Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 11 Februari 2008

Misiologi

Pukat Missio Dei bagi Kaum Oikumenikal

(Pdt.Tjandra Tan, M.Th.)

A. Pendahuluan

Sejak awal berdirinya gereja, bahkan bila dikaitkan antara Perjanjian Lama dan Perrjanjian baru yang tak terpisahkan, perhatian terhadap misi bukan hanya didefinisikan. Tuntutan misi Allah menghendaki umatNya dan juga gereja yang terlahir berkat pekerjaan misi, untuk melakukan tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan Tuhan.

Seiring dengan perjalanan waktu, sejarah mencatat pergeseran-pergeseran yang pernah terjadi dimana umatNya atau gereja terlampau eksklusif, cukup puas diri terhadap karya Ilahi didalam dirinya tanpa tergerak untuk menindaklanjuti misi Allah. Pekerjaan Allah dalam hal ini nampaknya dapat terhenti, namun sebaliknya missio Dei terus berlangsung dan berkembang menembus dinding-dinding pemisah/tembok-tembok penghalang buatan manusia atau akibat yang dihasilkannya.

Misi Allah terus berlanjut sampai masa kini. Pukat missio Dei berharap akan membawa banyak jiwa pada Yesus Kristus dengan cara yang tepat, tidak bertentangan dengan Alkitab, dan percaya akan penyertaan Tuhan di dalam dan melalui RohNya tatkala misi dijalankan. Beda halnya dengan kaum oikumenikal yang akan dibahas, mereka mulai mempertanyakan dasar sendi-sendi iman kristen yang telah dibangun oleh para rasul, meragukan kekokohannya dengan merombak dan meletakkan dasar lain selain sola scriptura. Kenyataan yang sudah terjadi ini patut kita sikapi secara kritis, arif dan bijak, sambil mengerjakan pekerjaan Yesus selama hari masih siang ( Yoh 9:4 ).

B. Arti Pukat dalam Konteks Misi

Jaring atau jala adalah alat yang terbuat dari tali (benang) yang ditautkan, digunakan untuk menangkap ikan atau menjaring binatang liar. Ada empat kata Ibrani yang dipakai dalam hal ini yaitu ‘yrsy’ yang berarti mengambil; dan ‘resyet’ merupakan jaring untuk menangkap burung (Am 1:17) atau jala untuk menangkap makhluk-makhluk dalam air (Yeh 32:3), dan sering dipakai mengkiaskan komplotan penjahat (mis Mzm 9:16, dipasang untuk menjerat kaki), atau mengenai penghakiman Allah (mis Yeh 12:13, yang dilemparkan ke mangsa).

Kata Ibrani kedua ‘kherem’ yaitu sesuatu yang penuh dengan lobang-lobang, pukat besar yang biasanya dibentangkan di pantai untuk mengeringkannya (Yeh 26:5); kata ini dipakai mengkiaskan hati jahat seorang wanita yang menjerat (Pkh 7:26) dan mengkiaskan penghakiman Allah (Yeh 32:3; Mi 7:2; Hab 1:15). Dari akar kata ‘tsud’ (pemburuan), muncul kata ‘metsoda’ yaitu istilah untuk jala ikan (Pkh 9:12); lalu kata Ibrani yang berhubungan dengan itu ‘matsud dan metsuda’ dipakai juga untuk menggambarkan penghakiman Allah (Ayb 19:6; Mzm 66:11).

Kata terakhir dari akar kata Ibrani ‘kmr’, menghasilkan kata ‘mikhmoret’ yaitu jala yang dibentangkan para nelayan pada permukaan air (Yes 19:8); lalu muncul istilah ‘mikhmeret’ (pukat) sebagai pertanda dari bala tentara Kasdim (Hab 1:15); dan yang berhubungan dengan itu adalah ‘mikhmor’ (alat menangkap lembu hutan) sedangkan ‘mikhmar’ mengkiaskan komplotan orang-orang fasik (Mzm 141:10).1 Keempat istilah dari bahasa Ibrani yang menunjuk pada jaring, jala atau pukat, tidak menutup kemungkinan penggunaannya dalam bentuk kiasan yang menunjukkan pada aspek negatif walau sisi positif tentang hukum dan keadilan Allah ditegakkan dalam penghakimanNya.

Berbeda dengan tiga istilah bahasa Yunani, ‘amphiblestron’ (lit.”sesuatu yang dilepas sekeliling”) menunjuk pada jenis jala kecil yang dilempar sebatas bahu membentuk lingkaran dengan diberi pemberat agar tenggelam (Mat 4:18). ‘Diktuon’ (kt.kerja “diko”berarti melemparkan) juga istilah yang menunjuk pada jala dimana dalam LXX digunakan untuk menangkap burung (Ams 1:17), difigurasikan sebagai jerat dalam Ayub 18:8; Ams 29:5. Dan lain dari itu adalah’sagene’ yang menunjuk pada pukat. Ada dua jenis pukat yang dipakai yaitu diturunkan ke air dan ditarik bersama di lingkaran sempit atau yang lainnya ditarik perahu setengah lingkaran ke pantai (Mat 13:47).2

Kata ‘sagene’ digunakan Tuhan Yesus untuk memgumpamakan Kerajaan Surga (Mat 13:47) yang dalam konteks misi pengertian Kerajaan Allah/Surga itu di kemudian hari dikembangkan. Konsep basileia (Kerajaan Allah yang berarti pemerintahanNya) merupakan ciri khas Injil Matius. Dibandingkan dengan 18 kali munculnya di Injil Markus, Injil Matius menggunakan istilah basileia sebanyak 52 kali, kebanyakan dengan tambahan “surga”.

Tema kerajaan Allah ini begitu dominan dalam pemberitaan Yesus menurut Matius, yang dapat dilihat dalam perumpamaan-perumpamaanNya (bnd. khususnya percakapan dalam pasal 13), penyembuhanNya dan pengusiran roh jahat (bnd. 12:28). Dua kali, dalam ringkasannya tentang pelayanan Yesus, Matius menggunakan ungkapan “memberitakan Injil Kerajaan” (4:23; 9:35). “Kabar baik” atau “Injil” di sini mengacu pada seluruh peristiwa kedatangan Yesus. Basileia yang kemudian mengikutinya (dalam konstruksi genetif “Injil dari basileia) tampaknya mengacu kepada Yesus sendiri. “Dari perspektif Matius, bertemu dengan kerajaan berarti bertemu dengan Yesus Kristus” (Senior dan Stuhlmueller 1983:237 dyb.). Dalam diri Yesus, pemerintahan Allah telah datang kepada umat manusia. Ungkapan yang unik “Injil basileia, menggarisbawahi sifat universal dan misioner yang terkandung di dalam pelayanan kerajaan Yesus. Cakrawala universal dari metafora kerajaan ini tersirat di dalam Injil Markus, tetapi semakin muncul ke permukaan dalam teologi misi Matius” 3

David J.Bosch telah berusaha menjelaskan bahwa ada dua misi yang mendapat tekanan dalam Injil Matius walau nampak kontradiksi. Banyak perhatian yang begitu mendalam tentang keeksklusifan Injil Matius secara khusus bagi orang-orang Yahudi, namun “Amanat Agung “ pada akhirnya juga harus dipahami sebagai kunci pemahaman Matius tentang misi dan pelayanan Yesus bagi orang-orang non-Yahudi. Dapat dikata bahwa Matius dengan sengaja mencantumkan kedua sisi dari ucapan-ucapan yang saling bertentangan ini demi keseluruhan maksud Injilnya.

Kemungkinan terbaik adalah mengasumsikan bahwa ucapan-ucapan yang berbeda juga mencerminkan pandangan-pandangan dan tradisi-tradisi yang berlawanan dalam komunitas Matius sehingga kita dapat menyimpulkan dan bertanggung jawab atas sejumlah perbedaan yang tajam. Matius memilih untuk mencantumkan keduanya sebagai keprihatinan pastoral dan mencerminkan posisi teologisnya. Penggunaan Perjanjian Lama bukanlah sekadar polemik (untuk melawan klaim-klaim para rabi terhadap PL), melainkan sungguh-sungguh pastoral dan misioner. Pastoral dalam arti bahwa ia ingin menyampaikan keyakinan diri pada suatu komunitas yang mengalami krisis identitas; dan misioner dalam arti ia ingin memperkuat para anggota komunitas dalam menemukan kesempatan-kesempatan untuk memberikan kesaksian dan pelayanan di sekitar mereka. Misi kepada Israel dan kepada orang-orang bukan Yahudi tidak perlu saling menyisihkan yang lain, tetapi sebaliknya harus saling merangkul.4

Dalam konteks misi, pukat secara spesifik di Injil Matius yang berhubungan dengan pengembangan Kerajaan Allah, tidak lepas dari teladan Yesus Kristus. Pemberitaan Injil harus berpusat pada Yesus. Konsep para murid yang pertama dalam menjalankan misiNya merupakan prototipe bagi gereja di kemudian hari. Murid-murid adalah orang-orang yang mengharapkan pemerintahan Allah (Mat 5:20), sebagai garam dan terang dunia (Mat 5:13), mereka yang sungguh-sungguh diberkati; dan kesemuanya dapat disimpulkan “oleh karena Aku” (Mat 5:11).

Kehadiran Yesus yang menetap berhubungan erat dengan keterlibatan para pengikutNya di dalam misi. Ketika mereka menjadikan murid, membaptiskan, dan mengajarkannya, Yesus tetap berada bersama para pengikutNya. Dalam Perjanjian Lama kehadiran Tuhan dengan umatNya secara khusus ditekankan ketika sebuah misi berbahaya akan dilaksanakan (bnd. Yos 1:5; Yes 43:1). Pertolongan yang sama yang dijanjikan Yahweh kepada umatNya di masa lampau kini dijanjikan Yesus kepada murid-muridNya ketika mereka keluar untuk melaksanakan misi yang berbahaya dan menghadapi penolakan dan penganiayaan. Yesus tetap hadir dengan murid-muridNya (…Aku menyertai kamu senantiasa, Mat 28:20) ketika mereka keluar untuk menjalankan misi.

C. Paradigma Baru Pukat Missio Dei

Dalam perkembangan misi dimana kita dapat mengikuti pembagian teologi ke dalam periode-periode yang diusulkan Hans Kung (1984) yaitu kekristenan perdana, periode patristik, abad pertengahan, reformasi, pencerahan, dan era oikumenis. Namun ada kemungkinan untuk mengikuti cara pembagian yang lain seperti James P.Martin (1987) dimana sejarah gereja dan teologi berjalan dari era “prakritis/vitalistis” atau “simbolik” (era Kung yang kedua, ketiga dan keempat dikelompokkan), lalu era “kritis/analitis” atau “mekanistis” (yaitu zaman Pencerahan) dan era “pascakritis/holistik” atau “oikumenis”. Klasifikasi Martin mempunyai segi positif, khususnya bagi suatu pemahaman tentang perkembangan interpretasi Alkitab.5

Melihat sejarah misi dan teologi yang dibangun sampai abad pertengahan yang mengarah pada eklesiastikal, maka misi sering ditafsirkan dalam pengertian soteriologis yaitu sebagai penyelamatan individu dari hukuman yang kekal; dalam pengertian budaya sebagai usaha memperkenalkan orang-orang dari Timur dan Selatan dengan berkat-berkat dan hak-hak istimewa dunia Barat yang kristen; dalam kategori-kategori gerejawi sebagai perluasan denominasi; dan dalam pengertian sejarah keselamatan dimana dunia secara evolusioner atau melalui peristiwa yang dahsyat akan ditransformasikan menjadi kerajaan Allah. Nampaknya pergeseran yang mengarah pada tindakan “kasih karunia manusia yang percaya” secara pribadi, instansi/badan misi dan organisasi gereja, maupun “kepercayaan absurd” yang bisa jadi akibat jenuh, kecewa, dan putus asa dalam memenuhi Amanat Agung; mulai mendominasi istilah “misi” dan itu berlangsung berabad-abad.



Oval:   Dunia

Figur 1






Right Arrow:   Misi                    Absurd


Oval:    Dunia


Oval: Gereja sbg       individu, organisasi, badan misi


Left Arrow:         Misi     Kasih Karunia



Namun setelah Perang Dunia I, para misiolog mencatat perkembangan-perkembangan mutahir berawal dari konferensi Misi di Brandenberg pada tahun 1932 dimana Karl Barth sebagai salah satu teolog pertama yang mengartikulasikan misi adalah suatu aktivitas Allah sendiri. Karl Barth (1886-1968) yang diberi gelar “inisiator utama paradigma pasca-modern dalam teologi”, menolak agenda liberal dimana misi dipahami sebagai usaha “memberadabkan” aktivitas manusia dalam bentuk kesaksian dan pelayanan. Misi, bagi Barth, dimulai dengan pengutusan Ilahi berupa diri Allah dalam Tritunggal yang kudus. Gereja dapat secara otentik berada dalam misi hanya dalam ketaatan kepada Allah sebagai missio.6 Karl Hartenstein dalam Die Mission als theologisches Problem (1933) mengungkapkan keyakinan sama yang kemudian pada pertemuan International Missionary Council (IMC) di Tambaram (1938) membuat pengakuan bahwa hanya “melalui suatu tindakan kreatif Allah, kerajaanNya akan digenapi dalam pembentukan terakhir sebuah langit yang baru dan bumi yang baru, dan kami yakin bahwa hanya sikap eskatologis inilah yang dapat mencegah gereja menjadi sekular”.

Pengaruh Barth sangat menentukan dalam paradigma teologis baru yang secara radikal meninggalkan pendekatan pencerahan terhadap teologi. Perkembangan pemikiran misi kemudian mencapai puncaknya pada konferensi IMC di Wilingen (1952) yang memunculkan gagasan missio Dei dimana misi dipahami berasal dari hakikat Allah sendiri. Misi diletakkan dalam konteks doktrin Tritunggal; Allah Bapa mengutus AnakNya, lalu Allah Bapa dan Anak mengutus Roh Kudus, dan Ketiga Yang Esa mengutus gereja ke dalam dunia.

Figur 2

Oval:   Dunia



Oval:   Gereja

Down Arrow: M  I  S  I


Striped Right Arrow: Misi Allah Tritunggal

Oval: Allah Bapa, Anak,  Roh KudusPertama-tama, arti misi tidak boleh dipisahkan dari diri Allah Tritunggal. Inisiatif misioner itu datang dari Allah sendiri. Kemudian, dalam memberi sosok pada konsep missio Dei, penekanan bukan pada aktivitas gereja. Bukanlah gereja yang mempunyai misi keselamatan yang harus digenapi di dalam dunia, ini adalah misi Anak dan Roh Kudus melalui Bapa yang mengikutsertakan dunia. Misi dipandang sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada dunia dan gereja dipandang sebagai sebuah alat untuk misi tersebut.

Misi gereja merupakan partisipasi di dalam pengutusan Allah yang tidak mempunyai kehidupannya sendiri, hanya di dalam tangan Allah yang mengutusnya misi dapat dikatakan benar-benar misi.

Tahap sederhana dari paradigma baru tentang missio Dei sebagai misi Allah, diberinya penekanan khusus pada kristologis. Misi merupakan solidaritas dengan Kristus yang menjelma dan disalibkan. Penegasan pada salib Kristus dapat mencegah kemungkinan akan rasa berpuas diri misioner. Lalu dalam Gaudium et Spes, yaitu “konstitusi penggembalaan tentang gereja di dalam dunia modern” dari Vatican II, pemahaman misi diperluas dengan menguraikan secara pneumatologis.

Sejarah dunia bukanlah sekadar sejarah tentang kuasa jahat, melainkan tentang kasih, sejarah dimana pemerintahan Allah diusahakan melalui karya Roh. Gereja dalam kegiatan misionernya yang menjumpai umat manusia dan dunia, sesungguhnya telah didahului oleh Allah yang bekerja secara rahasia melalui RohNya. Dengan kata lain, pengertian misi di transformasi dan tata ulang dalam keterkaitan dengan Trinitas, kristologis, pneumatologis dan eklesiologis. Hal ini didukung protestanisme yang konsiliar, kelompok-kelompok gerejawi seperti Ortodoks Yunani, beberapa kaum Injili, dan teologi misi Katolik.

Bila konsep missio Dei cikal bakalnya dari Karl Barth dan juga Hartenstein, maka maksud mereka adalah melindungi misi terhadap sekularisasi dan horisontalisasi, dan berfokus pada Allah. Hal ini dapat dikatakan sebagai paradigma baru dengan mengembalikan bentuk maupun isi pemberitaan secara proporsional dari perubahan dan pergeseran arti missio Dei, walau sebelum ini tema-tema primer atau asas-asas iman kristen yang unik dan eksklusif tetap dipertahankan. Pukat missio Dei dengan inti pemberitaan tentang keistimewaan Yesus Kristus dalam karya penyelamatan dan kehadiranNya senantiasa dalam gereja, justru menjadi teguh pada dasar pijakannya dan mengharuskan orang percaya untuk melaksanakannya tatkala dilekatkan pada Allah sebagai sumber misi (bukan semata tugas eklesiastikal dalam peran sertanya di dunia).

C. Pukat Misio Dei di Tangan Oikumenikal

Berbeda dengan paradigma baru pukat missio Dei dengan harapan membawa lebih banyak orang pada Yesus Kristus di dalam dan melalui gereja, perkembangan konsep missio Dei yang mengarah pada era oikumenikal, secara perlahan-lahan mengalami modifikasi (ditelusuri dengan rinci oleh Rosin tahun 1972) dimana pukat misi itu menunjukkan keprihatinan mendalam dari Allah terhadap seluruh dunia yang seharusnya menjadi cakupan mission Dei. Misi adalah tindakan Allah yang berpaling kepada dunia sehubungan dengan penciptaan, pemeliharaan, penebusan, dan penggenapan. Ia berlangsung dalam sejarah manusia yang biasa, bukan secara eksklusif di dalam dan melalui gereja. Misi Allah sendiri lebih besar daripada misi gereja. Missio Dei adalah kegiatan Allah, yang merangkul baik gereja maupun dunia, dan di dalamnya gereja dapat memperoleh hak istimewa untuk berperan serta.

Misi

Tidak ada komentar: