Wikipedia

Hasil penelusuran

Selasa, 08 November 2011

TABIB ORANG SAKIT

Pengantar
            Dalam suatu perkumpulan anak-anak cacat yang dihadiri sebagian besar adalah orang tua dan guru anak-anak cacat mental, sebuah kisah bertutur tentang dunia pendidikan di Michigan di mana sampai kelas enam diintegrasikan antara anak-anak cacat mental dengan anak-anak normal. Suatu ketika tatkala waktu istirahat, seorang murid berbicara kepada temannya, “Ayo, Theresa, ayo kita pergi. Biarkan Elizabeth, dia cacat.”
            Mereka berdua pun pergi, dan Elizabeth, yang cacat mental namun tidak tuli, dengan perlahan berjalan ke depan dan berkata kepada gurunya, “Bu guru, apakah saya cacat?”
Dan guru itu tersenyum dengan ramah dan memegang tangan Elizabeth sambil berkata, “Benar, Elizabeth, kamu cacat.” Guru itu berhenti sejenak dan meneruskan, “Tapi, Elizabeth, saya pun cacat dan setiap orang juga cacat, karena tidak seorang pun yang sempurna. Meski demikian, Elizabeth, tak ada seorang pun yang cacatnya seperti orang yang sebenarnya bisa mengerti tapi tidak mau mengerti.”                    - Art Fetting

Bagaimana sikap kita terhadap orang yang cacat fisik? Bisakah kita mengerti tentang kecacatan diri bukan hanya melihat orang lain?

Perenungan 
          Kata tabib (Bhs.Ibr.rafa atau Yun.iatros) mengandung pengertian yang hampir sama dengan “dokter” pada masa kini yang berfungsi menyembuhkan (Kel 15:26) dengan mengobati (Mrk 5:26) penyakit-penyakit tertentu (Luk 8:43). Dalam sebuah pepatah, Yesus berkata kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang bersunggut-sunggut ketika Yesus makan dan minum bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat” (Luk 5:31). Apa arti perkataan ini? Tahukah kita bahwa kita adalah orang yang sakit? Bukankah amat disayangkan bila kita tidak menyadari penyakit kita?      
            Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat menganggap dirinya benar, sehat dan tidak cacat. Mereka bukan hanya memandang dirinya, tetapi menganggap orang lain berpenyakit, cacat dan berdosa. Penilaian diri yang keliru akan berdampak fatal bagi diri sendiri maupun orang lain. Lewi si pemungut cukai melihat dirinya sebagai orang berpenyakit yang membutuhkan tabib. Ia “berdiri dan meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Dia” (Luk 5:28). Datang pada Tabib yang Agung berarti penyakit telah tertangani dan kini meninggalkan dirinya sebagai orang tahir.
            Kisah yang sama juga dialami oleh seorang yang buta sejak lahir (Yoh 9). Meskipun setelah kesembuhannya baru mengenal Tabib yang Agung dan siapa dirinya (ay 35-38), namun tidak ada kata terlambat dalam mengikut Yesus. Hanya orang-orang yang tidak menyadari keberadaan dirinya, lalu menyangkali Tuhan Penyembuh (Ibr. Jehovah Rapha) yang datang untuk menolong orang-orang yang sakit. “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu” (ay 41). Perkataan yang serupa seperti di atas, kembali terucap dari mulut Yesus bagi orang-orang Farisi.
Cerita tentang orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bisa berlanjut pada masa kini sekalipun ditempatkan dalam rentang waktu yang lama. Pastilah para penulis Alkitab tidak bermaksud menginginkan kita seperti mereka. Inti dari berita yang ingin disampaikan yaitu kita memiliki Tabib yang Agung yang mengerti segala kelemahan dan kekurangan kita. Dia mengalami segala penyakit, penderitaan, kesesakan, penolakan, bahkan kematian. “Orang mengira Dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah, tetapi sesungguhnya penyakit kitalah yang ditanggung-Nya” (Yes 53:4). Maukah kita mengakui keberadaan diri kita yang sesungguhnya? Ada ganjaran bagi mereka yang tulus dan terbuka bagi Tabib yang Agung, bahwa oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh (Yes 53:5; 1 Ptr 2:24).

Penerapan
  • Apa kata Alkitab berkenaan dengan pekerjaan Tabib yang Agung (Luk 7:22)? Adakah sesuatu yang tidak dapat dilakukan-Nya terhadap orang yang hidup dan orang yang mati?
  • Apakah kita mau mengakui keberadaan diri kita di hadapan Tabib yang Agung apapun kelemahan, kekurangan, kesalahan dan dosa kita? Apa janji Tabib yang Agung bagi yang datang pada-Nya (Luk 7:23)?

Ayat emas:

“Aku akan mengaku kepada Tuhan pelanggaran-pelanggaranku, dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku.”
Mazmur 32:5
 
“Seorang yang benar-benar butalah yang tidak dapat melihat pengaruh kejahatan yang sedemikian hebat dalam dunia. Bahkan perlu campur tangan Allah sendiri untuk membebaskan kemanusiaan dari kutukan kejahatan, karena tanpa campur tangan-Nya manusia akan terhilang.”



  • Carl Gustav Jung

Minggu, 08 Mei 2011

Materi Pemuridan

Allah Melihat Hati

Pengantar
            Seorang nenek tua dan cucu perempuannya sedang memilih benih sebagai persiapan untuk menanam. Melihat isi kantong kecil yang ada ditangannya, si cucu bertanya: “Apakah setiap benih itu sama dengan suatu janji, nek?” Ya, jawab sang nenek. “Setiap benih adalah sebuah janji, tetapi sama seperti janji yang mana beberapa syarat harus dipenuhi sebelum terwujud.” Tuhan telah memberi kita janji penghiburan di saat sedih; kekuatan di saat pencobaan; cahaya di saat hari-hari gelap. Tapi kita harus memiliki iman dan ketabahan untuk terus maju dalam saat-saat sulit. “Sebelum benih kecil bersedia dikubur di dalam tanah, dan terbuka terhadap hujan, angin dan sinar matahari, berbagai kemungkinan dan janjinya yang indah tidak akan terwujud.”   -Forward
Bagaimana dengan respons kita terhadap janji Allah?  Apakah kita membuka hati untuk Dia berkarya pada diri kita yang dipanggil sesuai rencana-Nya?

Perenungan
Istilah hati (Bhs.Ibr. leb atau Yun.kardia) dalam Alkitab bukan saja menunjuk pada organ tubuh tetapi jauh lebih mengarah pada kedalaman diri seseorang atau kepribadiannya (Kej 17:17; Pkh 1:16; Yer 3:15). Hati merupakan tempat bagi pengetahuan dan hikmat (Ul 8:5; 29:4; 1 Raj 3:9; Ayb 22:22), emosi (Ul 6:5; Yes 35:4) serta karakter moral dan spiritual seseorang (Ayb 27:6; 2 Sam 24:10; 1 Raj 3:6). Bila lebih dari 860 kali istilah hati muncul dalam Perjanjian Lama, dengan kata lain hati memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia.
Tuhan Yesus berkata: “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik” (Luk 6:45) dan “ucapan dari mulut sesungguhnya berasal dari hati” (Mat 12:34). Perkataan Yesus bisa diartikan bahwa hati sebagai pusat dari seluruh kehidupan manusia sangat mempengaruhi tindakan. Kita perlu terbuka bagi pekerjaan Allah di dalam hati supaya menghasilkan tindakan yang baik. Allah memerlukan tanah yang subur untuk ditaburi benih firman Allah supaya dapat bertumbuh dan menghasilkan buah sesuai kehendak-Nya (Mat 13:23).
Patut kita mengerti bahwa hanya Allah yang baik dapat melakukan sesuatu yang baik dalam kehidupan kita. Dia senantiasa menghasilkan kebaikan dari hati-Nya yang baik. Kita tidak bisa menghasilkan kebaikan dengan upaya sendiri, terlebih dari hati yang belum diperbarui. Hati yang terbuka adalah lahan yang memudahkan Allah mengulurkan tangan mengarap hidup kita. Kita dipanggil untuk selalu terbuka dalam proses pembentukan manusia Allah. Manusia yang serupa dengan gambar dan rupa Allah.
Firman yang kita dengar sungguh dekat, yakni di dalam mulut dan di dalam hati kita untuk dilakukan (Ul 30:14). Hati yang terbuka bagi Yesus dan mulut yang mengakui Dia adalah Tuhan atas hidup kita, tidak akan kehilangan kesempatan yang berharga di sepanjang kehidupannya. Sebab Allah melihat hati (1 Sam 16:7) yang terbuka bagi diri-Nya dan rencana-Nya yang mulia. Mari kita menghampiri Allah dengan hati yang terbuka untuk mendapat kasih karunia bagi jiwa yang hancur.


Penerapan
  • Bagaimana sikap raja Asa terhadap nabi Azarya bin Oded yang menyampaikan firman Tuhan (2 Twr 15:2, 8)? Bagaimana sikap kita terhadap kebenaran-Nya?
  • Apa yang dilakukan oleh raja Asa dan bangsa Yehuda berhubungan dengan hati yang terbuka dan pengakuan/perjanjian dengan Allah (2 Twr 15:12-14)?  Apakah kita melakukan hal yang sama dalam hati dan mulut kita?

Ayat emas:

“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata tetapi Tuhan melihat hati“
( 1 Samuel 16:7)

Biarlah hatimu menjadi rumah Allah, bukan bagi dunia dan segala perkaranya, tetapi bagi Allah dengan segala pikiran-Nya.
 


·        Andrew Murray

Kamis, 14 April 2011

Bahan Pemuridan

Aku Bukan Mesias

Pengantar
            Seorang anak laki-laki mempersilahkan kepada seorang ibu untuk memetik buah arbei dan menimbang sesuai ukuran yang dibelinya. Tanya seorang ibu: “Mengapa kamu tidak masuk dan melihat apakah saya mengambil buah arbeimu dengan tepat ukurannya?” “Saya tidak takut,” jawab anak itu, “karena ibu akan mendapatkan yang terburuk darinya.” “Apa maksudmu? Tanya ibu itu. Karena, bu,” jawab anak itu, “saya hanya akan kehilangan buah arbei; tapi ibu akan menjadikan diri sendiri seorang pencuri.”                                                                                         - Dr.Purnell Bailey
Bila tidak ada yang tahu atau melihat kita, apa yang akan saudara perbuat dengan barang orang lain?  Bagaimana dengan sesama kita waktu saudara berbicara tentang diri sendiri? Apakah kita sebesar, sehebat atau sepandai apa yang kita perkatakan?

Perenungan
Seorang psikolog yang bernama Ralph Earle pernah berkata: “The secret is the fertile place for an addiction.” Sesuatu yang dirahasiakan memang merupakan lahan yang subur bagi kita untuk mengulanginya. Kita bisa menjadi kecanduan untuk tidak mengatakan yang benar tentang diri sendiri. Kesaksian diri merupakan ungkapan batin yang nampak  lewat sikap, perkataan maupun perbuatan. Kesaksian yang benar lahir dari batin yang murni tanpa konflik diri. Antara hati dan tindakan selaras, pikiran dan perasaan tidak saling menuduh atau membela diri, dan apa yang diucapkan lahir dari motivasi yang tulus.
       Yohanes Pembaptis berkata berkata benar. Ia tidak mendustai diri. “Aku bukan Mesias,” akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun (Yoh 1:20, 23). Ia tahu siapa dirinya dan berkata-kata tentang dirinya, sebelum berbicara perihal Mesias.
       Jujur terhadap diri tidak akan melukai nurani. Benar di dalam batin akan membuahkan kebenaran bagi orang lain. Sebaliknya, dusta pada diri sendiri melahirkan dusta terhadap sesama. Tidak ada yang dapat dipertukarkan dengan nilai kejujuran.
          Yohanes Pembaptis tidak mencari popularitas diri, lagi bila ia berhadapan dengan Mesias. “Membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak” (ay 27). Ia tahu diri, jujur terhadap diri, berkata benar tentang diri, dan kesaksian itu benar dihadapan Tuhan.
        Bagian terpenting dari jujur pada diri adalah kebenaran di mata Allah. Tidak seorangpun tahu apa yang terdapat di dalam dirinya selain rohnya (1 Kor 2:11) dan sudah barang tentu Roh Allah yang tahu secara persis. Orang yang jujur pada diri sendiri dikenan oleh Allah. Ia dinyatakan benar tatkala mengakui siapa dirinya. Tanpa menutupi atau menyangkali keberadaan diri, memudahkan pekerjaan Allah yang terbesar terjadi atas kita. “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yoh 1:9).  Allah memanggil kita bukan untuk mendustai diri sendiri, demikian juga dengan karya-Nya pada diri kita. Kita tidak berkata benar bahwa Allah berbuat baik pada kita bila kita tidak mengalami kebaikan-Nya. Ia berkata maka Ia melakukan. Janji-Nya berlaku bagi kita yang terpanggil sesuai rencana-Nya. Mari kita berkata jujur pada diri sendiri, karena Ia jujur terhadap diri-Nya dan apa yang dikatakan pasti digenapi.

Penerapan
  • Apa kata Daud dihadapan Allah ketika ia telah menghampiri Batsyeba (Mzm 51:5)? Apakah kita berkata jujur pada diri sendiri seperti raja Daud?
  • Apa ganjaran bagi raja Daud yang jujur pada diri sendiri, pada nabi Natan dan terlebih pada Tuhan (2 Sam 12:13)?  Bila melihat upah yang besar dibalik penderitaan yang berat tanpa kejujuran, apakah kita mau bersikap jujur pada diri sendiri sekalipun orang lain tidak tahu?

Ayat emas:
Siapa yang jujur jalannya, keselamatan yang dari Allah akan
Kuperlihatkan kepadanya
 (Mazmur 50:23)

“Orang yang sambil menempuh jalan menuju kebenaran itu menjadi sadar betapa jauh perjalanan yang masih harus ditempuh menuju hidup tak bercela, dialah itu yang sungguh maju dalam kebenaran.”

  • De Spriritu et Littera karya St.Augustinus

Rabu, 23 Maret 2011

Bahan Pemuridan

ANAK TUKANG KAYU

Pengantar

            Bagaimana jika anda bisa menjadi sesuatu yang lain atau orang lain? Anda memilih menjadi siapa?  Apakah anda mau menjadi usahawan?  Bintang film?  Mentri?  Olahragawan terkenal?
            Seorang wartawan bertanya kepada George Bernard Shaw tak lama sebelum dia meninggal. Tanyanya, “Bapak Shaw, anda sudah mengunjungi beberapa orang terkenal di dunia ini. Anda telah mengenal kaum bangsawan, para pengarang yang terkenal, artis dan guru. Seandainya anda bisa mengulangi lagi hidup anda dan menjadi seseorang lain yang sudah anda kenal, atau seseorang yang tercatat dalam sejarah, anda hendak memilih menjadi siapa?”  Jawab Shaw, “Saya akan memilih menjadi George Bernard Shaw yang seharusnya.”                                                                                    - Majalah Quote

Perenungan

            Tidak ada perubahan data atau catatan sejarah dalam riwayat hidup Yesus. Ia anak laki-laki sulung dari Maria, tunangan Yusuf yang berasal dari keturunan Daud (Luk    2:4-7). Pekerjaan hari-hari sebagai tukang kayu (Bhs.Ibr. Harash atau Yun.tekton) merupakan matapencarian orang tua-Nya (Mat 11:55). Anak tukang kayu adalah sapaan yang lazim melekat pada diri Yesus. Entah itu panggilan bernada positif maupun seperti ejekan yang diterima-Nya saat melayani di kota Ia dibesarkan, Nazaret (Mrk 6:3). Perjalanan sejarah kehidupan Yesus tidak ditutupi-Nya. Tatkala seorang ahli Taurat berkata kepada-Nya: “Guru, aku akan mengikut Engkau, kemana saja Engkau pergi.” Yesus berkata kepadanya: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia (anak tukang kayu dengan segenap keberadaan-Nya) tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Mat 8:20).
            Kita dapat menutupi diri dengan kesalehan semu, perbuatan baik, berlindung di bawah pengaruh dan kuasa orang tua. Merasa diri berarti di balik timbunan kekayaan, kedudukan atau jabatan, ketampanan dan kecantikan fisik, tampilan-tampilan lahiriah lainnya, semuanya itu bukanlah diri kita yang sesungguhnya. “Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang” (Why 3:17).  Dihadapan Allah bisa jadi kita berbeda dari kenyataan, seperti jemaat di Laodikia. Orang lain mungkin tidak mengenal masa silam kita apalagi masa yang akan datang, namun tidak demikian di mata Tuhan. Kita tidak diminta untuk mengingkari, menganggap tidak ada, menggantinya dengan sekemampuan dan sekehendak hati atas realita hidup. Kenyataan yang sudah dijalani memberikan gambaran bahwa saudara dan saya tidak lebih dan tidak kurang adalah orang-orang berdosa.
“Semua orang telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan” (Rom 3:23). Tidak ada semarak, keindahan dan kemegahan pada diri kita. Kesalehanku seperti kain cemar, itulah yang didapati pada kita. Firman-Nya benar dan kita lah yang kedapatan berdosa. “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita” (1 Yoh 1:8).
Apa yang hendak kita perbuat bila realitas kebenaran-Nya berkata: “Sebab upah dosa ialah maut”(Rom 6:23)?  Inilah yang hendak kulakukan, dosaku kukatakan pada-Nya dan Ia akan berkata: “Marilah, baiklah kita berperkara! –firman Tuhan- Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba” (Yes 1:18).
Panggilan Allah tidak menghilangkan, menjadi kabur apalagi menutupi keberadaan diri kita. Allah tahu seluruh perjalanan hidup kita, karena itu latarbelakang bukan sebuah rahasia bagi-Nya. Masa depan sungguh ada bagi mereka yang mengakui masa lalu dan hidup untuk masa kini yang tidak dihantui masa lalu.

Penerapan

  • Apakah Allah mengetahui pikiran, perasaan, perkataan atau perbuatan kita sekalipun orang lain tidak tahu (Mzm 139:1-4)?
  • Bagaimana sikap pemazmur dihadapan Allah yang maha tahu (Mzm 139:23-24)? Apakah kita bersikap yang sama saat berhadapan dengan Allah yang maha tahu?

Ayat emas
Marilah kita dengan dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia
(Ibr 4:16)

“Terima kasih, Tuhan Yesus, karena engkau telah memilih untuk tinggal di dalam hatiku, dan Engkau datang untuk hidup di dalam aku selama tahun-tahun yang lalu.”

  • Doa Luis Palau setiap pagi

Jumat, 11 Maret 2011

Bahan Pemuridan

Kasih Karunia

Pengantar
Seorang suster telah mengobati penyakit borok tropis yang menimpa seorang pemuda dengan mengganti perbannya setiap hari. Pemuda yang menderita penyakit itu datang dengan tongkat; boroknya sangat besar dan dalam. Suster itu memberinya penisilin yang terbaik, padahal waktu itu penisilin masih jarang; dan setiap hari ia membersihkan nanah sehingga tak lama setelah itu kulit baru mulai tumbuh di pinggiran borok itu. Sebulan kemudian, ia berkata pada pemuda itu: “Sudah baik, sekarang kamu tidak perlu datang lagi kesini. Borokmu sudah sembuh.” Pemuda itu tidak berkata “terima kasih” namun sebaliknya bertanya, “Apa yang akan suster berikan pada saya yang telah setia datang ke sini setiap pagi?”                           –Frank Mihalic

Bagaimana respons kita terhadap kisah pemuda di atas? Lalu bagaimana saudara melihat diri sendiri berkenaan dengan panggilan Allah?

Perenungan
Kasih karunia (Bhs.Ibr. chen) merupakan perbuatan seorang atasan kepada bawahan yang sebenarnya tidak layak menerimanya (Kej 6:7; Kel 33:17; Bil 6:25). Tidak ada manusia yang dapat menunjukkan kasih karunia kepada Allah dan hanya Dia yang menyatakannya dengan memilih Bapak-bapak leluhur Israel dan juga Israel sebagai umat-Nya. Dalam pemilihan-Nya tidak ada jasa atau kebenaran yang didapati pada manusia (Ul 7:7-8 bnd. Ul 8:18).
Saudara dan saya adalah orang yang memperoleh kasih karunia. Yesus datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk 19:10). Kasih karunia-Nya (Bhs.Yun.charis) diberikan secara cuma-cuma sebagai berkat rohani yang istimewa (Luk 14:16-24). Kita disambut, diterima dan dipeluk oleh bapak secara hangat walaupun kita dulu seperti anak yang hilang (Luk 15:20-24).
Bukan karena sesuatu yang ada pada diri kita, maka Allah memberi kasih karunia-Nya dan memilih kita menjadi pelayan-Nya. Ia menunjukkan kasih karunia-Nya yang melimpah dalam kehendak-Nya bagi kita supaya kita menyadari diri sebagai orang yang dikasihi. Orang-orang yang dikasihi Allah secara bebas dan penuh tanggung jawab menyadari bahwa setiap langkah dalam proses kehidupan Kristen bergantung pada kasih karunia. Rasul Paulus memandang pekerjaan Allah sejak panggilan sampai kemuliaan orang yang dibenarkan-Nya tidak lepas dari kasih karunia (Rm 8:28-30). Bagi kita yang telah meresponi panggilan yang mulia, sesuatu yang baru sudah terjadi atas kita melalui Dia. Biarlah kasih karunia-Nya bertambah-tambah bagi kita yang membuka hati untuk memenuhi panggilan Tuhan.

Penerapan
  • Bila kasih karunia (charis) berhubungan dengan panggilan untuk pengabdian diri (Ibr 12:14, 15), bagaimana saudara menyikapinya?


Ayat emas:
Karena engkau telah mendapat kasih karunia dihadapan-Ku dan
Aku mengenal engkau (Kel 33:17).
 Kata bijak:
Allah mengasihi kita dan karenanya saudara berharga
  • Martin Luther