Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 11 Februari 2008

Kanon PB

KANON PERJANJIAN BARU,

SUATU REALITAS YANG PERLU DIPERTANYAKAN KEABSAHANNYA ?

(Pdt. Tjandra Tan, M.Th.)

A. PENDAHULUAN

Istilah ‘kanon’ dipinjam oleh orang Yunani dari orang Semit yang juga meminjamnya dari orang Sumer. Semula artinya ialah ‘buluh’. Kemudian buluh itu dipakai untuk mengukur, maka kata itu mendapat beberapa arti sehubungan dengan pengukuran, misalnya pengukuran, norma, hukum, batas, daftar dan indeks.[1] Dalam arti sebenarnya, kata kanon itu sendiri menunjuk pada daftar kitab yang lolos uji atau aturan tertentu dan dianggap berwibawa dan kanonik. Sedangkan penggunaan lain yang dimaksudkan adalah kumpulan dari kitab-kitab dalam kanon yang menjadi ukuran kehidupan kita.[2]

Kata ‘kanon’ muncul dalam Perjanjian Baru, misalnya di Galatia 6:16 “Dan semua orang, yang memberi dirinya dipimpin oleh patokan ini, turunlah kiranya damai sejahtera atas mereka”, yaitu semua orang yang hidup menurut Injil rasuli. Kanon dipakai secara umum tentang Alkitab, dan membicarakan batas-batas sastranya serta hal-hal seperti mengapa hanya kitab-kitab tertentu yang dianggap diilhamkan dan mengapa kitab-kitab itu semuanya dimasukkan dalam Kitab Suci yang diilhamkan.[3] Belum cukup sampai disana; ketika kanon itu menunjuk pada daftar yang berwenang dari kitab-kitab dalam Alkitab, sudah tentu bahwa kitab-kitab tersebut ditulis dalam jangka waktu yang panjang oleh berbagai penulis; yang kemudian muncul pertanyaan adalah bagaimana kitab-kitab itu dikumpulkan dan siapa yang memutuskan kitab-kitab mana harus dimasukkan ke dalam kanon Alkitab?

Pertanyaan-pertanyaan di atas membawa beberapa implikasi yang signifikan dan krusial bagi masyarakat modern yang tidak mudah menerima segala sesuatu, meragukan fakta-fakta yang ada sekalipun. Titik tolak pemikiran modern perlu dikenal walau kita tidak mungkin bergeser dari asumsi penulis Alkitab untuk memahami isi berita yang disampaikan, intisari tiap-tiap kitab, keotentikan dalam satu kesatuan maksud penulis, belum lagi dilihat benang merahnya dengan kitab-kitab lain.

Kanon-kanon sastra begitu penting, karena hanya karya-karya asli seorang pengarang sajalah yang dapat mengungkapkan pikiran-pikirannya, dan adanya karangan-karangan palsu yang terselip di antaranya akan membelokkan atau mengacaukan prinsip-prinsip yang hendak dinyatakannya. Demikian halnya dengan kanon Perjanjian Baru bila tidak disusun dengan memperhatikan keasliannya, kekuasaannya menjadi tidak pasti dan tidak akan ada suatu standar iman hidup yang pasti.[4]

B. PRESUPPOSISI TERHADAP KANON PERJANJIAN BARU

Presupposisi dalam pendekatan terhadap kanon Perjanjian Baru, khususnya interpretasi dan kritik pada PB, kebanyakan sarjana meletakkannya dalam seluruh studi historika, kritik literal, dan juga disiplin ilmu pengetahuan lain. Bagi sejarawan seringkali sangat berbeda dalam penilaian dari sumber material yang sama, sedangkan studi kritik literal oleh para sarjana PB juga kerap kali tidak tercapai persetujuan dalam interpretasi dari literatur kuno ataupun modern.[5] Sementara itu sebagian orang begitu yakin bahwa asas-asas yang mendasar dari agama Kristen diletakkan pada khotbah di Bukit dan di berbagai tempat lain dalam Perjanjian Baru; dimana keabsahan ajarannya bernilai dari dalam dirinya bahkan dampak yang dihasilkan.

Berkenaan dengan ajaran dalam PB, pertama-tama patut kita ketahui bahwa Injil Kristen bukanlah kumpulan etika atau sistem metafisika. Hakikat yang sesungguhnya dari agama Kristen dalam PB yaitu berita kesukaan, dan sebagaimana yang demikianlah ia dicanangkan oleh pemberita-pemberita pertama. Mereka menyebut kekristenan sebagai “Jalan” (bnd. Kis 9:2; 19:9,23; 22:4; 24:14,22) dan “Hidup” (bnd. Kis 5:20). Jadi sebagai awal dari presupposisi kita, perhatian ini tidak boleh bergeser walau kekristenan yang dikatakan sebagai Jalan dan Hidup walau bergantung pula pada penerima berita kesukaan yang berat sekali ikatannya dengan hukum sejarah. Sebab kesaksian PB mengatakan bahwa Allah masuk ke dalam sejarah untuk menyelamatkan dunia; yang kekal masuk ke dalam waktu; kerajaan surga menerobos kawasan bumi (pembahasan historisitas ini di point C).[6]

Kriteria sejati kanonitas Alkitab adalah ilham. “Segala tulisan yang diilhamkam Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2 Tim 3:16-17). Jadi segala yang diilhamkan oleh Allah adalah Kitab Suci (firman Allah), dan segala sesuatu yang tidak diilhamkan oleh Allah bukanlah Kitab Suci. Kitab Suci dengan perkataan lain merupakan catatan tertulis tentang firman Allah yang mempunyai kuasa.

Bila presupposisi ini dianggap mutlak, maka timbullah suatu pertanyaan baru, “Dari mana kita tahu bahwa suatu karangan diilhamkan?” Bukankah tidak semua kitab Perjanjian Baru dibuka dengan suatu pernyataan bahwa mereka diilhami oleh Allah ? Kita tahu bahwa beberapa kitab dalam PB membahas permasalahan yang sangat umum; yang lain mengandung teka-teki historis, sastra, dan teologis yang dapat dipecahkan dengan susah payah. Jadi, dapatkah dikatakan apa yang diilhamkan Allah pada penulis PB semata ditujukan untuk memuaskan semua pihak?

Beberapa pertanyaan diatas dapat dijawab bahwa pertama-tama ilham dari tulisan-tulisan dalam PB mendapat dukungan dari apa yang tersirat di dalam isinya, kemudian dikuatkan oleh pengaruh moralnya dan kesaksian historisitas dari gereja Kristus yang akan menunjukkan nilai tambah kepada kitab-kitab tersebut, meskipun gereja tidak membuatnya menjadi diilhami atau kanonik.

Inti daripada tulisan-tulisan PB yaitu bahwa semua mengandung satu pikiran yang sama tentang pribadi dan karya Yesus Kristus. Injil merupakan riwayat hidup Yesus, Kisah Para Rasul mecatat pengaruh histories dari kepribadianNya, Surat-surat mengandung ajaran teologis dan praktis yang bersumber pada penghayatan diriNya, dan kitab Wahyu menubuatkan hubungan diriNya dengan masa depan. Kita menyanggah dan menganggapnya tidak beralasan bagi mereka yang mengatakan bahwa setiap ‘tokoh lama yang menonjol’ dapat saja dilestarikan ceritanya. Di luar Perjanjian Baru tidak ada tanda-tanda bahwa Yesus Kristus dianggap penting oleh para pemimpin dan para guru di zamanNya, dan tidak ada alasan yang wajar bagaimana tulisan-tulisan mengenai diriNya dapat bertahan hidup di kawasan Romawi. Perjanjian Baru mengakui bahwa berita mengenai Kristus “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (I Kor. 1:23). Di mata orang-orang sezamanNya Yesus tidak lebih dari salah seorang di antara mereka yang mengaku sebagai Mesias dan yang telah ditindas oleh pemerintah. Bila kepustakaan mengenai diriNya dapat bertahan dan makin kuat pengaruhnya pasti ada sesuatu yang membuatnya demikian.

Berita mengenai diri Kristus adalah unik. Agama-agama yang berpusat pada individu-individu tidak asing pada abad yang pertama, tetapi mereka adalah pribadi-pribadi khayalan atau bila mereka adalah pribadi-pribadi historis, ibadah mereka tidak bertahan lama. Berita yang unik ini bersumber pada kitab-kitab yang disebut “kanonik”. Injil dan Kisah Para Rasul apokrifa lebih mementingkan pemberitaan mukjizat daripada segi ajarannya, dan segelintir surat-surat apokrifa yang ada merupakan rangkaian cuplikan dari kanon yang resmi. Dalam kecermatan penuturannya, dalam kedalaman ajarannya, dan dalam konsentrasinya pada diri Kristus, ada suatu perbedaan yang nyata antara kitab-kitab kanonik dan nonkanonik.

Dalam pengaruh moral dan rohaninya, kitab-kitab kanonik menunjukkan perbedaan. Semua sastra dapat merekam pikiran-pikiran manusia, beberapa di antaranya dapat mendatangkan pengaruh yang kuat, tetapi kitab-kitab Perjanjian Baru mengubahnya. Kekuasaan mereka merupakan bukti yang kuat dari ilham yang dimilikinya. Meskipun ujian ini nampaknya sangat subjektif, suatu presupposisi, karena di dasarkan pada reaksi manusia pada suatu berita tertulis, namun ini adalah realita yang sah dan tak dapat dipungkiri. Karangan-karangan dalam PB bukan hanya bacaan yang bermanfaat, tetapi juga suatu daya pendorong yang kuat -suatu potensi dinamis.

Pengaruh moral mereka ditunjukkan oleh kekuasaan mereka di dalam gereja Kristus. Meskipun tidak dapat dikatakan bahwa semua anggota jemaat yang pertama mempunyai sebuah kitab PB berukuran saku seperti zaman modern yang dapat dibawa dan dipelajari dengan tekun, namun dapat dipastikannya bahwa pemimpin-pemimpin mereka memilikinya dan menggunakannya. Kemana pun pesan-pesan Injil diberitakan dan diterima, gereja makin berkembang dan bersamaan dengannya melaksanakan suatu pembersihan moral masyarakat. Tidak semua orang yang mengaku dirinya Kristen sejak abad pertama hingga seterusnya berhati dan berkarakter seputih kapas, begitu pula gereja tidak selalu bebas dari kejahatan. Meskipun demikian, di antara standar moralitas dunia kafir dan gereja Perjanjian Baru masih ada suatu jarak yang sangat besar. Kasih, kemurnian, kesabaran, kebenaran, dan banyak kebajikan lainnya yang hampir tidak dikenal di dunia kafir, merupakan kenyataan dibalik kuasa kebenaran Perjanjian Baru.[7]

Ujian terhadap pesan-pesan ilahi dan kekuatan moral dari kitab-kitab ini tidak mungkin berhasil dilakukan oleh satu orang saja dalam suatu lingkungan yang terbatas karena orang akan mengatakan bahwa daya penggerak kanon itu hanya merupakan suatu pengaruh sesaat yang diakibatkan oleh suatu hubungan kebetulan antara waktu dan suasana hati. Bila kesaksian internal dan dari karya itu sendiri dan kesaksian eksternal dari mereka yang mengenal dan menggunakannya sepakat bahwa ia merupakan pekerjaan Tuhan, maka kriteria kanonitas pun dapat dikatakan pasti.

Presupposisi kanonitas PB bukanlah hasil investigasi sejarah yang baru kemudian diakui keabsahannya, hanya orang percaya yang dipimpin oleh Roh Kudus dan patuh mendengarkan apa yang dikatakannya dapat mengakuinya. Kesatuan gereja sehubungan dengan berita PB, hanya dapat terjadi karena iman. Orang-orang kudus zaman PB telah menikmati visi Allah ditengah perjuangan melawan mereka yang menolak kanon PB.[8]

C. HISTORISITAS IMAN DALAM KANON PERJANJIAN BARU

Iman Kristen yang historis mengatakan bahwa Roh Kudus yang memimpin penulis masing-masing kitab, Dia juga yang memimpin seleksi dan pengumpulannya, jadi melanjutkan pemenuhan janji Tuhan bahwa Ia akan memimpin murid-muridNya dalam segala kebenaran. Bagaimanapun juga, ini merupakan sesuatu yang harus disingkapkan oleh penglihatan rohani, dan bukan melalui penelitian historis. Namun, penemuan yang telah diungkapkan oleh penelitian historis tentang asal-usul kanon PB perlulah mendapat perhatian.

Daftar buku yang tertua dari Perjanjian Baru yang kita ketahui dengan pasti, disusun di Roma oleh seorang bidat, Marcion, tahun 140. Marcion membedakan Allah Perjanjian Lama yang lebih rendah dari Allah dan Bapa yang dinyatakan dalam Kristus. Oleh karena itu menurut setiap “anti Semitisme teologis” ini, Perjanjian Lama harus ditolak dan juga bagian-bagian Perjanjian Baru yang dipengaruhi oleh Yudaisme. Dengan demikian, kanon Marcion terdiri dari Injil Lukas yang telah dimurnikan dan paling sedikit mengandung Yudaisme, karena Lukas adalah seorang bukan Yahudi; dan kesepuluh surat Paulus (ketiga “Surat Penggembalaan” tidak dimuat). Tetapi daftar Marcion tidak mencerminkan ketetapan Gereja yang berlaku, melainkan penyimpangan dengan sengaja dari ketetapan itu.

Daftar lain yang lebih muda, juga berasal dari Roma, dari akhir abad kedua, yang biasa disebut “Fragmen Muratori”, karena diterbitkan pertama kalinya tahun 1740 oleh antikuaris Kardinal L.A.Muratori. Fragmen ini sudah rusak sejak awal namun menyebutkan Matius dan Markus, sebab ia mengacu kepada Lukas sebagai kitab Injil ketiga. Selanjutnya disebut Yohanes, Kisah Para Rasul, sembilan surat Paulus ke jemaat-jemaat dan empat kepada perorangan (Filemon, Titus, I&II Timotius), dua surat dari Yohanes, Wahyu Yohanes dan Wahyu Petrus (ini adalah kitab apokrifa). Kitab Gembala dari Hermas disebut layak untuk dibaca dalam jemaat, tetapi tidak dimasukkan ke dalam daftar tulisan-tulisan nabiah ataupun rasuli.

Langkah-langkah pertama yang menuju pembentukan kanon kitab-kitab Kristen yang berwibawa sehingga ini layak ditempatkan di samping Kanon Perjanjian Lama, adalah Alkitab Tuhan kita dan para rasulNya, nampak diambil sekitar permulaan abad kedua. Ini berdasarkan adanya bukti tentang peredaran dua kumpulan tulisan Kristen di dalam Gereja.[9]

Faktor-faktor sejarah sangat penting artinya dalam menentukan apakah kitab-kitab tertentu boleh dimasukkan ke dalam kanon, misalnya apakah suatu kitab ditulis oleh atau di bawah pengawasan seorang rasul. Lagi pula kitab-kitab Alkitab yang otentik memiliki wewenang inheren; artinya, umat Allah dapat mengenal suaraNya yang berbicara kepada mereka melalui kitab-kitab itu.[10]

Pembentukan kanon PB boleh dikatakan berjalan sebagai akibat sifat murni kitab-kitab didalamnya. Pada akhir abad kedua, semua kitab kecuali tujuh lainnya: Ibrani, 2 dan 3 Yohanes, 2 Petrus, Yudas, Yakobus, dan Wahyu, sudah di terima dalam kanon Perjanjian Baru, dan pada akhir abad keempat, kedua puluh tujuh kitab PB telah diterima semuanya, khususnya oleh Gereja-gereja Barat. Setelah konsili Damasin di Roma (382) serta konsili Kartago ketiga (397), Gereja Barat sudah menyelesaikan masalah kanon. Di tahun 500, seluruh gereja yang berbahasa Yunani nampaknya telah menerima semua kitab Perjanjian Baru. Sejak saat itu juga di Timur masalah kanon dapat dikatakan sudah selesai. Historisitas dalam kacamata iman memperlihatkan kemurnian kitab-kitab kanonik yang oleh Thiessen dikatakan tidak pernah ada saat semua pihak diminta menerima keputusan gereja atas kanon PB, namun sebaliknya ada orang-orang atau pihak-pihak tertentu yang mencoba mempertanyakan hak kitab-kitab tertentu untuk ditempatkan dalam kanon Alkitab.[11]

D. KAPASITAS DAN KAPABILITAS GEREJA MULA-MULA

Berbicara tentang kapasitas dan kapabilitas gereja mula-mula, tidak bisa lepas dari penekanannya yang begitu istimewa terhadap kitab-kitab kanonik sedangkan tulisan-tulisan kuno lainnya hanya dikutip sebagai acuan sambil lalu saja. Gereja selalu memandang kitab-kitab kanonik sebagai “yang diilhami” dan yang menjadi acuan bagi orang-orang Kristen yang ingin membangun suatu ajaran Kristen yang otentik.

Persoalan muncul, ketika William Wrede mempertegas bahwa tidak ada perbedaan antara tulisan-tulisan kanonik dengan literature Kristen kuno lainnya. “Tidak ada kitab PB yang ditulis dengan diberi predikat ‘kanonik’. Pernyataan bahwa suatu tulisan itu kanonik pertama-tama hanya berarti bahwa tulisan itu kemudian dinyatakan kanonik oleh para pemimpin Gereja abad kedua sampai abad keempat, dalam beberapa kasus hanya setelah melewati segala macam keraguan dan ketidaksepakatan …Barangsiapa menerima paham kanon tanpa mempersoalkannya, menempatkan diri di bawah otoritas para uskup dan para teolog abad-abad tersebut”.[12] Bagi Leon Morris, pendapat semacam itu terlalu sederhana. Lebih-lebih dikatakan bahwa ia mengabaikan fakta dimana tak seorang uskup pun dan tak seorang ahli teologi pun (atau bahkan konsili) pernah menganggap diri berhak untuk membuat suatu kitab menjadi kanonik atau, sebetulnya, menjadi tidak kanonik.[13]

Apa yang dulu terjadi rupanya ada sekelompok jemaat beriman yang mengalami kebinggungan. Mereka melihat bahwa di beberapa gereja kitab-kitab seperti surat Yohanes yang kedua dan ketiga tidak dibaca sebagai Kitab Suci, sedangkan di Gereja-gereja lain dibaca sebagai Kitab Suci. Sementara itu ada Gereja yang membaca kitab-kitab seperti Surat Klemens yang pertama, sehingga manakah yang benar ? Apa yang harus mereka lakukan ? Lalu pertanyaan tersebut diajukan kepada orang yang berwenang, seorang uskup atau seorang ahli teologi atau suatu dewan. Keputusan yang diberikan akan berupa pernyataan yang kurang lebih berbunyi demikian, “Inilah kitab-kitab yang telah diakui dalam gereja.” Misalnya, ketika Athanasius memberikan daftarnya yang terkenal dari kitab-kitab PB (daftar resmi pertama yang mencantumkan ke-27 kitab, tidak dan lebih tidak kurang), ia menyebut kitab-kitab otentik tersebut sebagai kitab “yang disampaikan kepada para leluhur” dan selanjutnya ia mendaftar kitab-kitab tersebut sebagai kitab yang ‘diwariskan dan diakui sebagai Ilahi”. Athanasius tidak memaklumkan bahwa sejak saat itu kitab-kitab tersebut adalah kanonik; dia hanya mengatakan bahwa kitab-kitab tersebut telah diterima sebagai kanonik dan perumusannya selalu mirip itu. Rasanya tidak pernah seorang Kristen atau sekelompok Kristen pernah menganggap diri berwenang untuk menambah atau mengurangi satu buku pun pada atau dari daftar yang sudah diterima itu. Apabila kita sungguh-sungguh memperhatikan pendapat bahwa Allah menuntun gerejaNya, maka kita harus melihat dalam peristiwa ini suatu petunjuk bahwa inilah kitab-kitab yang Dia maksudkan bagi umatNya. Suatu fakta yang sangat mengesankan bahwa pada zaman ketika belum ada peralatan untuk memberlakukan suatu keputusan yang mengikat Gereja yang ada di seluruh dunia, keduapuluh tujuh kitab yang sama itulah yang praktis diterima secara universal. Kita tidak boleh memandang kanon sebagai sesuatu yang di rekayasa oleh beberapa uskup dan ahli teologi. Kanon memiliki tempat istimewa dalam tatanan nilai Kristen.[14]

Berbeda dengan prinsip yang digunakan di dalam kesusastraan pada umumnya, kanon Perjanjian Baru tidak dapat diputuskan hanya berdasarkan kepengarangannya. Ada sembilan orang berbeda-beda yang menulis di dalam PB, namun tidak ada suatu alas an khusus mengapa hanya sembilan orang inilah yang dipilih. Tidak ada suatu penjelasan yang dapat diperoleh mengapa Filipus, misalnya saja, tidak diberi wahyu untuk menulis sebuah Injil seperti Matius. Pasti kriteria yang dipakai untuk pengkanonan tidak selalu dibenarkan berdasarkan pengarangnya sehingga bila terbukti bukan ditulis oleh orang yang bersangkutan, maka kitab tersebut dalam kanon PB terancam.

Salah satu bagian yang harus dipertimbangkan dalam pengkanonan kitab-kitab PB adalah penerimaan gereja mula-mula terhadap kitab-kitab tersebut. Memang ada beberapa diantaranya diterima secara luas dan bulat, sedangkan lainnya diterima setengah hati oleh gereja-gereja tertentu atau sama sekali tidak disebut-sebut dalam kurun waktu tertentu. Namun kesemuanya telah melalui proses yang panjang dimana prasangka suatu kelompok atau selera pribadi dapat ditepis. Meskipun demikian, bisa jadi apa yang ditolak oleh seseorang atau suatu kelompok dalam gereja, memungkinkan untuk diterima oleh orang lain atau kelompok tertentu. Dengan kata lain, amat keliru bila kita katakan bahwa mereka yang membuat keputusan demikian tidak kritis sampai menerima apa pun yang menarik hati tanpa memperhitungkan mutunya. Para kritikus kuno memang tidak kurang kelemahannya dengan para cendikiawan modern. Bedanya, mereka masih dapat memanfaatkan catatan dan berita-berita lisan yang kini sudah punah, dan kesaksian mereka tidak dapat disisihkan begitu saja hanya karena mereka tidak termasuk pada abad sekarang.[15] Persetujuan gereja terhadap kanonitas suatu karangan merupakan suatu bukti nyata kapasitas dan kapabilitas gereja mula-mula.

Satu hal harus sungguh-sungguh ditekankan. Kitab-kitab Perjanjian Baru tidak menjadi berwibawa bagi Gereja sebab secara formal telah ada dalam daftar yang kanonik; tetapi sebaliknya, Gereja memasaukkannya dalam kanon karena menganggapnya diilhamkan Allah, sebab Gereja mengetahui nilainya yang dalam dan langsung atau tidak langsung Gereja juga melihat kewibawaannya dari para rasul. Konsili-konsili gerejawi yang pertama dengan pendaftaran kitab-kitab kanonik, terjadi di Afrika Utara yaitu di Hippo Regius tahun 393 dan Karthago tahun 397. Tetapi yang dikerjakan konsili-konsili ini bukan mendesakkan sesuatu yang baru kepada gereja-gereja, melainkan menyusun daftar dari apa yang telah umum digunakan di gereja-gereja mula-mula.

Ada banyak persoalan teologis yang timbul dari sejarah kanon dimana kita ketahui bahwa pemilihan Gereja adalah tepat. Kita dapat membandingkan kitab-kitab Perjanjian Baru dengan beraneka ragam dokumen yang dikumpulkan oleh M.R. James dalam bukunya “Apocrypal New Testament” (1924), atau juga dengan tulisan-tulisan Bapa-bapa Rasuli hingga akan disadari keunggulan Perjanjian Baru atas buku-buku lain.[16]

E. PENDEKATAN MASA KINI ATAS KANON PERJANJIAN BARU

Banyak pendekatan berkenaan dengan kanon PB telah dihasilkan seiring perjalanan waktu atau peradaban manusia. Salah seorang pemerhati ragam pendekatan PB sesuai perkembangan sejarah adalah F.F. Bruce.[17] Nampak cukup panjang bila menelusuri dari zaman apostolik sampai abad ke-20 yang bermunculan macam-macam kritisisme, namun biarlah kita melihatnya pada pendekatan-pendekatan tertentu saja.

Bila sebagian besar yang ditulis dalam makalah ini bernuansa konservatif injili, sebagaimana harapannya dibangun dalam kerangka demikian, maka ada pihak lain yang bertentangan dengan pandangan konservatif injili. Setidaknya karangan William Wrede dapat mewakili pandangan modern yang memperjuangkan suatu pendekatan yang berdasarkan sejarah yang sama sekali berlawanan dengan pendekatan dogmatis. Ia menganut aliran “sejarah agama-agama” (Religionsgeschichte) yang menandaskan bahwa pokok utama PB ialah agama dimana harus dibandingkan dengan agama-agama lain sebagai pengaruh yang kentara dalam kekristenan abad pertama. Pembatasan diri pada sastra PB dengan kata lain ditolaknya, lagi tidak dibedakannya antara “sumber-sumber kanonis” dan yang “bukan kanonis”. Wrede menganggap bahwa tak ada tulisan dalam PB yang terbit dengan sebutan “kanonis”. Karena itu ia menyimpulkan bahwa setiap orang yang menerima kanon PB tanpa pertanyaan, menempatkan dirinya di bawah kuasa para uskup serta ahli teologi abad ke-2 sampai ke-4 (diatas telah dibahas).

Gerakan “Yesus pribadi sejarah” telah memakai pendekatan yang sama sekali tidak memberi tempat pada kepercayaan orang Kristen pertama mengenai eskatologi, suatu hal yang menimbulkan reaksi dari Schweitzer yang tidak setuju dengan pandangan gerakan”Yesus pribadi sejarah” itu. Selanjutnya gerakan-gerakan ini menimbulkan kecenderungan untuk mempertentangkan latar belakang Paulus dalam Helenisme (kebudayaan Yunani) dengan latar belakang Yesus dalam pemikiran Yahudi yang diwarnai apokaliptis. Dalam keadaan demikian tidak mungkin ada teologi PB yang manunggal. Akibatnya, setiap ahli teologi terpaksa mementingkan salah satu pihak, ajaran Yesus atau ajaran Paulus dan Yohanes. Dengan munculnya aliran kritik bentuk (form criticism) ahli-ahli telah menjadi skeptis mengenai Yesus pribadi sejarah. Karangan Bultmann teologi PB cenderung tidak percaya dan skeptis, bertolak belakang dengan penilaian James Barr yang masih positif.[18]

Skeptisisme terhadap masyarakat modern, berbeda halnya dengan studi terhadap naskah-naskah dan kutipan-kutipan pada penulis-penulis yang kemudian dalam kanonitas PB, pendekatan ini disebut Ktitik Tekstual, yang dapat membangun keyakinan dari keraguan. Penting untuk di ketahui bahwa kritik tekstual sama sekali berbeda dengan kritik literal yang sering disebut “kritik tingkat tinggi”.[19] Kritik literal berusaha menemukan sumber-sumber pokok dari pekerjaan pengarang, lalu mencoba menentukan darimana ia mendapat informasi tersebut walau bersifat destruktif bagi Alkitab itu sendiri.

Studi kritik tekstual sangat penting dalam pemahaman PB karena bertujuan menentukan setepat mungkin kata-kata asli berdasarkan bukti yang ada di dalam dokumen-dokumen yang bersangkutan. Dari percobaan terbukti bahwa amatlah sukar menyalin suatu ayat yang sangat panjang tanpa melakukan kekhilafan. Dokumen-dokumen PB yang disalin ulang berulang memungkinkan kesalahan terus bertambah, namun penambahan itu berarti pula peningkatan alat Bantu untuk memeriksa kekhilafan tadi. Oleh karena itu kesempatan untuk ragu-ragu dalam pencarian kata-katanya yang asli tidak sebanyak yang mungkin dikuatirkan; itu benar-benar sangat kecil. Pembacaan yang berbeda yang masih menimbulkan keraguan di antara para ahli kritik naskah PB tidak menimbulkan soal penting tentang fakta sejarah atau tentang iman dan perbuatan kritiani.

Pendekatan yang dapat kita gunakan pada masa kini berdasarkan teks-teks yang telah teruji keotentikannya yang seterusnya disebut kanon PB, kita harus melihat “kesatuan” ini yang erat kaitannya dengan pengertian “kanon”. Sekumpulan kitab yang dapat dipercaya seperti kanon PB pasti dikaitkan satu sama lain menurut suatu konsep tunggal yang mencakup keseluruhannya. Keanekaragaman memang cocok dengan gagasan ‘kanon di dalam kanon’ (tokohnya seperti Bultmann, Kasemann), tetapi kesatuan tidak. Ini bukan berarti bahwa keragaman itu harus sama sekali disingkirkan jika kita berpegang pada gagasan kanon, karena keragaman pasti ada. Ungkapan yang menyatakan bahwa kanon itu “mengkanonisasikan keragaman Kristen” dapat diterima, selama ini tidak berarti bentuk-bentuk yang beragam itu di dalamnya terungkap kesatuan yang mendasar.

Kesatuan dan keberagaman dalam kanon PB yang selanjutnya dibangun suatu teologi PB, dapat kita pahami bahwa gagasan kesatuan itu berkaitan dengan keyakinan hanya ada satu Injil yang disuguhkan dalam PB, sedangkan keanekaragaman di mengerti dalam kerangka batas-batas Injil yang satu adanya. Keaneragaman dalam cara penyuguhan pasti ada, tetapi keragaman itu hanya diartikan sebagai keragaman pengungkapan tentang Injil dasar yang sama. Seandainya “keragaman” digunakan dalam arti “pertentangan”, maka sulit untuk mempertahankannya tanpa mempermasalahkan Injil dasar itu. Tentu saja para pengarang yang berbeda-beda itu akan meragamkan ungkapan mereka sesuai dengan tujuan-tujuan mereka yang berbeda-beda. Hal ini memang dapat terjadi tetapi ini sangat berbeda dengan pandangan yang mengatakan bahwa tidak terdapat kesepakatan tentang kebenaran-kebenaran dasar itu, tidak ada gagasan tentang ajaran yang benar yang dapat merupakan tolak ukur bagi ajaran sesat.[20]

F. PENUTUP

Banyak persoalan diseputar kanon PB yang menuntut pemikiran kritis, sistematis dan komprehensif, tanpa menambah atau mengurangi apa yang Tuhan sendiri mau oleh hamba-hambaNya lakukan ketika penulisan dilakukan dan penerimanya dapat mengerti serta melakukan Kebenaran Allah. Patut disadari adanya jurang waktu yang berbeda, kurangnya pemahaman akan maksud penulis dan penerima mula-mula dengan kondisi pemasalahannya, memungkinkan untuk salah interpretasi.

Sebelum menafsirkan, masyarakat modern akan berhadapan dengan teks-teks yang telah dialihbahasakan dari naskah-naskah kuno yang “menuntut Iman” sebagai asumsi bahwa Allah bekerja sampai sekarang melalui teks-teks yang baku dan relevan sampai masa kini. Karena iman diletakkan dalam konteks sejarah, sejarah kanonisasi dapat ditelusuri dimana gereja mula-mula mempertahankannya dari berbagai ajaran yang memungkinkan terjadinya kebinggungan, keraguan, dan kemerosotan iman, akibat bersandar pada teks-teks yang tidak otentik. Kitab-kitab kanonik menjaga kesehatan iman dan orang percaya dapat bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus. Dalam pertumbuhan dan perkembangan menjadi dewasa di dalam Kristus, kesatuan dan keragaman PB perlu mendapat perhatian khusus.




[1] W.S. Lasor, Pengantar Perjanjian Lama (Jakarta:Gunung Mulia, 1993) 1:45.

[2] Charles Ryrie, Teologi Dasar (Yogyakarta: Andi, 1991) 1:137.

[3] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran (Jakarta: Gunung Mulia, 1993) 59-60.

[4] Merrill C Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1992) 496.

[5] Howard I. Marshall, ed., New Testament Interpretation: Essays on Principles and Methods (USA: W.B.Eerdmans, 1998) 60.

[6] F.F. Bruce, Dokumen-dokumen Perjanjian Baru (Jakarta: Gunung Mulia, 1991) 3-4.

[7] Tenney, Survei Perjanjian Baru, 498.

[8] Ernst Kasemann, Essays on New Testament Themes (Bloomsbury Street London: SCM 1980) 106-107.

[9] Bruce, Dokumen-dokumen Perjanjian Baru , 17-18.

[10] Milne, Mengenali Kebenaran, 60.

[11] Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 1992) 92-93.

[12] Robert Morgan, The Nature of New Testament Theology (London: SCM,1973) 70-71 sebagai kutipan dari esai Wrede yang berjudul “The Task and Methods of New Testament Theology” yang dicetak ulang olehnya dan diberi judul diatas.

[13] Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996) 13.

[14] Ibid, 13-14.

[15] Tenney, Survei Perjanjian Baru, 496-497.

[16] Bruce, Dokumen-dokumen Perjanjian Baru, 22-23.

[17] F.F. Bruce, The History of New Testament Study merupakan bagian dari kumpulan tulisan ahli-ahli PB diseputar prinsip-prinsip dan metode-metode dalam penafsiran PB yang di susun oleh I. Howard Marshall dan kemudian diberi judul New Testament Interpretation: Essays on Principles and Methods, khususnya pada pasal 2 halaman 21-56.

[18] James Barr, Alkitab di dunia Modern (Jakarta: Gunung Mulia, 1993) 60. Menurut Bultman “Teologi PB mencakup tersibaknya gagasan-gagasan itu, yang melalui iman Kristen menetapkan tujuan, dasar, dan akibatnya sendiri.” Dia memulainya dengan kerugma, dan baginya amanat Yesus merupakan pra-anggapan bagi teologi PB dan bukan bagian di dalamnya. Morgan menilai teologi Bultmann “tertanam dalam diri manusia” dimana pendekatan ini membuat manusia, bukan Tuhan, menjadi obyek telaah teologi, dank arena itu teologi bergantung pada antropologi (catatan kaki Donald Guthrie, Teologi PB, 3:352).

[19] J.Harold Greenlee, Scribes, Scrolls, and Scripture (Michigan: W.B. Eermans, 1985) 2.

[20] Guthrie, Teologi PB, 3:390 .

Tidak ada komentar: