidak terlalu mudah dalam menelusuri cikal-bakal munculnya metode ‘diakronis’ dalam rentang waktu sejarah perkembangan teologi Perjanjian Lama. Gerhard F. Hasel tatkala berbicara tentang permulaan dan perkembangan teologi Perjanjian Lama dengan bertitik-tolak dari era Reformasi sampai Pencerahan, memberi peluang melihat masa Pra-Reformasi dalam karya H. Oberman, “The Harvest of Medieval Theology”.[2] Belum termasuk beberapa orang yang telah beralih pendekatan seperti George Ernest Wright yang menjelaskan dalam bukunya The Old Testament and Theology (New York, 1969) bahwa ia sekarang telah berubah dan “harus berdiri di pihak Eichrodt …(hlm.62) yang sebelumnya dalam studinya yang terkenal berjudul God Who Acts: Biblical Theology as Recital (BST, 8; London, 1952), ia merasa dirinya dekat dengan pandangan-pandangan teologi Gerhard von Rad dalam soal teologi Perjanjian Lama.[3]

Pendekatan diakronis yang dirintis von Rad sudah tentu memiliki perjalanan waktu panjang dalam menganalasi beberapa pendekatan yang mirip dengannya maupun berseberangan pendapat sebelum sebuah sintesa dihasilkan. Von Rad sendiri mengakui pengaruh Wellhausen dalam pendekatan Pentateukh khususnya dimana dia mengikuti pola tersebut (Old Testament Theology, Vol I , 1962, hlm.3) dan berterima kasih untuk itu (hlm.113).

Sebelum sampai pada pemikiran Wellhausen yang dipengaruhi filsafat Hegel dan B.Duhm yang berkecimpung dalam Teologi-Filosofika (hlm.113-114), Baruck Spinoza pada tahun 1950 telah meragukan tradisi orang-orang Yahudi maupun tradisi gereja yang mengakui kepengarangan Musa dalam Pentateukh. Lalu Astruc (1753) yang mengemukakan teori “Documentary Hypothesis” dalam kitab-kitab Pentateuch yang memuat beberapa sumber dokumen, dan Eichorn (1780-) yang memperjelas sumber yang dimaksud adalah Jehovah dan Elohim. Tentulah sudah dapat di kira bahwa Ilgen (1798), DeWette (1805), Hupfield (1853) dalam “Modified Documentary Hypothesis”, Graf (1860) dan pada puncaknya Wellhausen (1876),[4] akan tergoda untuk menelusuri terus masalah sumber (source criticism).

Walter Brueggemann dalam “Theology of The Old Tesmament” menempatkan von Rad sebagai tokoh kedua yang mempengaruhi sebagian besar Amerika Serikat; itupun setelah dua puluh tahun usia penulisan Eichorodt, seorang perintis utama Teologi Perjanjian Lama dengan pendekatan representatif terhadap keseluruhan PL. Guru vod Rad, Albrecht Alt dan pengikutnya Martin Noth, mereka membangun perhatian historika sebelum zaman kerajaan Israel dan ini berdekatan dengan pandangan Rad walau isi dan penekanannya amat berbeda. Bagi Brueggemann, jauh lebih awal adalah penemuan kembali penterjemahan teologi di abad ke-19 setelah Perang Dunia tahun 1914-1918 dimana perkembangan liberal begitu pesat. Karl Barth memiliki peran penting di tahun 1919 dengan “Epistle to the Romans”yang menghasilkan perubahan besar terhadap teologi. Isi dari perubahan teologi itu menekankan kuasa anugerah Allah yang dikenal dalam Yesus dari Nazaret. “Church Dogmatic” dari karya Barth tidak hanya mempengaruhi teologi sistematika, namun juga pandangan teolog terhadap teologi Perjanjian Lama.[5]

Von Rad telah mengamati Martin Noth yang menggunakan pendekatan kronistik, sebuah pencarian secara historis dimana menurutnya fakta Perjanjian Lama secara serius didapati bukan hanya perbendaharaan dari informasi sejarah tradisional, namun perencanaan matang berbagai sumber yang nyata bagi sejarah Israel disamping sumber eksternal yang sekunder dalam waktu panjang untuk memahami suatu sejarah.[6] Tentang metode historika yang pernah dipakai biblika sains, menurut E. Troltsch dalam “Uber hitorische und dogmatische Methode” (Tubingen 1889, hlm 729) sebagaimana yang dikutip oleh von Rad, dikatakan bahwa metode historika itu seperti ragi yang mengubah segala sesuatu dan akhirnya mengkhamirkan seluruh bentuk metode-metode teologi. Itu berarti kritisisme adalah segala kemungkinan penerapan dari analogi… tetapi kemampuan analogi menyatakan seluruh peristiwa-peristiwa sejarah itu identik dalam prinsip.[7] Itulah sebuah kelemahan yang ingin disingkirkan von Rad dan ia membangun sejarah tradisional Israel.

Gerhard von Rad memakai pendekatan diakronis[8] dalam dua volume bukunya “Old Testament Theology” yang mewakili pemikiran kritis modern. Metode diakronis itu sendiri telah mengalami kemajuan dimana G. von Rad telah mempelajari dan mengembangkannya.

Penulis dengan terang-terangan menyebut nama Gerhard von Rad yang mempengaruhinya dalam penulisan Theologia Perjanjian Lama (Jilid I, hlm.19; II, hlm.13; III, hlm.49)..[9]

Christoph Barth nampaknya telah mengritisi karya Von Rad dalam tulisannya “Grundprobleme einer Theologie des AT,” EvTh,23 (1963), 342-372. Meskipun bukan kali pertama dari beberapa sajana Perjanjian Lama yang meninjau dan membicarakan masalah yang diajukan Von Rad (Hasel, Teologi PL (terj), hlm.74, dibawah catatan kaki), namun paling tidak beliau telah memahami dan memodifikasi.

Kritik sumber dalam PB dihasilkan dari latar belakang a priori namun fakta-fakta menentukan bagi penggunaan sumber-sumber lain /palsu di PB dalam dokumen-dokumen PBnya. Tidak hanya keluar lokasi dan jelas kelihatan duplikasi pada dokumen-dokumen yang nampak pada Injil sbg contoh, menjalni proses editorial yang kompleks dari hal yang sering dibayangkan; banyak yang penting dan banyak fakta-fakta yang ambigu yang disediakan dari benturan fenomena berdasarkan persetujuan antara Injil sinoptik di bagian-bagian yzang pasti.[10]

Kodrat dari PL antara Ilahi dan Manusiawi

Sebelum studi metode menafsirkan Alkitab, kita harus memikirkan secara singkat apakah alkitab itu dan bagaimana terjadinya.

Pengakuan inspirasi dan keaslian keilahian dari Alkitab (II Tim 3:16), perantaraan manusia yang tatkala membacanya sebagai literatur dan sejarah orang-orang, tempat-tempat, dan peristiwa-peristiwa. Diri Allah dinyatakan melalui kata (literatur) dan peristiwa (sejarah). Penyataan datang melalui medium peristiwa-peristiwa sejarah dan sebuah sejarah umat dan kebudayaannya. Keuntungan dua medium ini adalah mengakui Allah kita tidak hanya ide-ide atau pengalaman mistis tetapi suatu dasar sejarah bagi iman kita.[11] Dalam penterjemahan, penterjemah-penterjemah dan proses-proses yang berlangsung nampaknya tidak sampai mengorbankan salah-satu dari kedua hal tersebut.[12]

Sejarah tradisi diakronis yang dirintis oleh G. von Rad yang bersikeras bahwa tidak ada pusat sehingga tidak ada kesatuan. Vriezen, sebagaimana orang-orang lain setelah dia, telah mengerjakan ulang keseluruhan teologi Perjanjian Lamanya untuk “menekankan lebih kuat kesatuan dari keseluruhan” dengan bantuan konsepsi persekutuan. Dorongan untuk melakukan ini adalah penolakan Rad terhadap kesatuan pengertian tentang Perjanjian Lama.

Metode diakronis untuk teologi PL tergantung pada riset sejarah tradisi yang dikembangkan sekitar tahun 1930-an. Rad berusaha “menceritakan ulang” kerugma atau pengakuan Perjanjian Lama yang terungkap lewat metode sejarah tradisi diakronis. Pendekatan diakronis menembus sampai ke beberapa lapisan berturut-turut dari ayat PL tertentu dengan tujuan mengungkapkan “kegiatan teologi Israel yang mungkin merupakan salah satu kegiatan yang tergolong paling penting dan menarik, yaitu usaha-usaha yang senantiasa baru untuk membuat tindakan-tindakan penyelamatan ilahi relavan bagi setiap masa dan waktu –pencapaian dan pengakuan yang senantiasa baru tentang tindakan-tindakan Allah yang akhirnya membuat berbagai pengakuan iman lama menjadi tradisi-tradisi yang begitu banyak. Von Rad merupakan sarjana pertama dan satu-satunya yang pernah menerbitkan sebuah teologi PL yang sepenuhnya diakronis tentang tradisi-tradisi sejarah Israel. Dia mengawali teologi tradisinya dengan sebuah skema tentang sejarah pemujaan Yahweh dan lembaga-lembaga keagamaan Israel sebagaimana direkonstruksikan dengan memakai metode penelitian sejarah dan menyatakan bahwa “penelitian sejarah mencari-cari hal minimum yang sudah pasti berdasarkan tinjauan kritis –sedangkan gambaran kerugmatik cenderung mencari hal yang maksimum bersifat teologis”[13]. Von Rad mengemukakan bahwa kita hanya memiliki catatan sejarah dalam Perjanjian Lama berbentuk penafsiran, gambaran saja. Jadi, ada dua tipe sejarah yang pertama didapatkan melalui rekonstruksi metode yang memakai teknik kritikus dan sejarawan modern, yang lain adalah pengakuan iman bangsa Israel yang didapat dari metode sejarah tradisional. Tipe pertama menghasilkan angka terendah dan telah dilakukan oleh banyak ahli PL sedangkan yang kedua dengan angka tertinggi masih belum dikembangkan.

Ada kepercayaan pada kejadian-kejadian sejarah yang dikonstruksikan melalui penelitian sumber. Frans Hesse menolak argument von Rad untuk membuat tingkat pengakuan dalam sejarah sebagai obyek iman. Bagaimana mungkin sejarah yang salah itu menjadi obyek iman yang sejati? Iman harus bersandar pada apa yang terjadi, dan hanya kritikus serta sejarawan modern yang bisa mengatakan kepada kita apa yang sesungguhnya terjadi atau tidak terjadi dalam tradisi Perjanjian Lama.[14]

(Kaiser, 41-42) James Barr memberi tantangan keras kepada aksioma baru teologi alkitabiah dalam pidato pelantikannya, bahwa penyataan Allah secara lisan mempunyai hak yang sama untuk menempati inti dari tahapan teologi sebagaimana halnya sejarah. Hanya secara apologetika lebih enak untuk menghapuskan diam-diam bagian aksioma dalam catatan Alkitab dari perhatian umum. Terlepas dari tindakan berpengaruh yang dapat mengabaikan sistem pengertian dari Alkitab sendiri, ternyata penyataan Allah sama sekali tidak terpusat pada sejarah yang nyata: yaitu peristiwa-peristiwa sebagaimana sungguh-sungguh terjadi. Sebaliknya, daerah tindakan Allah dalam rekonstruksi ilmiah menghasilkan sesuatu yang kurang nyata jika dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam ruang dan waktu. Namun, seolah-olah untuk mengganti kerugian tersebut, kita dinyakinkan bahwa tindakan Allah “secara kerugmatik” lebih berguna.

Pendapat Kaiser

Metode diakronis adalah metode yang dipakai untuk menyediakan berbagai kebutuhan eksegesis dan melaksanakan visi asli dari disiplin ilmu teologi PL. Karangan G.von Rad dipersiapkan untuk menandai teologi kepada sejarah tentang studi agama Israel. Awal dari kembalinya teologi ini dapat dilihat ketika Rad menjawab pertanyaan tentang “obyek” dari teologi PL yang secara jujur dikatakan yaitu apa yang diakui Israel mengenai Yahweh. Pengakuan tersebut bukan pernyataan iman, melainkan tindakan yang dengannya bangsa Israel menyatakan kesadaran mereka tentang hubungan mereka dengan Allah. Dengan kata lain, tidaklah mungkin untuk menulis suatu teologi tentang Perjanjian Lama; yang ada ialah teologi-teologi tentang Perjanjian Lama. Lebih jauh lagi, fakta sejarah yang sebenarnya haruslah dipisahkan dari sejarah yang ditafsirkan yang mungkin merupakan ungkapan iman yang ada di dalam kitab Ulangan 25:5-10. Dalam hal ini penafsiran sejarah perlu diubah dan dibetulkan sehingga teologi alkitabiah dapat menemukan obyeknya.

Substansi utama dari peristiwa-peristiwa yang secara khusus diseleksi dan ditafsirkan oleh para penulis Perjanjian Lama itu dapat juga dicatat dalam bentuk rangkuman-rangkuman singkat yang digambarkan von Rad sebagai kredo bangsa Israel yang mula-mula, seperti Ulangan 26:5-9:

“Bapaku dahulu seorang Aram, seorang pengembara, Ia pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal disana sebagai seorang asing, tetapi disana ia menjadi suatu bangsa yang besar, kuat dan banyak jumlahnya. Ketika orang Mesir menganiaya dan menindas kami dan menyuruh kami melakukan pekerjaan yang berat, maka kami berseru kepada Tuhan, Allah nenek moyang kami, lalu Tuhan mendengar suara kami dan melihat kesengsaraan dan kesukaran kami dan penindasan terhadap kami. Lalu Tuhan membawa kami keluar dari Mesir dengan tangan yang kuat dan lengan yang teracung dengan kedahsyatan yang besar dan dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat. Ia membawa kami ke tempat ini, dan memberikan kepada kami negeri ini, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.” [15] (analisa pernyataannya)

Dalam studi tentang struktur sastra dari Hexateukh, G.von Rad menunjuk pada kredo dalam Ul 26:5-9 dan kredo-kredo serupa seperti Yosua 24:16-18 dengan pengakuannya yang dibatasi pada permulaan zaman para bapak leluhur, penindasan di Mesir, pembebasan dari Mesir, dan pengembaraan di padang gurun serta masuk ke Kanaan sebagai inti dari enam kitab pertama dalam kanon. Segi yang paling menyolok ialah bahwa berbagai peristiwa di gunung Sinai, yang memang merupakan inti dari Pentateukh, tidak termasuk di dalam kredo. Von Rad menarik kesimpulan bahwa peristiwa di gunung Sinai termasuk dalam tradisi tersendiri –meskipun tradisi itu sudah tua –dan sejarah yang tersendiri yang tidak terkait dengan pengalaman Keluaran atau pengalaman di padang gurun. Belakangan dalam masa pembuangan barulah orang-orang yang dinamakan pengikut Yahweh berani menghubungkan hukum Taurat dengan Injil. Kalau tidak, Sinai merupakan legenda kultus tentang kesejarahan yang meragukan dan suatu gangguan yang memisahkan materi Kadesy dalam Keluaran 17 dengan sambungannya dalam Bilangan 10.[16]

Gerhard von Rad tidak mempunyai dasar untuk berpendapat bahwa masuknya dua belas suku Israel ke Kanaan sebagai visi yang sama persis dengan yang dimiliki oleh para leluhur. Hanya Martin Noth yang menganggap bahwa bahwa baik janji tentang negeri maupun janji tentang keturunan adalah bagian dari teologi zaman para bapak leluhur. (komentar bergurupada namun beda pendapat) Hlm.43 martin menggunakan Pekerjaan kronistik, pencarian secara histories., Fakta serius menurutnya bahwa PL bukan hanya perbendaharaan dari informasi sejarah tradisional, namun perencanaan matang sebagai sumber yang nyata bagi sejarah Israel disamping sumber eksternal yang sekunder dalam waktu panjang untuk memahami suatu sejarah.[17]

Kesetiaan terhadap pesan teks dalam bentuk kanonik sebagaimana yang sekarang ada pada kita mengharuskan kedua janji tersebut diperlakukan sebagai bagian yang sama autentik dan sama perlunya dari pesan Allah kepada para bapak leluhur.

Dengan memisahkan maksud “kerugmatis” atau tujuan-tujuan homilitik dari bermacam-macam penulis Perjanjian Lama dengan fakta-fakta sejarah Israel, Rad tidak hanya menolak setiap dasar sejarah yang asli bagi pengakuan iman bangsa Israel akan Yahweh, tetapi ia mengubah pokok ajaran teologi itu dari berfokus pada firman Allah dan pekerjaanNya menjadi berfokus pada berbagai konsepsi keagamaan umat Allah. Bagi Rad tidak ada perlunya melandaskan kerugma kepercayaan pada suatu kenyataan yang obyektif menurut sejarah, dan pada suatu peristiwa. Alkitab lebih merupakan pernyataan iman dari manusia Perjanjian Lama dan bukan merupakan sumber iman mereka. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa setiap periode mempunyai teologi tersendiri dengan berbagai ketegangan, perbedaan dan kontradiksi dengan teologi zaman Perjanjian Lama yang lain. Bagi Rad, tidak ada perpaduan di dalam pikiran para penulis Alkitab ataupun di dalam teks, hanya kemungkinan ada “kecenderungan kepada unifikasi”. Kaiser mengatakan bahwa historisisme telah kembali, PL tidak mempunyai poros sentral atau kesinambungan suatu rencana ilahi. Perjanjian Lama sebenarnya berisi narasi berupa bacaan keagamaan orang-orang berkenaan dengan sejarah mereka, usaha mereka untuk membuat berbagai peristiwa dan cerita lama menjadi nyata dan hadir dalam zaman mereka. [18]

Metode diakronis mengemukakan teologi tentang jangka waktu dan stratifikasi sejarah bangsa Israel secara berturut-turut. Penekanan diberikan pada tradisi-tradisi yang menyangkut pengalaman dan kepercayaan masyarakat agama secara berturut-turut.

Rad dengan pasti menegaskan bahwa Perjanjian Lama tidak mempunyai titik pusat seperti halnya yang terdapat dalam PB, sebuah argumentasi berdasar Teologi Protestan yang menerima kontinuitas PL dengan PB. [19]



[1] Erickson, Millard J, “Teologi Kristen”

Malang, Penerbit Gandum Mas, 1999, hlm.101-103

[2] Hasel, Gerhard F, “Teologi Perjanjian Lama”

Malang, Penerbit Gandum Mas, 1992, hlm.15

[3] Ibid, hlm. 9

[4] Green, Denis, “Pembimbing pada Pengenalan Perjanjian Lama”

Malang, Penerbit Gandum Mas, 1994, hlm.41-42

[5] Brueggemann, Walter, “Theology of the Old Testament”

Minneapolis, Fortress Press, 1997, hlm. 1-13

[6] Noth, Martin, “The History of Israel

London, Adam and Charles Black, 1960, hlm.49

[7] Rad, Gerhard von, “Old Testament Theology” Vol 1

Edinburgh & London, Oliver and Boyd, 1962, hlm. 107

[8] Hasel, Gerhard F, “Teologi Perjanjian Lama”

Malang, Penerbit Gandum Mas, 1992, hlm.73

[9] Rad, Gerhard von, “Old Testament Theology” Vol 1

Edinburgh & London, Oliver and Boyd, 1962

Rad menyebut Wellhausen dimana dia mengikuti polanya (hlm.3) dan berterima kasih padanya (hlm.113). Wellhausen sendiri dipengaruhi filsafat Hegel, kemudian berlanjut pada B.Duhm yang berkecimpung di theologia-filosofika (hlm.113,114).

[10] Marshall, I.Howard, “New Testament Interpretation” Essays on Principles and Methods

USA, William B.Eermans Publishing Company, 1985, hlm.139

[11] Broyles, Craig C, “Interpreting the Old Testament” A Guide for Exegesis

USA, Baker Book House Company, 2001, hlm.13-14

[12] Ibid, hlm.15-19

[13] Rad, Gerhard von, “Old Testament Theology” Vol 1

Edinburgh & London, Oliver and Boyd, 1962, hlm.108

[14] Dicuplik oleh Kaiser, “Teologi Perjanjian Lama “

Malang, Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2000, hlm.43

[15] Rad, von Gerhard, “Old Testament Theology” Vol.1

London, Oliver and Boyd, 1965, hlm.122

[16] Komentar Kaiser terhadap G.von Rad di “ Teologi Perjanjian Lama (terj) “

Malang, Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2000, hlm.86-87

[17] Noth, Martin, “The History of Israel

London, Adam and Charles Black, 1960, hlm.49

[18] Kaiser, Walter C, “ Teologi Perjanjian Lama “

Malang, Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2000, hlm.16

[19] Rad, von Gerhard, “Old Testament Theology” Vol.2

London, Oliver and Boyd, 1965, hlm.362

Tidak ada komentar: